Friday, March 11, 2011

Ruang Dialog Tanpa Skenario

Malam ini, aku kehilangan keriuhan dan kegaduhan. Ruang yang ada tak sanggup melahirkan dialog. Mereka hanya menyajikan sebuah monolog tanpa skenario. Suara gemericik air yang menyapa setiap ruang berakhir dengan kekosongan. Televisi hanya sibuk berbicara sendiri. Tarian jarum jam di dinding bergerak seirama tetapi tidak melahirkan liukan yang harmoni. Tarian dan gemericik itulah yang menemani sang juru warta.

Warna biru langit yang menghiasi dinding hanya menemani sesaat. Ketika lampu 15 watt tak lagi menyala, biru langit itu tenggelam dalam kegelapan. Ia menjadi duka lain dalam ruang-ruang tanpa kegaduhan. Warna itu tenggelam dalam dunianya sendiri. Dunia yang ia sendiri tidak mengerti. Dunia yang tanpa kata, tanpa suara, bahkan tanpa gerak. Semua bergeming.

Aku ada di antara warna-warna itu. Aku hadir di antara tarian dan gemericik tersebut. Aku nyata bersama ruang monolog tanpa skenario itu. Aku menikmati ruang yang tidak melahirkan keriuhan dan kegaduhan. Aku bermenung untuk merasakan semua cinta yang hadir dalam semua elemen, yang tenggelam dalam kegelapan.

Baru sepekan ini aku menikmati semua itu. Baru sepekan itu juga aku merasakan apa yang semestinya tidak aku rasakan. Aku sedang melari mengejar mimpi. Aku ingin ketika usia sudah menapaki senja, tak ada lagi penyesalan. Aku mau ketika tubuh sudah ringkih, tidak mengeluh karena kepapaan. Aku berkehendak, ketika kulit sudah keriput, tak ada noda yang menempel. Aku berharap, hidup berjalan dalam putaran roda yang normal.

Di luar, langit malam juga tanpa bintang. Bulan juga malas untuk keluar, walau hanya sabit. Kunang-kunang juga enggan hinggap di pohon perdu. Jamur juga enggan mengeluarkan senyawa fospor dari tubuhnya. Mereka ingin bersamaku menikmati indahnya sebuah kesunyian. Mereka ingin merasakan betapa nikmatnya kesendirian. Ah, jangan sentimentil seperti itu.

Goresan dinding tanpa makna milik Vanessa tetap menyapa. Karikatur cintanya yang menempel di ruang hati terus tersenyum. Jejak-jejak kakinya mengajak berlari. Keceriaannya menggoda untuk menari. Inilah dunia Vanessa. Dunia yang dijalani untuk bertumbuh. Kehidupan yang dilakoni agar menjadi orang-orang yang bisa mencetak sejarah. Paling tidak untuk dirinya sendiri. Semoga kamu meraihnya.

Bekas tapak Pedagi mengingatkan pada kesempurnaan hidup. Ia menjadi hadiah istimewa pada tahun yang membahagiakan. Pedagi melengkapi lanskap hidup yang belum paripurna. Pedagi benar-benar menjadi hidup yang sakral.

Hujan mulai bermain. Bulir-bulir airnya memecah kesunyian malam. Ia memberikan kesejukan bagi hati yang gundah. Air-air yang menjawab kegelisahan. Air menjadi sakral kala kemarau melanda. Air menjadi sumber penghidupan bagi jiwa-jiwa yang kosong. Karena itu, hidup mestinya mengalir bagai air, bukan sebaliknya.

Hingga malam tiba pada puncaknya, mata belum mau masuk peraduannya. Bantal-bantal sudah menanti sejak matahari memasuki senja. Sejak semburatnya menggambar langit agar hari semakin sempurna. Selimut juga terbentang menanti tuannya menutup tubuh. Ia siap menghangatkan tubuh yang ringkih. Ah, aku mau tidur. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code