Thursday, March 10, 2011

Rindu Vanessa, Teringat Pedagi

Pagi ini, halaman rumah berdebu. Sampah plastik bermain di sudut batas tanah dengan tetangga. Rumput-rumput yang tumbuh di antara batu mengering. Kembang-kembang meranggas. Tanah-tanah merekah. Gersang.

Debu menunggu sapuan. Sampah menanti pungutan. Rumput, kembang, dan tanah menunggu tetesan air yang menyegarkan. Rumah seperti tidak ada kehidupan. Suara cicak pun tak mampu memecah kesunyian. Lengkingan nyamuk juga kian menggemingkan. Jarum jam seperti berhenti.

Gemerisik air yang jatuh dari selang akuarium tidak lagi menjadi nada-nada yang penuh harmoni. Malah terdengar sumbang di telinga. Tarian ikan di dalam juga tidak lagi indah. Warna-warni ikan itu tak sanggup menjadi pelangi yang menyempurnakan semburat senja. Semua tidak memiliki kegembiraan.

Rumahku sudah kehilangan keceriaan. Senda tawa yang lahir dari bibir mungil menghilang. Kaki-kaki kecil yang berlarian bak anak kijang mengitari padang rumput tak lagi seirama. Teriakan-teriakan yang mendebarkan jantung tak lagi membahana. Dengkuran lembut petanda lelah bermain tidak lagi menghiasi ruang tidur. Sepi. Sunyi.

Aku rindu keriuhan. Aku teringat kegaduhan. Keriuhan yang mewarnai setiap sudut rumah. Kegaduhan yang menyelinap di antara ruang-ruang jiwa.

Aku rindu Vanessa. Aku teringat Pedagi. Dua malaikat kecil yang menjadikan kehidupanku lebih sempurna. Keriuhan dan kegaduhan yang mereka ciptakan memberi keceriaan. Mereka tidak pernah getir. Mereka tidak pernah mengeluh. Mereka selalu tersenyum. Ikhlas dan tulus. Mereka selalu tertawa. Lepas dan bebas. Merdeka mengarungi kehidupannya. Tanpa beban menapaki setiap anak tangga jiwa-jiwanya. Berlari mengejar mimpi yang belum tergapai. Terlelap dengan senyum kala malam mewarnai semesta. Ah, Vanessa. Oh, Pedagi. Kalian permata yang sungguh mulia.

Akhir Februari lalu, perempuan pertengahan Juni dan lelaki penghujung Juni pergi mengikuti penjaga pintu istana cintaku. Tugas sebagai abdi negara membuat mereka tak bisa bersamaku. Bukan untuk selamanya, tetapi sejenak melaksanakan tugas yang diemban ibunya. Sungguh itu memberi kami tantangan dalam memaknai hidup yang sebenarnya.

Aku juga rindu perempuan awal September. Perempuan yang memilihku sebagai pangerannya. Perempuan yang membuat hidupnya semakin beranugerah. Ia telah melengkapi tulang rusuk yang hilang. Kehidupan sedang berjalan menuju keparipurnaan.

Dalam kesendirian, kuberharap hidup tetap berjalan sesuai rodanya. Dalam kesepian, kuingin mimpi dan cita-cita bisa mendekat. Keriuhan dan kegaduhan Vanessa, juga Pedagi bisa hadir lagi dalam ruang-ruang cinta.

Vanessaku sayang. Kata-kata yang kurangkai ini semua untukmu. Kalimat-kalimat yang kususun ini kupersembahkan kepadamu. Alinea-alinea yang tercatat menjadi satu kisah, yang perlu kau pahami. Setiap kata bermakna. Setiap kalimat memberi arti. Dan, setiap alinea menjawab satu pertanyaan.

Pedagiku tercinta. Semua ruang menunggumu berkarya. Setiap lorong menanti jejak telapakmu. Langit-langit mencatat semua langkahmu. Teruslah berjalan karena engkau lelaki yang kuat. Teruslah berkarya karena engkau insan yang kreatif. Tetaplah tersenyum walau hidupmu pahit.

Vanessaku, aku rindu padamu.

Pedagiku, aku teringat padamu. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code