tag:blogger.com,1999:blog-55641423004353435612024-03-19T04:22:53.109-07:00budi miankmy home, my words, my memories, and my lifeBudi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.comBlogger176125tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-42197874619963318092012-10-24T00:02:00.002-07:002012-11-28T20:24:12.289-08:00Membunuh Enggang, Mengayau Saudara <span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;"><span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Ketika masih
anak-anak, ibu sering mendongeng. Satu di antaranya, tentang burung enggang.
Burung yang paruhnya, Juli - <span class="object"><span id="OBJ_PREFIX_DWT61_com_zimbra_date"><span id="OBJ_PREFIX_DWT60_com_zimbra_date">September 2012</span></span></span>, coba
akan dibawa ke luar Kalimantan Barat lewat Bandar Udara Supadio, Pontianak.
Cerita burung enggang ini selalu ibu ceritakan hingga aku tamat sekolah dasar,
ketika usiaku 12 tahun. </span><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style>
<![endif]--> </span><br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Ini kisah yang mengantar kami, anak-anaknya, tidur. Dalam ceritanya,
ibu bertutur kalau enggang itu juga manusia. Ia terlahir sebagai saudara
kandung, laki dan perempuan. Seperti anak kebanyakan, enggang suka bermain.
Kadang ia acuh nasehat ibu bapaknya. Tak jarang pula, Enggang melawan perintah.
Ia lebih senang bermain-main.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Ibu bapak
Enggang bekerja sebagai petani. Setiap hari, sejak pagi hingga senja,
orangtuanya bekerja di ladang. Enggang kerap tak ikut. Ia menunggu rumah.
Begitu setiap harinya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Ketika ibu dan
bapaknya berangkat kerja, enggang baik yang laki maupun perempuan gemar bermain
gasing. Jika sudah bermain gasing, enggang lupa rumah. Lupa tugas-tugas yang
diberikan ibunya. Bahkan, enggang lupa makan. Kadang, ia pulang lebih telat
dari ibunya yang seharian bekerja di ladang</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Jika berangkat
ke ladang, ibunya meminta enggang untuk memasak sehingga saat pulang tak lagi
disibukkan urusan dapur. Enggang mengiyakan permintaan ibunya. Dengan rasa
gembira, karena janji Enggang, ibunya berangkat ke ladang. Enggang tinggal di
rumah dengan satu pesan ibunya: memasak.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Setelah ibunya
berangkat, Enggang bersama saudara kandungnya mengambil mandau, sejenis parang.
Mereka ke hutan tak jauh dari rumah menebang kayu untuk membuat gasing. Di
samping rumah, Enggang membuat gasing. Sampah-sampah kayu bekas tarahan
(pahatan) berserakan. Enggang enggan mengumpulkannya, apalagi membersihkan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Beberapa jam
kemudian, dua buah gasing sudah jadi. Enggang dan saudara kandungnya mulai
bermain. Mereka menikmati permainan itu. Mereka lupa, jika hari sudah menjelang
senja. Mereka lupa pesan ibu agar memasak nasi. Mereka benar-benar terlena oleh
permainan gasing itu.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Senja pun tiba.
Ibu Enggang pulang dari ladang. Ia melihat Enggang masih bermain gasing. Ketika
masuk ke rumah, ibunya meliha nasi dan sayur belum dimasak. Sang ibu marah
besar. Tapi ia tak langsung memarahi enggang.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Diam-diam,
ibunya mengambil sampah-sampah kulit kayu dan potongan-potongan kayu sisa
Enggang membuat gasing. Ampas kulit kayu dimasukan ke dalam periuk nasi.
Sedangkan sisa-sisa potongan kayu dimasukan ke mangkuk sayur.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Puas bermain,
Enggang pulang ke rumah. Rasa lapar menyergap keduanya. Lemari makan dibuka.
Periuk nasi juga dibuka. Enggang kaget. Ia melihat kulit dan potongan kayu yang
tersaji. Ia pun menangis sekaligus kecewa karena ibunya terlalu marah, hingga
memberi makan dua anaknya dengan kulit kayu.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Dalam tangis dan
kemarahannya, Enggang berlari keluar rumah. Bersama saudara kandungnya, Enggang
berjanji mau jadi burung. Ia pun mengambil pelepah pinang. Kemudian diikatnya
pada kedua lengannya. Enggang mulai terbang. Awalnya dari jendela rumah,
kemudian ke ujung atap, lalu ke bumbungan. Begitu tiba di bumbungan, Enggang mulai
pindah ke dahan terendah pada sebatang pohon. Kemudian berlanjut, hingga pada
dahan tertinggi pohon tersebut.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Doa Enggang
terkabul. Dua manusia, laki dan perempuan, itu benar-benar menjadi burung. Ia
pun bersumpah tak akan turun ke bumi dan hanya tinggal di rimba raya pada
pohon-pohon yang tinggi.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Melihat dua
anaknya jadi burung, ibu dan bapak Enggang menyesal. Keduanya menangis dan
meminta agar anaknya kembali. Ia pun berharap agar Enggang tak meninggalkan
keduanya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Di pohon, tempat
Enggang belajar terbang, keduanya orangtuanya terus berharap dan meminta.
Dengan satu harap, Enggang akan kembali menjadi manusia lagi. Tapi apa lacur,
Enggang sudah terlanjur jadi burung. Biarpun begitu, ibu bapaknya tetap
berharap.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Pada satu titik
asanya habis, kedua orangtua itu berdoa, "jika anakku tak bisa lagi
kembali menjadi manusia. Biarlah kami menjadi sarang anai-anak yang selalu
melekat pada bagian terbawah pohon ini, hingga nanti suatu saat anak-anakku kembali
jadi manusia."</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Nah, itulah
sebabnya jika kita menemukan pohon yang di bawahnya ada dua sarang semut
sejenis anai-anak yang menempel pada pohon, maka itu diyakini sebagai ibu dan
bapak enggang.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Andalus","serif"; font-size: small;">Kasus
penyelundupan paruh enggang yang digagalkan Polda Kalbar, mengingatkan saya
pada satu dongeng yang emak tuturkan menjelang tidur. Bagi saya, membunuh
enggang sama saja mengayau atau membunuh sesama manusia, yang berarti membunuh
saudara sendiri. (*)</span><br />
<div style="text-align: left;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style>
<![endif]-->
</div>
<div style="text-align: left;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}
</style>
<![endif]-->
</div>
<span class="fullpost">
</span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-33468502873449805532012-06-14T03:45:00.001-07:002012-11-28T20:25:16.976-08:00Surat untuk Vanessasurat ini kukirim bukan untukmu<br />
tapi kepada tuhan <br />
dengan satu doa, ia menunjukkan jalan hidup <br />
yang sesuai kehendaknya<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
aku rindu padamu, vanessa<br />
serindu pungguk kepada bulan <br />
di lembah kehidupan tak jauh dari rimba poteng<br />
kita bersenda bersama angin dan rinai hujan <br />
cekikian di antara daun-daun berguguran <br />
ditingkahi bunyi alami pohon-pohon cinta <br />
<br />
aku ingin bertemu kamu, vanessa <br />
menumpahkan secangkir rindu dalam temaram senja <br />
menggambar hati pada kertas yang kubeli tadi pagi <br />
menyanyi senandung religi di bawah salib yang kuasa <br />
menulis hikayat dalam sebuah cerita sarat makna <br />
<br />
mari kita berlari menggapai asa <br />
perjalanan panjang musafir kehidupan <br />
semoga ada kunang-kunang menemani kita pada malam<br />
ia menjadi pengganti bintang <br />
agar kita tak tersesat dalam gelap malam<br />
<br />
inilah hidup kita, vanessa <br />
tak perlu kau jengah dengannya<br />
tak usah juga kau jumawa<br />
sebab kesederhanaan jauh lebih pantas <br />
dan, peluklah dunia dengan cinta <br />
<i><br />Pontianak, 14 Juni 2012 <br />di sebuah kedai kopi</i>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-68453716610187775192012-03-29T03:26:00.000-07:002012-11-28T20:26:18.731-08:00Apa Kabar Angan Tembawang?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBpE8H95uGARrLjxCU2VL3a3TXBzkS795IBLpFS8QFwJg01-PNwzuUQKuKOuuUPg7FAQPveH_CyEAwoea1dAZpzgXcsBkNY_ROVt4geQ7ubuxcaVwKQpVNNECmpn6jJpp3HFOXPRhx4BU/s1600/angan+tembawang+.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="147" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBpE8H95uGARrLjxCU2VL3a3TXBzkS795IBLpFS8QFwJg01-PNwzuUQKuKOuuUPg7FAQPveH_CyEAwoea1dAZpzgXcsBkNY_ROVt4geQ7ubuxcaVwKQpVNNECmpn6jJpp3HFOXPRhx4BU/s320/angan+tembawang+.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
<span class="fullpost">Apa kabar Angan Tembawang? Sudah hampir satu tahun aku tak menjenguk kampung itu. Terakhir pulang kampung, ketika kakak nomor keempat berangkat menuju dimensi lain. Ada rindu menyeruak untuk segera bertemu orang-orang Angan yang selalu ceria di tengah kertinggalannya. </span><br />
<span class="fullpost">Setakat ini, aku belum bisa pulang kampung. </span><br />
<a name='more'></a><span class="fullpost">Bukan sudah lupa jalan menuju Angan Tembawang. Atau sudah tak ingat sanak keluarga. Bukan pula, lupa peristiwa-peristiwa yang kualami ketika masih kecil dulu. Ketika masih bertelanjang kaki menuju sekolah yang jaraknya tiga kilometer dari rumah. Ketika sepeda menjadi satu-satunya kendaraan yang menjadi alat transportasi. Ketika rumah betang masih tempat bermain, berkumpul, hingga untuk memeriahkan gawai bernama notokng. </span></div>
