Tuesday, February 9, 2010

Mimpi Merengkuh Piala Dunia

Saya sungguh beruntung. Melihat dari dekat trofi asli piala dunia. Bukan hanya melihat, saya juga bisa berada di sampingnya untuk sekadar berfoto. Sungguh kesempatan yang langka. Dan, tidak semua orang bisa seberuntung itu.

Apalagi jika dikaitkan dengan seseorang yang tidak tinggal di ibukota negara. Tentu ia tidak memiliki kesempatan dan keberuntungan orang-orang yang tinggal diibukota. Saya bangga karena, bisa jadi, orang dari Angan Tembawang, yang pertama berfoto dekat trofi asli piala dunia. Bahkan, sangat mungkin, juga orang pertama dari Kalimantan Barat yang memiliki kesempatan itu.

Tidak banyak orang yang seberuntung saya. Bahkan orang-orang yang tinggal di Jakarta sekalipun. Walaupun mereka tahu, trofi asli piala dunia itu singgah, tapi tak punya banyak waktu untuk melihat langsung, bahkan berfoto di dekatnya.

Saya patut berterima kasih kepada Coca Cola. Sponsor piala dunia itu mengundang untuk meliput kedatangan sekaligus pameran trofi asli di Jakarta pada 24 -26 Januari 2010. Tentu saya tidak sendiri. Ada belasan jurnalis dari berbagai kota di Indonesia, yang tidak berasal dari Jakarta, turut menikmati keberuntungan itu.

Awalnya saya tidak percaya kalau akan melihat langsung piala yang dibuat Silvio Canizzaga, pematung asal Italia. Sebuah mahakarya yang sangat indah. Patung yang kemudian menjadi impian semua orang. Terutama pemain sepakbola. Apalah artinya, menjadi pemain paling top di dunia, jika belum memegang langsung trofi asli itu. Benar-benar sebuah mimpi yang indah.

Saya memang belum bisa memegang langsung trofi itu. Selain ditempatkan di dalam kaca, pengamanannya sangat ketat. Di Jakarta Convention Centre, tempat trofi itu dipamerkan, petugas keamanan di ruang penyimpanan menjaganya. Mengecewakan, tapi cukup memuaskan.

Gedung JCC disulap penyelenggara bak museum piala dunia. Mereka membaginya menjadi lima ruangan. Ruangan pertama, beragam permainan hingga pertunjukkan musik. Ada miniatur sepakbola, poster trofi piala dunia, foto-foto legenda sepakbola, hingga game-game kecil. Dan, tentu saja, aksesoris yang dominan warna merah khas Coca Cola.

Ruangan kedua, pengunjung harus masuk menggunakan tiket. Setiap tiket dijual seharga lima belas ribu rupiah. Jubelan orang antre masuk. Kami cukup beruntung karena tidak perlu membeli tiket. Coca Cola menggaransi masuk tanpa membayar sepeserpun. Ruangan pertama ini juga dipenuhi kenangan-kenangan mengenai piala dunia. Setiap pengunjung diberi waktu lima belas menit untuk menikmati keindahan foto-foto itu.

Banyak pengunjung yang tidak sabar untuk pindah ke ruangan ketiga. Ruangan ini menyimpan bola-bola yang pernah dipakai dalam pertandingan piala dunia. Ada juga satu gawang. Di depan ada panggung kecil, untuk dancer unjuk kebolehan. Pengunjung boleh berfoto bersama dancer cantik nan seksi.

Lima belas menit di ruangan kedua, pengunjung masuk ke ruangan audio. Di ruangan ini, kita diajak untuk menonton film dokumenter tentang sepakbola dalam bentuk tiga dimensi. Pengunjung diberi kacamata plastik. Aneh juga sih, tapi asik untuk menonton film dengan model seperti itu.

Nah, ini ruangan yang paling dinanti pengunjung. Panitia membuat aluran untuk antrean panjang yang melingkar. “Untuk foto aja harus melingkar seperti ini,” celetuk seorang teman. “Yah, itulah. Tapi ini momen penting yang nantinya tidak terlupakan,” celetuk yang lainnya.

Panitia mewanti-wanti agar pengunjung tidak membawa tas, kamera saat mendekat trofi. “Tidak boleh dipegang kacanya,” kata petugas setengah berbisik. Kilatan blitz yang tak jelas, menandakan prosesi foto usai. Petugas lantas menunjuk jalan keluar agar bisa langsung mengambil fotonya. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code