Tuesday, November 9, 2010

Perempuan Senja

Perempuan itu menatap langit. Guratan senja bermain di antara awan-awan yang mulai gelap. Lukisan alam berpadu dengan pancaran matahari yang hampir hilang di ufuk barat. Perempuan itu melipat tangan pada dadanya yang mulai rapuh. “Senja mulai menapaki jalan hidupku,” batinnya.

Langit terus memerah. Senja semakin tua. Burung malam mulai mengeluarkan nyanyiannya. Lampu-lampu rumah jalan sudah menyala. Mengganti matahari yang meninggalkan bumi. Malam segera menjelang.

Jeritan jangkrik menemani perempuan itu duduk di balai bambu yang juga mulai rapuh. Debu-debu kecil berterbangan menghindari tepukan tangan keriput itu. Bambu berteriak kalau tubuh ringkih mendudukinya. Bambu sudah tak sanggup menahan beban. “Saya mau istirahat.”

Banyak orang yang menikmati masa senjanya. Mereka hidup dalam kesendirian. Tanpa kasih sayang orang-orang yang dulu disayanginya. Hanya sesama manusia senja saja untuk menikmati sisa akhir hidup. Hidup bagi mereka hanya menjalani rutinitas sebelum dijemput. Entah bagaimana proses penjemputan, mereka tidak tahu. Hanya pasrah dalam penantian.

Perempuan itu berbaring. Menghela nafas panjang seusai merenungi hidupnya yang sudah tidak memberi arti. Sejenak ia tertidur. Terbuai mimpi. Masa muda menyergapnya. “Indahnya.”

Kepada senja perempuan itu berkata, “Jangan tinggalkan aku. Aku ingin berlama-lama menikmati keindahanmu. Temani aku melewati masa-masa senja ini. Mereka meninggalkan aku. Mereka memilih kembali kepada kehidupannya. Aku di sini sendiri. Hidupku sunyi. Sepi. Sekali lagi, aku minta, jangan tinggalkan aku.”

Jerit burung yang pulang ke kandang mengejutkan perempuan itu. Senja semakin tua. Guratan langit yang memerah semakin gelap. Pekat mewarnai setiap sudut yang nyaris tanpa tepi. Burung-burung yang terbang pun hilang dalam kegelapan senja. Pulang ke kandang seusai mencari nafkah. Berpuluh, bahkan beratus mil jauhnya dari kandang.

Perempuan itu ingin terus menatap senja. Ia tidak rela senja meninggalkannya. Sebutir air mengalir dari sudut matanya yang mulai kabur akibat katarak akut. Hidupnya semakin senja. Hingga senja menghilang, ia mematung di beranda rumah kayu yang sederhana itu.
“Ah, pagi belum tiba.” (*)


0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code