<span class="fullpost"><br />Jika menghitung waktu, aku hanya hidup di Angan Tembawang dalam kurun waktu 12 tahun. Itupun dinikmati sejak brojol dari rahim emak hingga tamat sekolah dasar. Memasuki SMP, aku sudah meninggalkan kampung yang banyak memberi inspirasi itu. Aku meninggalkan Angan Tembawang menuju Pusat Damai, karena aku bersekolah di SMP Yos Soedarso. Praktis, aku hanya pulang kampung ketika liburan sekolah tiba. Itupun paling lama, hanya satu bulan ketika liburan kenaikan kelas. <br /><br />Selama tiga tahun, aku menghilang dari Angan Tembawang. Selama itu pula, aku menjadi anak yang jauh dari orangtua. Sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara, tentu saja ini menjadi tantangan yang berat. Apalagi harus hidup di antara orang-orang yang baru dikenal ketika bertemu di asrama. Aku benar-benar menjadi anak yang belajar mandiri. Asrama yang dikelola Pastor Fritz Budmiger OFM Cap, yang biasa kami panggil Abai (dalam bahasa Hibun berarti kakek), mengajarkan anak-anak dari kampung berbeda untuk memahami perbedaan, persahabatan, dan solidaritas. Asrama benar-benar mengajarkan kemandirian bagi seorang anak. Sebab, tak ada tempat bagi penghuninya untuk bermanja. Semua harus dilakukan sendiri. <br /><br />Tiga tahun kemudian, aku pulang ke Angan Tembawang, sebagai seorang anak yang mengantongi ijazah SMP. Bangga juga. Karena, orang kampung mengganggap aku sebagai salah satu orang berpendidikan. Masa itu, sangat minim orang Angan Tembawang yang sekolah. Saya bersyukur menjadi salah satu di antaranya. Teman-teman satu angkatan yang tamat SD bersama-sama, hanya empat orang saja yang bisa menamatkan SMP-nya. Selebihnya hanya sampai kelas satu atau kelas dua. <br /><br />Pulang ke Angan Tembawang bukan tanpa beban. Ijazah SMP yang kukantongi mendatangkan banyak tanya dari orang-orang Angan. "Mau lanjut ke mana? Mau sekolah di mana lagi?" Tanya yang sulit kujawab. Sebab aku memang tak pernah memikirkan, apakah nantinya harus sekolah lagi atau berhenti sampai di situ. Tanya yang kujawab dengan senyum saja. Kadang mereka menjawab sendiri dengan kalimat-kalimat pesimis. <br /><br />"Untuk apa sekolah? Guru sudah ada. Dokter sudah ada. Polisi, tentara juga sudah ada. Pastor pun sudah ada. Motong (menoreh) saja. Sekolah di kebun karet." <br /><br />Tetapi kemudian ada yang berubah. Orang Angan seperti saya punya nasibnya sendiri. Tentu saja tidak hanya bergantung pada nasib. Ada usaha yang dilakukan agar tidak berpasrah pada nasib. Tuhan kemudian membuka jalan. Tawaran bersekolah di Pontianak, ibu kota Provinsi Kalbar, terbuka. Berbekal uang sepuluh ribu rupiah, ketika almanak masehi berada pada angka 1991, aku berangkat ke Pontianak. Kota yang belum pernah kuinjak. Kota yang sangat asing bagi orang sebelia saya. Tetapi, saya harus menjalaninya untuk kehidupan yang lebih baik. <br /><br />Berangkat ke Pontianak, praktis harus meninggalkan Angan Tembawang. Harus meninggalkan emak dan ayah yang berjuang mencari dana untuk biaya sekolah. Sebuah semangat yang tak ingin anaknya seperti dia, yang tak berpendidikan. Emak bahkan tak pernah sekolah. Ayah hanya sampai kelas tiga Sekolah Rakyat di zamannya. Karena itu, keduanya ingin agar anak-anaknya bersekolah lebih tinggi. <br /><br />Lalu, apa kabar Angan Tembawang sekarang ini? Sejak 1991 hingga sekarang ini, aku lebih banyak menghabiskan waktu di Pontianak. Pulang ke Angan hanya ketika Natal dan hari arwah tiba. Itupun kadang tidak pulang. Tetapi, sungguh aku rindu Angan Tembawang. Kampung yang memberi banyak inspirasi. Kampung yang membuatku tidak sekadar berangan-angan. Kampung yang mampu membuatku berubah menjadi orang yang harus mewujudkan satu angan-angan: menjadi lebih baik dari hari kemarin. Semoga. (*)<br /><br />
</span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-52618601882492865282012-03-28T05:09:00.000-07:002012-11-28T20:50:13.347-08:00Earth Hour, Belajarlah pada Angan Tembawang<span class="fullpost">
</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1e-MrS-xHUp0RD_MsB2waoJv2DCUwQ4TibwhDtElUB1bpkD0BWOvo1UDrv2ZcDx1mbvG27DW7HG40ALthkfRO-pVGPX8389_3Yhd5dNA7TzWbB740IHqa9kum9vUWKDQGTJHj08kta6M/s1600/earth-hour-2011.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="140" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1e-MrS-xHUp0RD_MsB2waoJv2DCUwQ4TibwhDtElUB1bpkD0BWOvo1UDrv2ZcDx1mbvG27DW7HG40ALthkfRO-pVGPX8389_3Yhd5dNA7TzWbB740IHqa9kum9vUWKDQGTJHj08kta6M/s200/earth-hour-2011.jpg" width="200" /></a></div>
Besok malam, selama satu jam sedari pukul 20.30 hingga 21.30 pada 31 Maret 2012, umat manusia di dunia diajak untuk mematikan lampu. Kampanye yang diberi nama Earth Hour 60+ itu mengajak semua orang untuk mengurangi emisi karbon. Kampanyenya sudah dimulai sejak tiga pekan lalu. Katanya sih untuk menyelamatkan bumi.<br />
<a name='more'></a><br />
Tak heran, kalau orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai orang yang peduli lingkungan begitu gigih mengkampanyekan program ini, terutama kepada masyarakat perkotaan.<br />
<br />
Aktivis, pejabat pemerintah, hingga media massa juga diajak ikut berkampanye program dengan slogan, "Ini Aksiku, Mana Aksimu" itu. Bahkan, status di jejaring sosial semacam fesbuk dan twitter pun turut jadi media untuk kampanyenya. <br />
<br />
Ajakan mematikan lampu selama satu jam ini tak berlaku bagi orang kampung, seperti Angan Tembawang. Hingga 2012, kampung yang berpenduduk hampir 700 orang itu, belum dialiri listrik. Sebuah ironi negeri yang telah merdeka sejak 67 tahun silam. Sebuah ketidakadilan pembangunan yang hanya mementingkan kawasan perkotaan saja. Sebuah keterbelakangan yang disengaja karena dianggap tidak memberikan keuntungan secara ekonomi. <br />
<br />
Di Angan Tembawang, Earth Hour sudah berlangsung sejak kampung itu ada. Orang-orang kota harus belajar pada Angan Tembawang tentang tata cara menghemat energi. Para aktivis lingkungan harus melihat orang Angan Tembawang dalam berkampanye menyelamatkan bumi. Kalau hanya sekadar mengurangi emisi karbon dari lampu, orang Angan Tembawang sudah melakukannya sejak lama. <br />
<br />
Di era lapisan ozone yang kian menipis ini, banyak orang berlomba-lomba menyelamatkan bumi. Di era gejala perubahan iklim (climate change) mendunia, orang-orang berebut untuk memperlambat perubahannya. Kampanye Earth Hour juga menjadi salah satu cara untuk memperlambat terjadinya perubahan iklim itu. Nah, orang Angan Tembawang sudah melakukan ini sejak lama. <br />
<br />
Orang-orang Angan Tembawang selalu menjaga alam dan hutan. Sungai-sungai tetap mengalir dengan debit yang tak berubah sepanjang tahun. Udara tetap segar walau hujan tak turun barang satu bulan. Tengah hari tetap mendatangkan kesejukan kendati matahari membakar bumi. Bahkan, saat matahari berada pada titik nol, titik khatulistiwa, Angan Tembawang tetap menghadirkan kesejukan. <br />
<br />
Namun Angan Tembawang tak selamanya sejuk. Program pembangunan belum menyentuh kampung yang ada di Kabupaten Landak itu. Kalaupun ada, belum seperti orang-orang kota. Tak ada sinyal handphone, padahal era sudah memasuki teknologi informasi. Jangan berharap ada kedipan lampu pada malam hari. Sebab belum ada satupun tiang listrik di desa yang terdiri atas tujuh kampung itu. Tak usah berharap bisa berobat dengan cepat, sebab hingga kini tak satupun tenaga medis yang mau bertugas di Angan Tembawang. <br />
<br />
Hanya satu pesan dari Angan Tembawang. "Kalau mau menyelamatkan bumi dengan mematikan lampu selama satu jam di perkotaan, mari belajar pada kami yang setiap hari beraksi mengurangi emisi karbon." (*)Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-89615235835104519772012-03-22T19:29:00.000-07:002012-03-22T19:29:44.820-07:00MERAYAKAN KAPUAS<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
</div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnW2IBPoRz10Rud2pFSPR4dbbspr6_KT9vzxyVD8bTeZm6tpgm-GsYpBWtcu9Ye2_qRogwx8tHv5l2cTVBzvRmfoSxp7y8wNbddu972yqvifMwlut_kXdvY1vGw5hJZN7ejazwRGyGoP8/s1600/KAPUAS0000.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="249" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnW2IBPoRz10Rud2pFSPR4dbbspr6_KT9vzxyVD8bTeZm6tpgm-GsYpBWtcu9Ye2_qRogwx8tHv5l2cTVBzvRmfoSxp7y8wNbddu972yqvifMwlut_kXdvY1vGw5hJZN7ejazwRGyGoP8/s640/KAPUAS0000.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr align="left"><td class="tr-caption">Kapuas tidak pernah mati. Ia mengalir senada dengan semangat orang-orang yang mengarunginya. Kapuas selalu memberikan cerita yang menggairahkan. Kendati warnanya sudah tak jernih, Kapuas tetap menjadi inspirasi banyak orang. Setiap hari selalu ada orang yang merayakan Kapuas. Turunan generasi selalu berharap ada yang menjaga Kapuas agar tetap semangat mengalir. </td></tr>
</tbody></table>
<span class="fullpost">
</span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-78601301368381922712012-03-22T18:54:00.001-07:002012-03-22T18:56:44.295-07:00Kayuh Lelaki Sungai<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg268li4jS_pxb_EXfmFYLclg6ExGZ_32q3775O95u4mXpsNwW9K5shcHS2h1SKZ0QdUrbNFuZb99-RiU-d22Pkzd-g54Mqv3EzzPhd9daPQ7ALXJRkTskU_v5r-er1AMgWEtcp39laii0/s1600/KAPUAS+%28412.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="319" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg268li4jS_pxb_EXfmFYLclg6ExGZ_32q3775O95u4mXpsNwW9K5shcHS2h1SKZ0QdUrbNFuZb99-RiU-d22Pkzd-g54Mqv3EzzPhd9daPQ7ALXJRkTskU_v5r-er1AMgWEtcp39laii0/s640/KAPUAS+%28412.jpg" width="640" /> </a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Riak kecil air yang tersibak dayung menjadi musik terindah bagi pria bercaping pada sebuah senja di Sungai Kapuas. Lelaki paruh baya ini sedang menggantang asa untuk melanjutkan kehidupannya. Pada setiap kayuhnya ia berharap nanas yang teronggok di hadapannya dilirik sekaligus dibeli pada peminatnya. Lelaki sungai ini tidak sedang bermimpi. Namun ia punya seonggok cita-cita untuk kehidupan yang lebih baik. </div>
