Wednesday, March 14, 2012

Akai Merakai

Awal Maret ini saya berkesempatan berkunjung ke Nanga Merakai. Sebuah kota kecil di perbatasan negara antara Indonesia dan Malaysia di Kabupaten Sintang. Nanga Merakai, secara administratif kepemerintahan tercatat sebagai ibu kota Kecamatan Ketungau Tengah.

Ini perjalanan kedua saya ke Kecamatan Ketungau Tengah. Perjalanan pertama pada 2007, ketika mengikuti kunjungan kerja Akil Mochtar, saat masih menjabat anggota DPR. Perjalanan pertama itu tidak sampai di Nanga Merakai. Hanya pada desa yang secara administratif masuk wilayah Ketungau Tengah. Saya tak ingat lagi, apa nama desa yang dikunjungi lima tahun lalu tersebut.

Saya berangkat dari Sintang pukul tiga sore. Sedikit terlambat dari jadwal semula yang seharusnya berangkat pukul 14.00. Baru saja keluar dari Tugu Sunan Kuning berbelok ke arah Mensiku menuju Ketungau, kami sudah disuguhi tanah kuning yang berlubang-lubang. Mika, warga Merakai, meyakinkan kami hanya mobil gardan ganda yang bisa lewat. Sebab itu, rata-rata orang Merakai membeli strada ford ranger sebagai kendaraan utama. Kendaraan pribadi itu tak jarang berfungsi sebagai angkutan umum. Tiap orang yang ingin menumpang dikenai tarif Rp100.000 untuk sekali jalan.

Lewat jalan yang rusak berkelok-kelok. Tak ada aspal. Semua jalan tanah kuning. Kiri kanan jalan hamparan kebun sawit. Di bagian lain, kiri kanannya dipenuhi tumbuhan akasia.

Awalnya hendak menyusuri jalan negara, begitu warga merakai menyebutnya. Namun jalan itu sedang dilanda banjir. Sehingga driver, Titus memilih jalan perusahaan yang berliku. Sesekali singgah untuk sekadar melepas penat setelah duduk berjam-jam duduk dalam mobil, atau buang air kecil.

Jalur perusahaan juga tak berbeda. Jalan-jalan tanah yang belum berlapis aspal atau beton. Kerusakan-kerusakan menciptakan danau-danau kecil sepanjang jalan. Jembatan kayu hanya sebagai simbol kalau pelintas akan melintasi sungai. Jalan berkelok mendaki dengan kerikil dan berangkal batu.

Pada satu jalan mendaki berkelok, sebuah portal terpasang. Satu bambu dipasang melintang yang disangga dua tiang kayu. Pada salah satu ujung bambu dipasang tali, diujung lainnya diberi pemberat. Tali itu untuk mengaitkan bambu pada tiang lainnya sehingga pelintas jalan, baik roda empat maupu roda dua, akan berhenti sejenak. Triplek berukuran persegi panjang, dengan lebar 60 cm dan tinggi 40 cm, ada satu pengumuman tentang tarif. Jika pelintas menggunakan mobil ia dikenakan tarif Rp50 ribu, sedangkan sepeda motor dikenakan tarif Rp20 ribu. Portal itu dijaga seorang petugas dari penduduk setempat yang dilakukan secara piket atau bergiliran.

"Kalau pertama melintas kita bayar 50 ribu rupiah, kalau sudah dua atau tiga kali, bisa turun jadi 20 ribu rupiah," kata Titus, seorang pelintas.

Titus tinggal di Nanga Merakai. Lelaki yang mengendarai ford ranger itu kerap melintasi ruas jalan tersebut. Kadang Titus lewat jalan negara. Tapi bila jalan negara tergenang cukup tinggi, Titus akan lewat jalan perkebunan itu. Untuk itu, ia harus menyiapkan dana tak terduga.

Titus terus menginjak pedal gas mobilnya. Lagu Pance Pondaag dan D'Lloyd mengiringi perjalanan yang melahirkan penat itu. Saya yang duduk di depan mencoba memejam mata, bahkan tertidur. Tiga teman di bangku tengah juga tertidur karena lelah. Titus banyak cerita bagaimana mudahnya warga di sepanjang jalan perkebunan sawit itu menyerahkan lahannya kepada perusahaan. Kata Titus, pola kemitraannya tidak wajar. "Kalau kita serahkan sepuluh hektar, delapannya untuk perusahaan, masyarakat hanya dapat dua hektar saja," katanya.

Langit mulai suram. Malam sebentar lagi tiba. Sisa-sisa matahari masih menerangi puncak gunung. Cahaya itu memberi warna lain pada gunung yang sudah purnahijau. Kunang-kunang mulai berkedip. Ia menemani bintang yang juga mulai berkedip nun jauh di langit. Burung-burung pun mulai kembali ke sarang. Serangga malam mengeluarkan suara-suara yang menjadikan malam tak sunyi. Namun suara serangga tenggelam oleh deru kendaraan yang kami tumpangi.

Saya terbangun. Saya tanya pada Titus, "berapa lama lagi kita sampai di Merakai?"

"Sekitar 45 menit."

Jarum jam di dashboard strada yang dikendarai Titus menunjuk pukul 18.30. Jika benar, kata Titus, berarti lama waktu tempuh Sintang - Merakai sekitar lima jam. Lebih cepat dua jam dari waktu normalnya. "Kita agak laju," kata Mika, salah satu penumpang yang ikut serta dalam perjalanan itu.

Kami tiba di Merakai, jam sudah menunjuk pukul delapan malam. Titus menghentikan mobil pada deretan warung-warung. Kami harus makan karena perut sudah menagih. Di sebuah warung makan di Jalan Siliwangi, kami ingin menikmati nasi. Pemilik menghidangkan piring berisi nasi. Kucoba membauinya, sepertinya sudah basi. Kuminta beberapa teman membauinya, hasil sama. Mereka sepakat kalau nasi itu sudah basi. Saya pun batal makan nasi. Kemudian memesan mie instan rebus.

Ah, akai merakai. (*)

Note:
Akai dalam bahasa setempat bermakna sebagai kata seru untuk menyatakan rasa heran, atau sakit.

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code