Sunday, August 15, 2010

Jalan yang Memerdekakan

Republik ini sudah merdeka selama 65 tahun. Tetapi masih banyak yang belum merasa merdeka. Bukan dari Kompeni atau Dai Nippon, tapi sesama bangsa ini. Penindasan atas nama dimarjinalkan mencuat. Konflik yang membawa simbol agama terus terjadi. Inikah yang disebut merdeka itu?

Banyak orang berteriak agar kemerdekaan sesungguhnya diciptakan. Pemerintah pun dianggap pihak yang belum mampu mewujudkan kemerdekaan itu. Tak ayal, gelombang protes atas nama rakyat memenuhi jalan-jalan, tugu-tugu, dan bundaran-bundaran. Gedung-gedung simbol pemerintah pun jadi sasaran kekecewaan sekaligus kemarahan rakyat dengan alasan menuntut sebuah kemerdekaan.

Setiap tahun, ulangtahun kemerdekaan itu selalu dirayakan. Rangkaian seremoni bernama upacara pengibaran bendera seperti lagu lama yang dirilis ulang. Tetap sama. Yang berbeda hanya pasukan pengibar bendera. Para inspektur upacara juga sama selama lima tahun, bahkan sepuluh tahun.

Orang-orang pedalaman sebenarnya juga merdeka dari Kompeni atau Dai Nippon. Tapi, mereka sama seperti orang-orang di kota lainnya, belum merasa benar-benar merdeka. Mereka belum bisa menikmati jalan yang bagus. Jangankan mulus, menggunakan sepeda saja mereka sulit, berjalan kaki saja harus berjingkrak-jingkrak menghindari lubang-lubang yang menganga.

Jangan bicara soal menonton piala dunia yang jam tayangnya dini hari. Jangan pula tanya apa mereka punya kulkas atau air conditioning. Jangan harap mereka akan menyuguhkan orange juice atau ice cream saat kita bertamu. Orang-orang itu pasti tidak akan menyuguhkannya. Mereka akab bilang, "Hingga 65 tahun usia republik ini, desa kami belum dialiri listrik."

Ketika orang-orang itu diberi ruang melihat kota, mereka kaget dan terkagum-kagum. Kesan mereka seolah-olah tak ada malam di kota. Semua sama: terang benderang.

Saat dibawa keliling kota, mereka terheran-heran. Ada keanehan yang menyeruak dibenaknya. Mau bertanya, mereka tak tahu cara bertanya. Sampai pulang pun mereka tak kuasa bertanya.

Orang-orang pedalaman itu sudah merdeka, tetapi belum merdeka sebagai seorang manusia yang melek informasi teknologi. Mereka tak punya ruang untuk mengenyam bangku sekolah. Jangan guru, ruang kelas tiga lokal pun sulit dibangun.

Lalu apakah kemerdekaan yang sudah 65 tahun itu bermakna? Tentu saja iya bagi sebagian orang. Merdeka berarti merdeka untuk korupsi. Merdeka berarti merdeka untuk menindas kaum marjinal, merdeka membawa simbol-simbol kemuliaan Tuhan untuk hal-hal yang anarkistis. Merdeka untuk menginjak martabat sesama untuk sebuah kepentingan politik.

Bagi sebagian orang lagi, 65 tahun ini sebenarnya belum merdeka. Mereka belum menikmati mulusnya jalan. Mereka belum bisa menonton siaran langsung piala dunia karena desanya gelap gulita. Mereka belum bisa sekolah karena guru dan ruang kelas tidak ada.

Masihkah negeri ini layak merayakan sebuah peringatan ulangtahun kemerdekaan? (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code