<span class="fullpost">
</span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-16540652979868850222012-03-14T22:00:00.000-07:002012-03-14T22:11:46.530-07:00Angan Tembawang, Halo Indonesia<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOD2CtJkleLa-CZX4CBRc2s22TNht9iAhi3-dmXplSEnICfIMNGqzKLWRsmfWgHwabl9PUHQfn2csgrUJndK6cvOTv0tNhQR1yXF4Cr4y8ZASeGl4_Pa-hxgl8Ok-Llol6zi1Gdd4gfDY/s1600/088.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="178" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOD2CtJkleLa-CZX4CBRc2s22TNht9iAhi3-dmXplSEnICfIMNGqzKLWRsmfWgHwabl9PUHQfn2csgrUJndK6cvOTv0tNhQR1yXF4Cr4y8ZASeGl4_Pa-hxgl8Ok-Llol6zi1Gdd4gfDY/s320/088.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
</div>
<span class="fullpost">Angan Tembawang. Hanya sedikit orang yang tahu daerah ini. Jangankan di peta milik republik, atlas provinsi saja tidak tercantum. Barangkali di peta kabupaten juga tak tercatat. Selain jauh dari ibu kota pemerintah, daerah ini berada di perbatasan antarkabupaten. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Hal yang lumrah bagi sebuah daerah yang berada di sempadan. Selalu diabaikan dari pembangunan. Elit hanya datang ketika meminta simpati masyarakat saat hari pemilihan umum tiba. <br /><br />Angan Tembawang memang bukan sebuah wilayah yang berada di sempadan negara. Tentu saja jauh dari pertikaian politik internasional, kepentingan antarnegara, terutama soal pergeseran patok batas. Angan Tembawang hanya sebuah desa yang terisolir, walau secara provinsial, kampung itu berada di tengah-tengah. Jangankan sinyal telepon seluler, jaringan listrik saja baru pada tahap usulan. <br /><br />November 2011, belasan orang Angan Tembawang mendatangi kantor PT PLN (Persero) di Pontianak. Didampingi seorang wakil rakyat, yang tentu saja ada muatan politisnya, orang-orang yang rata-rata memiliki kedudukan dalam pemerintahan desa tersebut diterima petinggi pengelola listrik negara. Sebuah harapan tersirat sekaligus tersurat dalam angan-angan orang Angan. <br /><br />Angan Tembawang tentu saja jauh dari keramaian kota. Tapi begitu dekat dengan udara yang menyegarkan. Angan Tembawang memang jauh dari keriuhan informasi dan teknologi, tetapi sangat dekat dengan kearifan lokal. Angan Tembawang juga sangat tidak akrab dengan kerlap kerlip lampu seperti gedung-gedung pencakar langit di metropolitan, tetapi begitu akrab dengan kerlip kunang-kunang yang menghiasi langit malam. <br /><br />Tetapi harapan yang terpahat di benak orang-orang Angan hanya menjadi angan-angan. Kebaikan politik yang disematkan pada harapan mereka hanya sebuah retorika. Orang-orang Angan kemudian terlelap dalam mimpi malam ditemani kunang-kunang. Tak ada kerlip lampu dengan kripton menyala. Tak ada konser compact disk yang menggema. Tak ada kerlip lampu merah di angkasa yang berasal dari tower seluler. Yang ada hanya keresahan orang-orang Angan dengan gerutu tak tentu rudu. <br /><br />Angan Tembawang tak berada di sempadan negara. Ia berada di tengah-tengah provinsi dengan tugu khatulistiwanya. Angan Tembawang hanya berada di batas kabupaten, Landak dan Sanggau. Sudah barang tentu, nasibnya juga sama dengan kampung-kampung di sempadan negara. Sama-sama terabaikan. Sama-sama terbelakang. Inilah ironi sebuah kampung di sempadan. <br /><br />Tentu saja, orang-orang Angan tak bisa menggertak untuk merdeka sendiri, atau mengibarkan bendera negara lain. Toh, siapa juga yang peduli. Lagian, Angan Tembawang juga jauh dari batas negara. Tentu saja, orang-orang Angan tak bisa berteriak lebih lantang, karena tak punya wakil di parlemen. Apalagi di birokrat. Yang mengenyam pendidikan tinggi saja boleh dihitung dengan jari. Sepuluh jari tangan saja tak habis untuk menghitungnya. <br /><br />Dari sepuluh yang ada itu, tentu saja tidak semuanya peduli dengan kemajuan Angan Tembawang. Mungkin lebih banyak abai. Lebih banyak memikirkan diri sendiri. Saya tidak menyebut diri sebagai orang yang peduli, tetapi mencoba menyuarakan kegelisahan lewat tulisan. Inilah satu kesempatan untuk berteriak lebih keras tanpa takut kehilangan suara karena parau. <br /><br />Ah, sudahlah. Semoga ada yang membaca kegelisahan ini. Mungkin juga tidak peduli dengan keresahan si penulis, tetapi paling tidak sudah membacanya hingga akhir. (*)<br /><br /><br />
</span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-25051400729486466992012-03-14T01:09:00.000-07:002012-03-14T01:16:38.397-07:00Akai Merakai<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNhBxnpbEqVC1MfOB1LS3bALJjoRW8CWkBCBrTiW0AsU5oiEffIqyo0N9h-E0y9PjHaspdVzM4eIsEDFfjVRhSFxGbjl3h2SDuQ2h-K_pFYXXOc2fJRnBnNbQ3o0qXSUGbYWn2YRlhQ4c/s1600/RUSAK.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="175" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNhBxnpbEqVC1MfOB1LS3bALJjoRW8CWkBCBrTiW0AsU5oiEffIqyo0N9h-E0y9PjHaspdVzM4eIsEDFfjVRhSFxGbjl3h2SDuQ2h-K_pFYXXOc2fJRnBnNbQ3o0qXSUGbYWn2YRlhQ4c/s320/RUSAK.jpg" width="320" /></a></div>
Awal Maret ini saya berkesempatan berkunjung ke Nanga Merakai. Sebuah kota kecil di perbatasan negara antara Indonesia dan Malaysia di Kabupaten Sintang. Nanga Merakai, secara administratif kepemerintahan tercatat sebagai ibu kota Kecamatan Ketungau Tengah.<br />
<br />
Ini perjalanan kedua saya ke Kecamatan Ketungau Tengah. Perjalanan pertama pada 2007, ketika mengikuti kunjungan kerja Akil Mochtar, saat masih menjabat anggota DPR. Perjalanan pertama itu tidak sampai di Nanga Merakai. Hanya pada desa yang secara administratif masuk wilayah Ketungau Tengah. Saya tak ingat lagi, apa nama desa yang dikunjungi lima tahun lalu tersebut.<br />
<br />
Saya berangkat dari Sintang pukul tiga sore. Sedikit terlambat dari jadwal semula yang seharusnya berangkat pukul 14.00. Baru saja keluar dari Tugu Sunan Kuning berbelok ke arah Mensiku menuju Ketungau, kami sudah disuguhi tanah kuning yang berlubang-lubang. Mika, warga Merakai, meyakinkan kami hanya mobil gardan ganda yang bisa lewat. Sebab itu, rata-rata orang Merakai membeli strada ford ranger sebagai kendaraan utama. Kendaraan pribadi itu tak jarang berfungsi sebagai angkutan umum. Tiap orang yang ingin menumpang dikenai tarif Rp100.000 untuk sekali jalan.<br />
<br />
Lewat jalan yang rusak berkelok-kelok. Tak ada aspal. Semua jalan tanah kuning. Kiri kanan jalan hamparan kebun sawit. Di bagian lain, kiri kanannya dipenuhi tumbuhan akasia.<br />
<br />
Awalnya hendak menyusuri jalan negara, begitu warga merakai menyebutnya. Namun jalan itu sedang dilanda banjir. Sehingga driver, Titus memilih jalan perusahaan yang berliku. Sesekali singgah untuk sekadar melepas penat setelah duduk berjam-jam duduk dalam mobil, atau buang air kecil.<br />
<br />
Jalur perusahaan juga tak berbeda. Jalan-jalan tanah yang belum berlapis aspal atau beton. Kerusakan-kerusakan menciptakan danau-danau kecil sepanjang jalan. Jembatan kayu hanya sebagai simbol kalau pelintas akan melintasi sungai. Jalan berkelok mendaki dengan kerikil dan berangkal batu.<br />
<br />
Pada satu jalan mendaki berkelok, sebuah portal terpasang. Satu bambu dipasang melintang yang disangga dua tiang kayu. Pada salah satu ujung bambu dipasang tali, diujung lainnya diberi pemberat. Tali itu untuk mengaitkan bambu pada tiang lainnya sehingga pelintas jalan, baik roda empat maupu roda dua, akan berhenti sejenak. Triplek berukuran persegi panjang, dengan lebar 60 cm dan tinggi 40 cm, ada satu pengumuman tentang tarif. Jika pelintas menggunakan mobil ia dikenakan tarif Rp50 ribu, sedangkan sepeda motor dikenakan tarif Rp20 ribu. Portal itu dijaga seorang petugas dari penduduk setempat yang dilakukan secara piket atau bergiliran.<br />
<br />
"Kalau pertama melintas kita bayar 50 ribu rupiah, kalau sudah dua atau tiga kali, bisa turun jadi 20 ribu rupiah," kata Titus, seorang pelintas.<br />
<br />
Titus tinggal di Nanga Merakai. Lelaki yang mengendarai ford ranger itu kerap melintasi ruas jalan tersebut. Kadang Titus lewat jalan negara. Tapi bila jalan negara tergenang cukup tinggi, Titus akan lewat jalan perkebunan itu. Untuk itu, ia harus menyiapkan dana tak terduga.<br />
<br />
Titus terus menginjak pedal gas mobilnya. Lagu Pance Pondaag dan D'Lloyd mengiringi perjalanan yang melahirkan penat itu. Saya yang duduk di depan mencoba memejam mata, bahkan tertidur. Tiga teman di bangku tengah juga tertidur karena lelah. Titus banyak cerita bagaimana mudahnya warga di sepanjang jalan perkebunan sawit itu menyerahkan lahannya kepada perusahaan. Kata Titus, pola kemitraannya tidak wajar. "Kalau kita serahkan sepuluh hektar, delapannya untuk perusahaan, masyarakat hanya dapat dua hektar saja," katanya.<br />
<br />
Langit mulai suram. Malam sebentar lagi tiba. Sisa-sisa matahari masih menerangi puncak gunung. Cahaya itu memberi warna lain pada gunung yang sudah purnahijau. Kunang-kunang mulai berkedip. Ia menemani bintang yang juga mulai berkedip nun jauh di langit. Burung-burung pun mulai kembali ke sarang. Serangga malam mengeluarkan suara-suara yang menjadikan malam tak sunyi. Namun suara serangga tenggelam oleh deru kendaraan yang kami tumpangi.<br />
<br />
Saya terbangun. Saya tanya pada Titus, "berapa lama lagi kita sampai di Merakai?"<br />
<br />
"Sekitar 45 menit."<br />
<br />
Jarum jam di dashboard strada yang dikendarai Titus menunjuk pukul 18.30. Jika benar, kata Titus, berarti lama waktu tempuh Sintang - Merakai sekitar lima jam. Lebih cepat dua jam dari waktu normalnya. "Kita agak laju," kata Mika, salah satu penumpang yang ikut serta dalam perjalanan itu.<br />
