Monday, June 6, 2011

In Memoriam Emak

Pagi ini bukan pagi yang bahagia untuk Penoreh Karet, juga untuk saya. Kabar itu juga itu meretas melalui email ke pada saya di Pontianak. Kabar Emak yang telah berpulang. Saya telpon Budi Miank, HP-nya tak aktif lagi. Dia pastis udah melesat ke kampungnya, Angan.

Aku tergamam di depan laptop, membaca berita duka yang dipublish Endy Jengot, salah seorang anggota 'sekte' kami. Aku jadi tak ingin bergurau saat ini. Aku teringat kemarin saya baru saja bercanda-canda dengan budi, di ruang belakang kantor salah seorang rekan pengacara, dimana sebagian besar lelaki disana berbuka baju, karena gerah setelah dihajar udara kathulistiwa yang panas.

Aku juga teringat guyonan kami, tentang bagaimana Emak, memaknai Gawai Dayak hanya dengan memotong ayam dan mengucap syukur atas panennya, yang diberikan Penguasa Jagat Raya ini, tanpa tahu betapa orang di Kota Berpesta Gawai dengan menghabiskan uang Ratusan Juta Rupiah.

Aku memang belum pernah bertemu Emak Budi Miank. Tapi sosok Emak belakangan ini juga sering hidup dalam ingatanku, setiap kali Budi menceritakan kesederhanaan beliau. Aku tahu budi sangat mencintai Emak. Tak cuma itu, dia juga kagum pada wanita yang tak pernah menggugat apa pun yang Tuhan beri dan tidak berikan dalam hidupnya.

Aku teringat tulisan Budi Miank yang bertajuk PAGI PENOREH KARET. Aku tahu betapa Budi rindu pada hari-hari bersama Emak, di tengah-tengah pertarungananya di sebuah kota yang dinamai Pontianak. Apa yang sudah dia dapat saat ini, (sebagai Editor dan Redaktur Pelaksana Harian Pontianak Post), sama sekali tak mampu mengantikan hari-harinya bersama Emak.

Wanita sederhana yang tak saja memberi hidup dan cinta, tetapi juga kenangan sebagai anak seorang penyadap karet yang memilih menjadi wartawan dan penoreh modern. Sejumlah tulisan Budi di blognya, http://www.pedagi.com, tentang Kampung halamannya di Angan, Kecamatan Jelimpo, Kabupaten Landak, dan terutama ingatannya tentang Emak, membuat aku sering mengingat emak dan kampungku sendiri.

Sebenarnya aku rindu suasana rumah saat pagi emak membangunkan tidurku. Saat dingin merasuk. Saat dengkur terdengar keras. Saat mimpi sedang membuai. “Sudah pagi. Bangun. Menoreh,” begitu cara Emak membangunkanku setiap pagi. Kadang hujan pun emak tetap membangunkan. Ia adalah alarm hidup yang tahu kapan harus membangunkan anaknya. Ia bagaikan kokok ayam yang menjadi petanda hari telah berganti. (http://www.pedagi.com)

Aku menitikan air mata, tak tahu harus mengatakan apa untuk setiap ibu yang meninggalkan anaknya. Juga emak Budi Miank. Bagiku, orang-orang yang ditinggalkanlah yang berduka. Tapi mereka yang meninggal dunia adalah mereka-mereka yang berbahagia, karena telah menemukan jalan pulang.

Untuk Sahabatku Budi Miank, biarkanlah Emak bahagia, karena ia menemukan jalan pulang. Kini emak menyongosng gawainya sendiri, tanpa harus ikut ngumpul di Rumah Betang, Jalan Sutoyo Pontianak. Dan jika ajaran-ajaran agama itu benar, maka Emak pasti akan bertemu Bapak di sana, mendengarkan lagu Teluk Bayur bersama, lagu kegemaran bapak.

Bud, walau tak ada yang membangunkanmu setiap pagi lagi setelah ibu berpulang, tetapi ia akan terus hidup dalam ingatan dan mengingatkanmu dan juga orang-orang seperti kita untuk tetap terjaga saat bertarung melawan hidup.

Emak menyerahkan baju dinas yang biasa dipakai untuk menoreh. Warnanya sudah campur aduk. Lubang-lubang kecil membuat angin pagi leluasa merasuki pori-pori tubuh. Bau keringat juga menjadi aroma khas, yang mengalahkan segarnya udara pagi pedesaan. Sebuah topi biru juga menunggu digantungannya. Celana panjang yang tak lagi utuh kakinya kuraih. (www.pedagi.com)

Sebagai teman, sahbat dan juga anak pulau Borneo ini, saya mengucapkan takziah, sedalam-dalamnya. Karena bagi saya Emak bukan emak yang telah melahirkan Budi Miank secara biologis, tetapi juga ibu yang membekali kita sebuah energy cinta, wanita Borneo yang walau tak tercatat dalam buku sejarah negeri ini, tapi telah memberi inspirasi kepada saya, dan mungkin juga kepada orang-orang yang hidup sederhana tanpa menghina akal sehat. (*)

Ditulis Alex Mering, wartawan Borneo Tribune dan blogger. Cukilan ini ditulisnya untuk sebuah milis.

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code