<br />
Kami tiba di Merakai, jam sudah menunjuk pukul delapan malam. Titus menghentikan mobil pada deretan warung-warung. Kami harus makan karena perut sudah menagih. Di sebuah warung makan di Jalan Siliwangi, kami ingin menikmati nasi. Pemilik menghidangkan piring berisi nasi. Kucoba membauinya, sepertinya sudah basi. Kuminta beberapa teman membauinya, hasil sama. Mereka sepakat kalau nasi itu sudah basi. Saya pun batal makan nasi. Kemudian memesan mie instan rebus. <br />
<br />
Ah, akai merakai. (*)<br />
<br />
Note:<br />
Akai dalam bahasa setempat bermakna sebagai kata seru untuk menyatakan rasa heran, atau sakit.<br />
<div>
<br /></div>
<span class="fullpost">
</span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-19539395959321577292012-02-06T21:49:00.000-08:002012-03-14T00:07:50.906-07:00Batas Negara; Ujung Sebuah Negeri<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4X5PGhUyAdy5VYs35RsBMRb6j_K1PGm-ZOHNi55fZAB8HopfdiyPXQLPiUKJZhMgi812So7UN2fgBfb7A0omy0Jv-PweiGPN4hTllj6midGCo56zDggCxRvIINfTqlRFR7OBqEQWmT1g/s1600/kakaka.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="174" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4X5PGhUyAdy5VYs35RsBMRb6j_K1PGm-ZOHNi55fZAB8HopfdiyPXQLPiUKJZhMgi812So7UN2fgBfb7A0omy0Jv-PweiGPN4hTllj6midGCo56zDggCxRvIINfTqlRFR7OBqEQWmT1g/s320/kakaka.jpg" width="320" /></a></div>
Jika boleh mengurut, ada tiga tempat yang menjadi favorit bagi orang ketika berkunjung ke tanah Borneo Barat. Tiga tempat itu berada pada kabupaten/kota yang berbeda juga. Satu, Pontianak. Kedua, Singkawang, dan ketiga itu Entikong. <span class="fullpost"><br /></span><span style="font-family: 'courier new'; font-style: italic;"></span>Mengapa hanya tiga tempat itu? Pontianak, sebagai ibu kota provinsi, tentu saja menjadi lalu lintas yang utama. Tetamu yang berkunjung dari luar Pontianak akan singgah di kota ini. Walau hanya sejenak untuk sekadar meluruskan pinggang karena lelah berpergian.<br />
<br />
Sebagai sebuah kota perdagangan dan jasa, Pontianak mau tidak mau harus siap menerima arus mobilitas massa yang frekwensinya terus meningkat. Karena itu, infrastruktur penunjang harus juga siap. Inilah yang menjadi tugas pemerintah. Apapun alasannya, infrastruktur penunjang sebagai sebuah kota perdagangan dan jasa haruslah sudah siap.<br />
<br />
Jika berkunjung ke Pontianak. Sebagian orang akan melanjutkan perjalanannya. Ada dua tempat yang kerap menjadi tujuan: Singkawang dan Entikong. Singkawang yang disebut juga kota amoy, selalu menjadi tempat pelesiran yang menarik. Dari Pontianak, Singkawang bisa ditempuh menggunakan mobil atau sepeda motor. Waktu tempuh dari Pontianak sekitar tiga jam dengan kecepatan rata-rata 80 kilometer per jam.<br />
<br />
Pada momen tertentu, kunjungan ke Singkawang meningkat signifikan. Di antaranya, saat perayaan Imlek, Cap Go Meh, sembahyang kubur, bahkan peringatan-peringatan hari besar lainnya. Namun tingkat kunjungan tertinggi biasanya terjadi saat warga Tionghoa merayakan hari-hari kebesarannya.<br />
<br />
Lokasi kedua yang kerap dikunjungi jika seseorang sudah berada di Pontianak, yakni Entikong. Lho, kok bisa? Yah, Entikong boleh dicatat sebagai lokasi yang paling banyak dikunjungi orang. Bahkan, Badan Pusat Statistik menempatkan Entikong sebagai salah satu indikator mencatat jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kalimantan Barat. Kendati faktualnya, tidak semua orang yang masuk dan keluar lewat Entikong dengan tujuan berwisata. Ada juga sebagian yang masuk untuk berbisnis.<br />
<br />
Ada juga kebiasaan pejabat dari pusat negara yang berkunjung ke Kalbar. Begitu, tiba sekalian mengunjungi Entikong kemudian menyeberang ke Jiran. Namun kunjungan yang berkode resmi itu tidak juga bisa mengubah wajah batas negara. Padahal kedatangan temuai dari pusat negara menyerap aspirasi masyarakat perbatasan untuk sebuah kemajuan.<br />
<br />
Ada pameo dalam masyarakat perbatasan: jika saja buku tamu dikumpulkan selama bertahun-tahun, maka isinya sudah tidak muat untuk tandatangan oleh tetamu itu. Bahkan, ada seloroh yang menyebutkan, “hanya malaikat saja yang datang ke perbatasan ini. Tetapi wajah perbatasan tetap saja seperti ini.” (*)Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-44745141726542738662012-01-28T19:54:00.000-08:002012-01-28T19:56:29.721-08:00Coretan VanessaVanessa baru saja keluar dari kelas. Tas barbie pink bergelayut di pundaknya. Rambut sebahu terikat tak berkepang. Sepatu hitam berkaus kaki putih. Seragam olahraga tak pas dengan ukuran tubuhnya yang ceking. Vanessa mengumbar senyum. <span class="fullpost"> <br /><br />Di bawah akasia, di halaman sekolah, aku menunggunya. Limabelas menit sebelum jadwal pulang sudah bertemu akasia rindang itu. Ritual Sabtu pagi sebagai sebuah pertemuan dengan Vanessa, bocah enam tahun yang baru kelas satu sekolah dasar. <br /><br />Perempuan kecil, my little angel, yang selalu ceria memberondongku dengan beragam tanya. Mulai kapan datang, kenapa ayah pakai celana pendek, lalu naik apa datangnya. Dari beragam tanya itu, satu hal yang tak dilupakannya. <br /><br />"Mana buku kakak?" <br />"Ada."<br />"Di mana ayah beli?" <br />"Di Pontianak." <br /><br />Dia naik ke sadel sepeda motor. <br />"Berapa ayah beli?" Gadis kecilku itu kembali bertanya saat roda-roda sepeda motor menggilas aspal jalan yang dihiasi lubang-lubang. <br /><br />“Dua.” <br />“Asik. Buku.. buku.” <br />Vanessa menggoyang-goyangkan kepala dan badannya. Aku mengingatkannya agar tak terlalu bergoyang-goyang karena khawatir terjatuh dari sepeda motor. Sebab kami melintasi rute yang ramai dilintasi para pengendara, yang laju kendaraan hingga 80 kilometer per jam. <br /><br />Sepuluh menit berlalu. Saya menghentikan laju sepeda motor. Vanessa turun. Tas minnie the pooh ditinggalkan. Tanpa buka sepatu, ia langsung masuk kamar menghampiri ransel yang selalu setia menemani ayahnya. Tanpa ba bi bu, isi tas dibongkar. Satu buku cerita rakyat dan satu buku gambar ditariknya. Ia melonjak kegirangan. Mulai ia menyerecos tak tentu rudu. <br /><br />Tanpa mengemas bukunya, Vanessa langsung bermain. Ia kedatangan tamu. Cici, teman sebaya, anak tetangga sebelah. Keduanya masuk gudang. Mainan dalam keranjang dibongkar. Suara-suara tawa renyah menemani. Aku jadi iri melihat keceriaannya. Sejenak aku melamun, bayang masa lalu datang. Ingat ketika Emak dan Ayah masih ada. Sebelum keduanya berangkat menuju dimensi lain. Dimensi yang pada suatu hari nanti, semua orang akan menghadapinya. Saat Vanessa bermain, Pedagi hanya melangkah satu dua. Lelaki satu tahun itu menuju ayunan. Bahasa tubuhnya, ia mengatakan, ingin tidur. <br /><br />Lelah bermain, Vanessa menghampiriku. “Yah, susu,” katanya. Aku terbaring seraya menonton televisi langsung beranjak. “Terima kasih,” sahut Vanessa saat kusodorkan botol susu kepadanya. Ia pun mengambil guling kemudian berbaring sambil menonton teve. Setengah jam, susunya ludes. <br /><br />Kembali ia merengek, agar mengambil buku gambarnya. Kendati malas, aku tetap saja menuruti kemauannya. Buku gambar dan pensil, juga crayon sudah ditangannya. Ia pun mulai mencoret. Dua gunung dengan matahari mengintip dari salah satu sudutnya. Di bawah gunung satu rumah dengan jalan berkerikil. Tak ada sawah di lereng gunung itu. Ah, satu coretan yang sarat makna. <br /><br />Inilah hari-hari Vanessa…..(*)<br /></span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-83819394981401235372012-01-28T08:35:00.000-08:002012-01-28T08:36:53.395-08:00Berbagi KegelisahanAku berangkat membawa kegelisahan. Bersama hujan yang tak jeda sejak sore hingga hari menjelang pagi. Mungkin hujan tahu kalau hati lelaki senja itu sedang galau. Ribuan kedip tak berjeda membuncah dalam setiap pori-pori jiwa. Saat hujan mulai jenak, galau tak jua beranjak. Hanya satu keyakinan, selalu ada jalan untuk keluar. Dan, suatu hari nanti, kita bisa berucap selamat tinggal galau. <span class="fullpost"> <br /><br />Aku tak bisa sepenuhnya melawan kegelisahan. Sebab kegelisahan menunjukkan betapa tidak sempurnanya hidup. Kegelisahan juga menunjukkan kalau kebahagiaan sejatinya tak singgah. Ia hanya lewat sejenak. Menoleh, namun enggan singgah. Senyum pun payah. Mungkin kebahagiaan sedang bad mood. Walau begitu, aku masih berharap ia mau singgah, walau hanya sejenak. Tentu dengan senyum yang tak dipaksakan. <br /><br />Hujan mulai berjeda. Satu harap terserap. Bahagia harusnya segera menghadap, agar jiwa yang dipenuhi kegelisahan bisa berubah menjadi kegembiraan. Ceria akan membawa cerita indah. Karena kegelisahan menjadi catatan yang tak mencerdaskan. Aku rindu semua hasrat yang belum terjawab. Aku ingin berbagi cerita kala bersua. Sebab banyak hal yang tak bisa diceritakan kalau kita tidak bersua. <br /><br />Manusia memang mengharap kebaikan pada hidup. Manusia mencoba untuk meraih kebahagiaan yang tak memiliki fisik. Kebaikan dan kebahagiaan sebuah subjek dari perjalanan hidup seorang manusia. Banyak orang menjelajahi riwayat kehidupan yang berhari-hari, berminggu, berbulan, bertahun, hingga berabad-abad. Hanya sedikit yang benar-benar merasakan kebaikan dan kebahagiaan sebagai suatu kegembiraan. <br /><br />Ketika masih kecil, setiap hari kita diliputi kegembiraan. Senang dan ceria. Tak ada kesedihan. Walau orangtua bersedih, gelisah, kita tetap saja gembira. Kebahagiaan selalu datang setiap saat. Tak mengherankan bila banyak orang ingin kembali kepada masa kecil. Sebab segalanya berubah ketika sudah beranjak remaja, bahkan dewasa. <br /><br />Saat remaja, omelan kerap diterima. Hampir tak ada yang baik, yang kita lakukan. Semua ada kurangnya. Marah dan ketidaksenangan kerap datang. Kadang kita tak sanggup menerimanya. Kadang cuek saja, sebab ketidaksempurnaan memang milik kita sebagai manusia. <br /><br />Baiklah….<br />Sudahlah tidak perlu berdebat. (*)<br /><br /><br /></span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-53071929094555273152012-01-05T20:20:00.001-08:002012-01-05T20:22:00.536-08:00Lelaki PenyadapPagi masih dini. Seorang lelaki menuruni lima anak tangga rumahnya. Sebilah parang tersalib di pinggangnya. Dua palong dipanggul. Lelaki itu berangkat menuju pohon enau yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumahnya. <span class="fullpost"> <br /><br />Satu dua langkahnya. Menerobos dedaunan yang masih dibasahi embun pagi. Tetesan embun membasah kaki. Lelaki itu tetap melangkah. Ia bergegas. Mentari mulai menapaki tangga langit. “Sudah pagi. Jangan sampai siang,” batin lelaki itu. <br /><br />Lelaki itu kini sudah tiada. Ia sudah berangkat ke dimensi lain pada 6 Januari 1999, tiga belas tahun lalu. Namun roh lelaki itu tetap mengalir pada orang-orang yang ditinggalkannya. Walau tak ada kisah heroiknya seperti ode seorang pahlawan yang menerima anugerah dari negara. Bagi lelaki penyadap, anugerah itu bukan sesuatu banget. Baginya, kisah heroik terpenting adalah mendidik dan membesarkan anak-anaknya dalam buaian adat istiadat leluhurnya. <br /><br />Hingga akhir hayatnya, lelaki penyadap itu tetap setia pada kaulnya. Menyadap hingga lanjut usia. Tak ada purnabakti. Baginya sepanjang masih bisa memanjat pohon aren dan mayang, menyadap harus dilakoni. Sebab ada ritual cinta yang dirawatnya hingga mayang-mayang itu tetap mengurai. <br /><br />Tak ada pagi yang tak ceria bagi lelaki itu. Pagi selalu memberinya semangat. Semangat untuk menyadap. Mengganti palong yang sudah semalaman bergantung di pelepah mayang. <br /><br />Nira dalam palong sudah berbisik, “segera jadikan aku gula merah yang menggoda rasa.” <br /><br />Pada setiap pohon, lelaki penyadap mengeluarkan nyanyian tanpa lirik. Pada setiap pelepah, lelaki penyadap bersenandung tanpa harmoni nada. Suara yang keluar dari kerongkongannya lebih mirip lolongan yang menyayat. “Ini bermakna memanggil air aren agar lebih banyak menetes hingga palong-palongnya penuh.” <br /><br />Usai bernyanyi, lelaki penyadap menuruni tapak-tapak tangga kayu yang terikat akar pada batang enau. Ia beralih pada sadapan lainnya. Kembali tapak-tapak tangga dinaiki. Kembali ia bersenandung bahasa-bahasa yang tak bisa dimengerti. Usai itu, kembali ia menuruni anak-anak tangga. Ia lakoni rutinitas itu dengan cinta hingga sepuluh bahkan duapuluh batang aren. <br /><br />Menjelang siang, lelaki penyadap pulang ke rumah. Tujuh anak dan satu istri menunggu di muka lawang. Senyum merekah dan teriak kegirangan anak-anak menyambutnya. Palong-palong dilepas dari panggulannya. Dalam kawah, nira-nira itu dituangkan. Api menyala membakar kayu-kayu. Panas mengalir dalam setiap sudut kawah hingga nira mendidih dan berubah warna menjadi merah tak menyala. <br /><br />Anak-anak menyusun cetakan bundar yang terbuat dari pelepah kayu. Cetakan itu untuk ukuran satu kilogram. Mereka menanti tuangan nira yang berubah menjadi gula pada setiap cetakan. Ada rasa senang dalam penantian itu. <br /><br />Aku bagian dari anak-anak itu. (*)</span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-72582619576190818202011-11-30T19:03:00.000-08:002011-11-30T19:05:20.196-08:00Sebuah Negeri: MakassarAkhir November, saya berkunjung ke Makasar. Sebuah kota yang dulunya bernama Ujung Pandang, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Saya menghadiri kongres Aliansi Jurnalis Independen yang berlangsung sejak 1-3 Desember 2011, sebagai delegasi Pontianak. <span class="fullpost"> <br /><br />Ini perjalanan yang cukup melelahkan. Berangkat dari Pontianak pukul 12.30 menggunakan Garuda, tiba di Jakarta setelah satu jam lima belas menit berada di udara. Tiket berikutnya menuju Makassar menggunakan Lion Air. Beda maskapai, beda juga terminalnya di Bandara Soekarno Hatta. Garuda di terminal dua, sementara Lion berada di terminal satu. <br /><br />Untuk pindah terminal, saya harus naik angkutan khusus bandara yang disediakan gratis. Perlu waktu tempuh lima belas menit agar bisa berpindah terminal. <br /><br />Saya punya banyak waktu untuk rehat di bandara sekadar menunggu jam terbang berikutnya. Tiket tertulis jadwal terbang pukul setengah lima. Sementara saya tiba di bandara Soekarno Hatta sekitar dua setengah jam sebelumnya. Saya bisa keliling-keliling bandara hanya sekadar menikmati ulah para penunggu jam terbang. <br /><br />Di ruang tunggu orang-orang begitu ramai. Ada yang tidur, memainkan telepon genggamnya, sebagian lagi bercanda dengan anak-anaknya. Saya ikut larut menikmati aktivitas di luar rutinitas rumahan itu. Saya teringat Pedagi dan Vanessa, yang selalu ceria saat berkumpul setiap sabtu. <br /><br />Arloji digital di ruang tunggu mendekati jam terbang. Operator bilang kalau pesawat yang menuju Makassar sudah mendarat. Hanya saja, perlu waktu sekitar setengah jam untuk urusan teknis. Jadi penumpang diminta bersabar untuk menunggu waktu berkemas pesawat tersebut. Rentang waktu urusan teknis selesai, operator mengumumkan, kalau penumpang tujuan Makassar harus pindah ruang tunggu. <br /><br />Waktu tempuh dari Jakarta ke Makassar sekitar dua jam. Perbedaan waktu antara Jakarta dan Makassar satu jam. Saya berangkat dari Jakarta pukul enam sore, itu berarti di Makassar sudah pukul tujuh malam. Dengan begitu, saya tiba di Makassar sekitar pukul Sembilan malam. <br /><br />Bandara Hasanuddin terang benderang. Kesibukan masih terjadi. Sopir taksi sibuk menawarkan jasa angkutan. Saya menolak karena sudah ada jemputan dari panitia kongres. Berkumpul dengan beberapa teman dari daerah lain, saya menunggu jemputan di basement bandara internasional itu. Saling sapa. Saling kenal sebagai sesama jurnalis yang akan bertemu dalam arena kongres kedelapan tersebut. <br /><br />Dari Bandara Hasanuddin, bus penjemput membawa kami ke lokasi kongres di Hotel Aryaduta. Registrasi dan mendapatkan beberapa materi untuk kepentingan kongres pada esok harinya. Waktu di Makassar sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah tengah malam. <br /><br />Lelah mendera. Tubuh mesti rehat agar raga bisa prima esok hari. (*)<br /></span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-69228818199547243762011-09-20T11:39:00.000-07:002011-09-20T11:40:04.623-07:00Kamu Bisa Saja<span class="fullpost"> nak <br />kamu bisa saja mengambil bulan<br />dengan mata, hati, dan pikiranmu<br />tetapi, jangan seperti pungguk<br />yang tersedu kala malam tiba<br />bila merindu pada bulan <br /><br />nak<br />kamu bisa saja seperti bintang <br />yang tak jenuh berkedip<br />menemani bulan mengarungi malam <br /><br />nak<br />kamu bisa saja seperti kunang-kunang <br />yang bersinar kala malam tiba<br />penunjuk jalan bagi yang tersesat<br />karena <br />hanya kunang-kunang bintang terdekat<br />yang bisa kau raih<br /><br />maka kau bisa saja meraih bulan<br />dengan cita yang kau sandarkan pada bintang<br />dengan kedip yang kau titipkan pada kunang-kunang <br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-62752122103104574092011-09-20T11:23:00.000-07:002011-09-20T11:26:20.006-07:00Malaikat Kecil dan Penjaga Istana CintaSampai tengah malam, mataku belum bisa terlelap. Sambil mendengar satu lagu dari Wali Band, kurangkai barisan kata-kata ini. Aku teringat dua malaikat kecilku yang tak bisa kulihat kepulasan. Aku terbayang penjaga pintu istana cintaku yang lelah karena menjaga keriangan dan keceriaan dua malaikatnya. Aku rindu ketiganya. Aku ingin segera bertemu. <span class="fullpost"> <br /><br /></span>Aku juga rindu Sabtu pagi. Hari yang kutunggu agar bisa bersua ketiganya. Pagi yang kunanti agar bisa kulihat ceria, juga keriangan dua malaikat kecilku. Senyum malu-malu Pedagi saat melihatku membuka pagar rumah yang tak begitu tinggi. Langkah terhuyungnya sambil menendang bola dengan kaki kirinya. Cekikikannya yang menggemaskan. <br /><br />Sabtu pagi juga yang menjadi hari pengobat kerinduanku pada ketiganya. Teriakan Vanessa saat melihat aku duduk disadel sepeda motor kala menunggunya di halaman sekolah. Ocehannya yang tiada henti dalam perjalanan pulang ke rumah. <br /><br />Menjawab tanya yang tanpa henti dari bibir mungilnya. Cerita tentang sekolahnya. Cerita soal kesenangannya. Tentu tidak pernah melupakan keinginannya untuk melihat keriuhan pasar. <br /><br />Pada Sabtu pagi itu juga aku bersua penjaga kunci istana cinta. Perempuan yang tak lelah berjuang kebaikan. Perempuan tegar yang selalu direpotkan oleh keceriaan dan keriangan dua malaikat kecilnya. Perempuan yang selalu sabar menghadapi kenyataan hidup. Perempuan yang tetap senyum walau hidup yang dilakoni pahit. <br /><br />Aku banyak belajar hidup dari perempuan ini. Dan, sampai tengah malam ini, aku masih belajar darinya dalam menjalani hidup. Perempuan yang kukagumi setelah Emak, yang sudah berangkat ke dimensi lain. <br /><br />Tengah malam ini, aku malu pada diri. Lelaki yang tak bisa mengharubirukan ketiga kekasih zamanku: dua malaikat dan penjaga kunci istana cinta. Tak bisa mendekorasikan kebahagiaan pada wajah-wajah ketiganya. Lelaki yang tidak mampu melukiskan keindahan pada raut-raut yang terlelap dalam tidur malamnya. Lelaki yang tak bisa seperti kunang-kunang saat malam menjelang. <br /><br />Setakat ini, aku menghatur maaf karena tak bisa menghadirkan bintang di langit-langit rumah cinta. Tetapi aku akan berusaha menjadi bintang sekaligus kunang-kunang yang tak berhenti berkedip. Sama seperti dua malaikat kecil penghias istana cinta yang juga tak menghentikan keceriaannya. <br /><br />Hingga selesai satu lagi Wali Band yang bertajuk, baik-baik sayang, aku belum juga terlelap. Mungkin aku harus mendengarnya hingga tiga kali, barulah bisa terlelap. (*)Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-54171504386587212102011-08-16T21:47:00.000-07:002011-08-16T21:48:24.965-07:00Surat Hari Merdekaaku ingin mengajakmu bersenda di taman dekat tepian kapuas
<br />menikmati seiris kemerdekaan ini
<br />yang hanya milik kaum borjuis dan kapitalis
<br />
<br />kita proletar, istriku
<br />kaum sudra yang hanya merajut impian
<br />merdeka bukan milik kita
<br />merdeka hanya mitos yang kita dengar ketika sekolah dulu
<br />ketika kita mengejar angka-angka agar rapor tak merah
<br />
<br />kita jongos, istriku
<br />orang kampung yang ngos-ngosan mengais rezeki
<br />merdeka hanya singgah sebentar
<br />itupun kala kita terlelap di alam mimpi
<br />kala semesta bernyanyi kidung malam kudus
<br />kala terjaga mitos itu pergi tanpa permisi
<br />
<br />karena itu, sekali lagi aku ingin mengajakmu ke tepian kapuas
<br />menikmati seiris kemerdekaan yang kita raih
<br />bersama dua malaikat kecil yang tak jengah tersenyum
<br /><span class="fullpost"> </span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-65502637862219180592011-08-12T06:39:00.000-07:002011-08-12T06:41:06.871-07:00Senggang Enggangenggang yang malang
<br />di rimbamu yang tak lagi hijau aku teringat
<br />pohon-pohon rebah memeluk bumi bukan karena lamur
<br />tanah-tanah merekah menjadi kawah bukan karena kemarau
<br />para pemuja uang berlomba menggendong gergaji besi
<br />menabur kebencian pada rimba yang perkasa itu
<br />
<br />suaramu sudah serak hingga tak sanggup lagi berteriak
<br />bahkan kedip mata, kepak sayapmu pun tak lagi bersuara
<br />dalam senggangmu
<br />paruh yang kau banggakan tak mampu lagi mendongak
<br />
<br />rimbamu yang perkasa sudah berlalu dengan lunglai
<br />
<br />ingatkah kau pada:
<br />derap langkah pemburu yang takut memasuki belantaramu
<br />sesak napas petani yang terengah-engah mendaki gunungmu
<br />
<br />dan, kau yang pernah mengurai air mata
<br />karena takdirmu bermain mata
<br />
<br />kepakmu tak lebar
<br />paruhmu pendek
<br />terbangmu merendah
<br />tapi matamu merupa kesedihan
<br />nyanyianmu bernada requiem
<br />tanpa sumpah
<br />
<br />rehatlah sejenak Enggangku
<br />nikmatilah rimbamu yang tak perkasa lagi
<br />tak ada yang bisa kau harap
<br />karena manusia terlalu serakah
<br />
<br />pohon tempatmu bertengger
<br />dibabat untuk memuja uang
<br /><span class="fullpost"> </span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-4039307418867441612011-07-26T08:22:00.000-07:002011-07-26T08:24:13.923-07:00Bertemu Pak BejeSuryanto begitu semangat berbicara di depan audiensnya. Dibantu cahaya lampu pijar, ia menjelaskan peta kampung yang disusun bersama tim Kalimantan Forests and Climate Partnership. Suryanto sangat paham materi yang disampaikan malam itu. <span class="fullpost"> <br /><br />Suryanto memegang jabatan Sekretaris Dusun Tumbang Mangkutub, Desa Katunjung, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Malam itu, ditemani kepala dusun, juga sejumlah aparatur desa. <br /><br />Kami, para juruwarta, juga peneliti kehutanan mengikuti alur penjelasan Suryanto. Lelaki berambut ikal ini sangat detil menjelaskan setiap titik peta dusun yang dibawanya. Suaranya menggelegak kala menyebut beberapa titik pada peta itu. Termasuk lokasi-lokasi yang jadi pilot projectnya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. <br /><br />Suryanto juga menceritakan bagaimana masyarakat mengubah prilaku, yang dulunya kerap menjadi penebang kayu, sekarang lebih suka menanam karet. Sebab kayu sudah habis dan seringnya penangkapan oleh aparat berwenang. Hal ini membuat masyarakat jera dan memilih usaha lain, seperti karet. <br /><br />Selain itu, orang-orang Tumbang Mangkutub mulai membuat beje. Suryanto juga begitu. Ia membangun beje di beberapa lokasi. “Saya punya sepuluh beje. Jika panen bisa capai 120 ton,” katanya. <br /><br />Beje dibangun berbentuk persegi panjang yang kedua ujungnya buntu. Beje dibangun di areal gambut sebagai cadangan air. Lebarnya hanya satu meter, sedangkan panjangnya bervariatif, semampu yang membuatnya. Beje akan terisi air jika pasang sungai tiba. Setelah surut, beje akan menyimpan air. <br /><br />Air pasang yang masuk akan membawa bibit-bibit ikan, bahkan ikan-ikan yang sudah besar. Dalam jangka waktu tertentu, ikan-ikan itu bisa dipanen. “Kami tak perlu membeli bibit, juga tak perlu memberinya makan. Tiba waktunya panen, kami akan panen. Hasilnya cukup menjanjikan,” kata Suryanto. <br /><br />Usai menjelaskan beragam perubahan di kampungnya, Suryanto memberikan ruang kepada audiens untuk bertanya. Para juruwarta pun langsung mengajukan beragam pertanyaan. Semua pertanyaan dijawab lugas oleh Suryanto. <br /><br />Pertanyaan terbanyak terkait soal beje, tatas, juga penabatan. Tak mengherankan, jika ada peserta yang kemudian menyebut Suryanto sebagai Pak Beje karena rasa keingintahuan soal beje yang begitu besar. Hasilnya sebutan itu mengundang tawa audiens yang mayoritas para pewarta tersebut. Bukan hanya pewarta, Suryanto juga senyum-senyum mendengar sebutan yang belum pernah didengar sebelumnya. <br /><br />Sebutan Pak Beje, kemudian mengalir bak air Sungai Kapuas di Dusun Tumbang Mangkutub. Nyaris setiap kesempatan, nama Pak Beje selalu disebut. Bahkan, hingga field trip berakhir. Ah, kami benar-benar sudah bertemu Pak Beje. (*)<br /></span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-53655942370760745772011-07-25T20:41:00.000-07:002011-07-25T20:44:00.075-07:00Aku Enggangaku enggang<br />rindu sarang <br />rindu pulang <br />hutanku<br />hanya kenangan <br /><span class="fullpost"><br />aku enggang<br />ingin bernyanyi<br />kidung alam <br />sisa parau suara <br />usai bertariu<br />di rimba purna hijau <br /><br />aku enggang <br />suaraku hanya dongeng<br />pengantar tidur<br />anak-anak zaman <br /><br />aku enggang <br />kepakku kosong <br />di rimba tak bernyawa <br /><br />aku enggang <br />merana di rimba manusia <br />menangis tak berjeda<br />meraung tak berehat<br /><br />aku enggang<br />ingin pulang <br />ke rimba belantara<br />tempat bersua<br />sesama jiwa<br /> </span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-33360680370698658582011-07-25T05:29:00.001-07:002012-02-28T09:46:39.945-08:00Buaian REDD di Tanah Tjilik RiwutAustralia menggelontorkan dana sekitar AUD30 juta dolar untuk membantu Indonesia dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Kalimantan Tengah menjadi salah satu provinsi yang ditunjuk sebagai wilayah percontohan program REDD tersebut. Seperti apa proyek ujicoba itu sekarang setelah berjalan tiga tahun? <span class="fullpost"><br /><br />Hujan menyambut kami saat tiba di Mandomai pada pukul tiga, Sabtu sore. Di bibir dermaga kayu, dua speedboat berkekuatan 200 tenaga kuda sudah menunggu. Dua kendaraan sungai itulah yang akan membawa kami ke Dusun Mangkutub di Desa Katunjung, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas. Perjalanan akan ditempuh sekitar tiga sampai empat jam.<br /><br />Kami rehat sejenak sekadar meluruskan pinggang setelah dua jam duduk di mobil dalam perjalanan dari Palangka Raya. Waktu rehat kami manfaatkan untuk menjepret Gereja Immanuel yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai cagar budaya, juga jembatan kayu yang memotong anak sungai Kapuas, yang panjangnya diperkirakan 20 meter. Jembatan kayu yang baru selesai dibangun itu karya swadaya masyarakat.<br /><br />Hujan jeda saat kami mulai menaiki speedboat. Matahari sudah tak sanggup lagi menerangi sungai yang airnya berwarna kuning kecoklatan. Jurumudi memacu speedboat dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Bersengkulas (ikat kepala) dari syal, Robby sesekali memencet telepon genggamnya. Berbahasa Dayak Ngaju, dia menanyakan jurumudi lainnya. “Speedboat yang satu agak bermasalah,” katanya.<br /><br />Dua speedboat itu membawa juruwarta yang mengikuti program pelatihan jurnalistik lingkungan yang difasilitasi Center for International Forestry Research. Selama tiga hari, para juruwarta itu akan melihat langsung pelaksanaan program ujicoba REDD di Dusun Tumbang Mangkutub dan Desa Petak Puti.<br /><br />Sekitar pukul lima sore, kami tiba di Desa Sei Ahas, masih dalam wilayah Kecamatan Mantangai. Sekali lagi, kami disambut hujan. Tak ada penerangan yang memadai karena desa itu belum teraliri listrik negara. Rumah-rumah hanya menggunakan generator set saja. Di rumah kepala desa sudah berkumpul beberapa warga. Sesungging senyum saat mereka berjabat tangan. Walau hujan, mereka semangat menyambut temuai yang datang dari jauh. Bagi orang desa, temuai datang itu satu kehormatan. Kami dipersilakan masuk ke rumah kepala desa yang sebagian ruangannya disulap menjadi warung kebutuhan bahan pokok.<br /><br />Di rumah itu, kami berdialog bersama perangkat desa terkait program REDD. Suka dibantu perangkat desa lainnya memaparkan pelaksanaan program ujicoba itu yang mulai masuk pada 2009. Sosialisasi dilaksanakan oleh <span style="font-style: italic;">Kalimantan Forests and Climate Partnership</span> dengan membuat perjanjian desa hingga menyusun rencana pembangunan jangka menengah desa.<br /><br />“Kami menyambut baik program ini. Jika untuk kesejahteraan masyarakat, kenapa harus ditolak,” kata Suka, kepala Desa Sei Ahas.<br /><br />Husaini dari Care International, yang ditemui di rumah Kepala Desa Sei Ahas, menilai kegiatan yang mengarah pada REDD itu belum dimulai. Namun upaya melibatkan masyarakat dalam program ini sudah berjalan. “Hanya belum bisa seratus persen,” katanya.<br /><br />Silaturahmi bersama masyarakat Desa Sei Ahas harus berakhir. Kami mesti melanjutkan perjalanan mengarungi sungai Kapuas menuju Dusun Mangkutub. Menurut Robby, jurumudi speedboat, waktu tempuh normal diperkirakan memakan waktu sekitar dua sampai tiga jam.<br /><br />Hujan belum juga jeda saat kami berangkat. Deru speedboat, angin, dan hujan berpadu. Dingin dan kebisingan menyeruak. Sebagian melipat tangan di dada menahan dingin. Sebagian lagi menyelimuti tubuh dengan handuk atau jaket menghalau angin.<br /><br />Pukul tujuh malam, kami tiba di Mangkutub. Seorang perempuan menyambut kami di lanting kayu. Hujan tetap setia menyambut kehadiran orang-orang yang diselimuti kelelahan. Kami dipersilakan masuk ke rumah tetua dusun. Adat tampung tawar digelar sebagai tanda selamat datang dan perlindungan bagi temuai yang hadir di dusun itu.<br /><br />“Ini adat orang sini (Dayak Ngaju). Setiap tamu yang datang harus diberi tampung tawar, agar ada keselamatan baginya juga bagi kampung ini,” kata Suryanto, sekretaris Dusun Mangkutub, malam itu.<br /><br />Di Mangkutub, proses pelibatan masyarakat dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan didampingi <span style="font-style: italic;">Kalimantan Forests and Climate Partnership</span> atau Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan. Program kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Australia ini dimulai tahun 2009. Mangkutub termasuk wilayah kerja KFCP yang ditetapkan seluas 120 ribu hektar.<br /><br />Suryanto, sekretaris Dusun Mangkutub juga mengakui jika proses sosialisasi terhadap program ini telah berjalan. Beberapa masyarakat yang dijumpai menaruh harapan besar terhadap program ini. Mereka terbuai dan percaya KFCP tidak akan menghianatinya.<br /><br />“Kami percaya saja. Tapi kami tidak ingin tanah kami kemudian beralih kepemilikan. Apalagi ada perjanjian desa. Kami berharap tidak ada yang melanggar perjanjian itu. Salah satunya tidak mengambil lahan kami,” kata Suryanto.<br /><br />Di Mangkutub, kami melihat aktivitas masyarakat memanfaatkan areal gambut. Masyarakat membuat kolam berbentuk persegi panjang selebar satu meter yang kedua ujungnya buntu. Kolam ini kemudian disebut beje. Jika musim pasang tiba, kolam ini akan menampung air dan tergenang hingga surut datang. Beje ini kemudian akan menjadi tempat hidupnya ikan-ikan, seperti gabus dan sepat. Pemilik beje kemudian membuat alat tangkap berbentuk segiempat yang terbuat dari bambu. Alat tangkap itu ditenggelamkan dalam beje. Saat panen, alat tangkap diangkat, ikan-ikan akan terperangkap di dalamnya.<br /><br />Ini salah satu fungsi beje yang dibuat warga. Ada fungsi lainnya, yakni sebagai cadangan air jika terjadi kekeringan pada areal gambut tersebut. Sehingga masyarakat mudah mendapatkan air untuk memadamkannya. “Dulu kami tidak peduli soal ini. Sekarang, beje ini mengubah cara berpikir kami, tidak semata untuk mencari ikan. Lebih dari itu, beje berfungsi sebagai cadangan air jika lahan gambut terbakar,” kata Suryanto.<br /><br />Selain beje, kami juga diberi kesempatan melihat blocking kanal, yang dibuat untuk mencegah drainase berlebihan dari lahan gambut. Blocking kanal ini dibuat memotong jalur air (tatas). Kayu-kayu berdiameter 30 cm ditancapkan berbaris sepanjang lebar jalur air tersebut. Lebar blocking kanal ini bervariasi.<br /><br />Pada lokasi yang kami kunjungi lebarnya sekitar 70 centimeter dengan panjang sekitar 1,70 meter. Air kemudian tertahan akan mengalir melalui atas blok kanal dengan volume yang lebih kecil. Hal ini untuk memperlambat kekeringan di wilayah gambut yang rentan terbakar.<br /><br />Lain Mangkutub, lain pula Petak Puti. Desa di Kecamatan Timpah ini masih memerlukan pemahaman mendalam terkait program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan tersebut. Dari dialog singkat tergambar bahwa masyarakat belum paham REDD.<br /><br />“REDD itu supaya kita mengurangi racun,” kata Yanto, salah seorang warga yang hadir dalam dialog singkat malam itu. Namun Yanto memiliki harapan dari program ini. “Saya berharap bisa mengecap hasil kerja yang dilakukan dan dibangun lembaga permanen untuk menjaga hutan tetap lestari,” katanya.<br /><br />Apa itu REDD+?<br /><br />REDD itu singkatan dari reducing emissions from deforestation and forest degradation and enhancing carbon stocks in developing countries atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan penambahan cadangan karbon hutan di negara berkembang.<br /><br />Berbagai catatan menyebutkan, laju deforestasi hutan di Indonesia sekitar 13 juta hektar setiap tahunnya. Angka ini menyumbang sekitar 18 persen terhadap emisi gas rumah kaca. Sebagian besar dihasilkan oleh negara berkembang. Ini mekanisme yang diajukan bertujuan memperlambat perubahan iklim dengan membayar sejumlah negara berkembang agar menghentikan aktivitas penebangan hutan.<br /><br />Indonesia termasuk negara berkembang yang berkomitmen menurunkan emisi sebesar 26-41 persen yang didaftarkan secara resmi di the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai Voluntary Emission Reduction pada 31 Jan 2010.<br /><br />Pada 13 Juni 2008, pemerintah Indonesia dan Australia sepakat menandatangani kerjasama membuat proyek percontohan pengurangan emisi tersebut. Pemerintah Australia memberikan bantuan dana sebesar AUD 30 juta. Sebuah kesepakatan yang dibentuk pasca COP 13 UNFCCC (United nations Framework Convention on Climate Change) di Bali pada tahun 2007 yaitu untuk melakukan REDD demonstration activities.<br /><br />Pemerintah kemudian menetapkan 120 ribu hektar areal eks PLG di Kalimantan Tengah sebagai wilayah kerja proyek REDD tersebut. Kalimantan Forests and Climate Partnership ditunjuk untuk melaksanakan program ini.<br /><br />Sejauh ini, KFCP sudah melakukan sosialisasi di beberapa tempat yang menjadi wilayah kerjanya, seperti Dusun Tumbang Mangkutub dan Desa Petak Puti. Mereka telah mendampingi masyarakat termasuk dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah desa. “Ini bentuk pelibatan nyata kepada masyarakat,” kata Kanisius, kepala Urusan Pemerintahan Desa Katujung.<br /><br />Ia menambahkan, program-program yang disampaikan KFCP terkait proyek REDD ini cukup menyenangkan. Sebab masyarakat diajak terlibat langsung, seperti adanya sekolah lapang, penabatan, pembangunan beje. Apalagi sedang digodok perjanjian desa yang akan dipegang teguh antara masyarakat dengan KFCP.<br /><br />Namun ada beberapa hal yang cukup mengganggu masyarakat, di antaranya, kepemilikan lahan yang belum terjamin. Apalagi areal 120 ribu hektar itu bekas megaproyek Pembangkit Listrik Gambut yang gagal era Soeharto berkuasa. Status lahan seluas 1,4 juta hektar itu belum ditetapkan dalam rencana tata ruang dan wilayah provinsi Kalteng. Belum lagi, batas antarkabupaten yang juga belum terselesaikan.<br /><br />Lokasi kegiatan KFCP terletak di Kabupaten Kapuas pada dua kecamatan yakni Mantangai dan Timpah, yang meliputi tujuh desa yakni Mantangai Hulu, Kalumpang, Katimbun, Sungai Ahas, Katunjung, Tumbang Muroi, dan Petak Puti.<br /><br />Kegiatan penanaman sudah dilakukan sejak Desember 2010 di Desa Mantangai Hulu seluas 25 hektar dan Desa Katunjung seluas 25 hektar, dengan jumlah bibit sebanyak 1.112 pohon per hektar, atau total bibit 55.600 batang yang melibatkan 100 orang. Tahun 2011 direncanakan akan melakukan penanaman seribu hektar dengan total kebutuhan bibit 1.223.200 pohon.<br /><br />Sejumlah masyarakat pada wilayah kerja KFCP yang kami kunjungi menyambut baik program ini. Mereka berharap program ini benar-benar tidak meninabobokan, hanya manis di awal, tapi pahit pada babak akhir. Masyarakat juga berharap ada dukungan agar areal yang menjadi wilayah kerja KFCP bisa diterbitkan sertifikasi oleh lembaga berwenang.<br /><br />Ah, REDD telah membuai orang-orang di tanah Tjilik Riwut. (*)<br /></span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-24208588299586014892011-07-15T08:07:00.000-07:002011-07-15T08:09:02.529-07:00Telat TerbangSatu siang di Bandara Soekarno Hatta. Waktu berjalan sesuai jalurnya. Orang-orang hilir mudik mengikuti irama kakinya. Penumpang, petugas hingga penyedia jasa tiket, juga porter memainkan perannya masing-masing. Suhu udara mungkin berada di atas 30 derajat celcius. <span class="fullpost"> <br /><br />Di Gate 7, orang-orang menunggu jadwal keberangkatan. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kursi ruang tunggu terisi. Saling bicara satu sama lain. Sebagian lagi berdiam diri. Lainnya ngedumel karena jadwal pesawat tak ditepati. <br /><br />Tiket yang kugenggam tertulis keberangkatan akan dilakukan pada pukul 12.10. Masih ada waktu sedikit untuk berleha-leha. Di ruang tunggu, tak ada lagi kursi kosong. Ramai sekali orang bepergian hari ini. Kupilih menunggu di luar ruang tunggu. <br /><br />Tak ada hiburan di selasar. Hanya hilir mudik orang-orang yang menunggu jam berangkat. Anak-anak yang berlarian, yang merepotkan ibu atau inangnya juga jadi hiburan menunggu jam terbang. <br /><br />Setengah jam sebelum jadwal berangkat, operator gate bilang pesawat yang saya tumpangi akan mengalami penundaan. Dipekirakan pesawat tiba di Soekarno - Hatta pada pukul tiga sore. Sebab harus menunggu pesawat dari Pekanbaru. Orang-orang tak bisa melawan kekuasaan pesawat. Semuanya hanya bisa menunggu. Paling-paling hanya bilang, "selalu saja delay." <br /><br />Aku memilih keluar gate dulu untuk sekadar menikmati suasana lain, juga memerangi jenuh karena menunggu cukup lama. Sekalian juga menikmati santap siang. Biar kremi dalam perut bisa tenang. Sebab sejak tadi sudah berontak minta kiriman makanan. <br /><br />Usai makan, kembali lagi di ruang tunggu. Belum ada tanda-tanda pesawat akan tiba dari Pekanbaru. Waktu sudah pukul dua siang. Satu jam lagi, mungkin pesawatnya tiba. Sebagian dari penunggu pesawat sudah hilang. Mereka sudah berangkat. Ada yang ke Medan, Tanjung Pandan, juga tempat-tempat lainnya. Tetapi ada juga orang-orang yang sama, yang kulihat tiga jam lalu. "Mungkin mereka juga akan ke Palangkaraya." <br /><br />Pukul tiga, operator bilang pesawat baru saja mendarat. Wajah-wajah penumpang mulai berbinar. Sebentar lagi akan say goodbye pada gate tujuh yang sudah lama jadi tempat menunggu. Namun, lima belas menit berikutnya, operator kembali bilang pesawat akan delay lagi. Mereka menerima informasi dari teknisi kalau pesawat sedang dalam persiapan. Penumpang harus menunggu paling tidak 30 - 45 menit. <br /><br />Selasar gate tujuh mendadak bak pasar tumpah. Orang-orang mengaso di lantai sambil meluruskan kaki dan badan. Sebagian menambah charge telepon genggamnya. Bagian lain mengobrol dengan teman sepenumpang. Ada juga penumpang yang memilih tidur. Ngantuk memang kerap menyerang orang-orang yang menunggu terlalu lama. Tak ada lagi tempat bersandar yang kosong. Semua sudah berisi. <br /><br />Bungkusan putih teronggok di samping para penumpang. Mereka mendapat ransum dari maskapai sebagai konsekwensi keterlambatan terbang. Ada juga kantong roti dan botol mineral. Itu semua disediakan maskapai sebagai tanggungjawab. Kendati sudah tertunda hampir lima jam, penumpang tetap sabar menunggu jam terbang. Sebab tak ada jalan lain yang bisa mempercepat datang di Palangkaraya. <br /><br />Lelah menunggu akhirnya jeda. Operator umumkan penumpang dengan tujuan Palangkaraya dipersilakan masuk ke pesawat. Waktu sudah pukul 16.30. Wajah-wajah penumpang yang tadi kusut, kini bisa bergembira. Akhirnya waktu terbang tiba. Tapi tidak masuk lewat gate tujuh. Gate dipindahkan ke gate lima. Meski telat, terbang tetap saja menyenangkan. Akhirnya, penumpang tujuan Palangkaraya ucapkan say good bye pada ruang sekaligus kursi tunggu, juga selasar yang menghubungkan gate tujuh dan gate lima. <br /><br />Pukul tujuh malam, pesawat yang kami tumpangi tiba di Bandara Tjilik Riwut. Lampu-lampu bandara menjadi oase yang menyambut. Mereka bak parade gadis-gadis dengan kalung bunga hati menanti tetamu yang berkunjung ke ibu kota Kalimantan Tengah itu. “Selamat datang di Palangkaraya, kota pasir,”kata seorang kawan. (*)<br /></span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-75388950970960991352011-07-04T08:51:00.000-07:002011-07-04T08:52:44.760-07:00Surat Buat Pedagipada sebuah kamar berselaput tulus aku mendengar tangisanmu merupa harmoni nada di antara jelaga cinta dua anak manusia. langit dipenuhi gemintang dengan kedipan sempurna. bulan juga menampilkan nur yang kumohon agar tangisan pertamamu kian paripurna. aku ingin segera bertemu kamu, Pedagi<br /><br />dekat taman tak jauh dari tepian kapuas<br /><br />aku ingin memandikanmu, pedagi. agar aku bisa mencium harummu yang menyeruak di antara apek dan amis perilaku anak negeri. seperti kapuas yang coklat dan susut karena pohon dijarah perompak negeri sendiri. aku ingin memandikanmu, Pedagi<br /><br />dekat taman tak jauh dari tepian kapuas<br /><br />lalu, apa artinya hidup menurutmu? bukankah ia sudah hilang keindahan karena polah para pembual yang mengaku suci di hadapan pemilik hidup itu sendiri. bayangkan, ruang menyendiri lantaran anak manusia tak sudi lagi menemaninya karena gerah oleh bualan para durjana<br /><br />manakala gemintang juni menghiasi langit, ia tak hanya menjadikan hidupmu paripurna, ia juga mengingatkanmu agar menjalani hidup tanpa lelah, seperti ia sendiri yang tak lelah berkedip. dan sekali lagi, aku ingin menemuimu, Pedagi. <br /><br />dekat taman tak jauh dari tepian kapuas<br /><br /><span style="font-style:italic;">(by: budi miank)</span><br /><span class="fullpost"> </span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-24353932525753989482011-06-10T08:54:00.000-07:002011-06-10T08:55:35.899-07:00AnakkuAnakku….<br />Berlarilah bak anak kijang <br />Jangan berhenti sebelum kakimu lelah <br />Hingga kau terkulai lemah tak berdaya <br /><br />Anakku….<br />Bernyanyilah dengan harmoni yang indah <br />Jangan berhenti sebelum lidahmu kelu<br />Hingga kau tak bisa lagi mengetuk nurani <br /><br />Anakku….<br />Tersenyumlah kepada matahari pagi<br />Karena pagi memberimu semangat<br />Hingga suatu hari pagi tak sanggup lagi menyapa<br /><br />Anakku…<br />Percayalah kepada senja<br />Yang akan menghadirkan semburat jingga<br />Karena ada cinta yang tergurat di sana<br />Bersama satu goresan di ufuk yang memerah <br /><span style="font-style:italic;"><br />Pontianak, 10 Juni 2011</span><br /><span class="fullpost"> </span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-25965862758723988252011-06-09T08:26:00.000-07:002011-06-09T08:27:39.831-07:00Langkah PedagiSenja baru saja datang. Tak ada semburat jingga di ufuk barat. Gerimis melarang senja mengeluarkan semburatnya. Di bawah kaki Poteng, hujan yang datang bersama angin melahirkan dingin. <span class="fullpost"> <br /><br />Cekikikan Pedagi bersaing bersama derasnya hujan. Teriakan Vanessa ikut menambah keriuhan di rumah berdinding papan beratap rumbia itu. Dengkuran si bleki ikut nimbrung, hingga gaduh ruang cerita kami. Ah, semua itu melahirkan keceriaan. <br /><br />Akhir pekan ini Aku bertemu Pedagi dan Vanessa. Tak ada yang berubah. Mereka masih seperti yang dulu. Masih tetap ceria. Tetap tersenyum kepada pagi dan hari. <br /><br />Pedagi mulai melangkah satu dua, lalu jatuh, dan bangun lagi, kemudian berjalan lagi. Begitu terus hingga ia merasa letih. Vanessa tak henti memberi semangat sambil berteriak-teriak hingga urat lehernya timbul. Ah, hidup dua malaikat kecilku sungguh menyenangkan. <br /><br />Teruslah berjalan Pedagiku. Nikmatilah setiap gerak kakimu. Jelajahi indahnya kehidupan ini. Gapailah apa yang seharusnya kau gapai. Raihlah apa yang layak kau raih. Jangan kau lepas jika sudah dapat. Pegangalah sampai hari tak lagi mengizinmu menggenggamnya. <br /><br />Teruslah berteriak Vanessaku. Semangatilah adikmu, Pedagi agar kau ada teman merayakan kemenangannya. Bertepuklah Vanessa agar riuh ruang berdinding papan itu. Melompatlah dengan girang hingga tak ada ruang kosong yang terdiam. Aku dan ibumu tetap tersenyum. Aku dan ibumu tetap tertawa menikmati kegirangan kalian. <br /><br />Jangan pernah bosan melangkahkan kaki-kaki mungilmu Pedagiku. Jangan pernah bosan meneriakkan suara-suaramu dengan harmoni tanpa nada itu Vanessaku. Teruslah berjuang malaikat kecilku. Lihatlah cahaya kecil di ujung jalan itu. Jaga cahaya itu jangan sampai padam. Cahaya itulah yang akan menuntunmu hingga akhir usiamu. <br /><br />Senja terus merapat. Hujan juga belum berhenti. Angin bertiup perlahan menggoyangkan ujung daun. Satu titik air jatuh membasahi rerumputan. Rumput mendongak, "terima kasih hujan. Tetesanmu menyegarkan. Kami akan terus menunggumu hingga kau bisa lagi menetes."<br /><br /><br /></span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5564142300435343561.post-87633286444312481602011-06-07T05:20:00.000-07:002011-06-07T05:22:21.469-07:00In Memoriam Emak (2)CATATAN yang menggetarkan! Banyak orang menceritakan, kesadaran akan keberadaan sang Emak, sang Ibu, sang Bunda, kerap terlambat. Kerap baru disadari betapa mereka sungguh tak tergantikan, justru saat mereka telah berangkat ke alam sana. <span class="fullpost"> <br /><br />Hanya selang dua hari sebelum kepergian sang Emak dari rekan Budi Miank, kita juga sempat jumpa dengan Budi dan rekan lain, di sebuah warung kopi di sudut Kota Pontianak. Kita bicara soal blog dan website personal. <br /><br />Dan lagi-lagi, bung Budi Miank berujar: saat ini, hanya ada dua tema yang sangat mendominasi tulisan pribadi di blog, yaitu si bungsu dan si Emak. Tentu saja saat bincang dan canda yang meriah itu, sama sekali tidak terlintas bahwa sang Emak akan segera berangkat. <br /><br />Bung Budi Miank, sekali dan sekali lagi, doa kami yang tulus, untuk ketabahanmu dan keluarga. Sang Emak telah menuntaskan pengembaraannya di dunia fana. Dan aku sangat yakin, dia "berangkat" dengan banyak kebanggaan dan kebahagiaan. Satu putranya telah menjadi "orang". <br /><br />Profesi di bidang jurnalistik memang masih aneh dan langka di "negeri" kami, Borneo Barat. Bung Miank menjadi satu dari sedikit orang yang masih setia dengan kaul ini. Saya amat yakin, susah payah sang Emak yang bagai "alarm" membangunkan si Budi kecil saat subuh harus berangkat menyadap karet, telah ikut menempa ketegaran ini. <br /><br />Jika Emak mengajarkan Budi kecil menorehkan tajamnya pisau penyadap di batang-batang pohon karet, kini keterampilan itu telah merupa menjadi torehan berbagai catatan kehidupan. (*)<br /><br /><span style="font-style:italic;">* Ditulis Severianus Endi, mantan wartawan dan blogger yang ditulisnya di sebuah milis. </span><br /><br /></span>Budi Miankhttp://www.blogger.com/profile/07663392499613992043noreply@blogger.com3