Ada dua peristiwa bersejarah pada 26 Desember. Setidaknya dalam hidup saya. Dua sejarah yang tercipta empat hari sebelum 2004 berakhir. Satu sejarah kebahagiaan, satu lagi sejarah duka.
Desember 2004, setiap harinya selalu diwarnai hujan. Jalan-jalan yang menghubungkan perkampungan becek. Lubang-lubang bekas gilasan ban sepeda motor menggenang. Tak ada lagi jalur bagus yang bisa dipilih. Semuanya rusak.
Pun begitu di Angan Tembawang. Hujan terus mengguyur. Pesta sakral yang mempertemukan dua manusia lain kelamin segera dimulai. Umat sudah memasuki ruang besar Gereja Santa Maria. Hujan tetap saja tak mengalah. Ia mengalahkan kegembiraan banyak orang.
Dua manusia berjalan mendaki. Dua puluh anak tangga dari tanah menuju bangunan dengan salib di atasnya. Saat jarum waktu baru pada angka delapan. Dua kursi plastik merah menghadap altar. Keduanya akan bersumpah janji di hadapan Tuhan untuk saling cinta sehidup semati.
Dan, pesta sakral pun dimulai. Dua jam kemudian berakhir. Orang-orang mengucap salam. ''Selamat, selamat.''
Tak jauh dari gereja, orang-orang bersiap. Menyajikan sesajen untuk ritual adat. Ritual yang memperkuat janji kehidupan dua anak manusia.
Temuai berdatangan. Memberi salam. Ucap selamat. Menyerahkan cinderamata. Menyantap menu tradisional yang disuguhkan: kopi, arak, dan daging babi. Usai makan, temuai saling obrol. Buka cerita soal sawah, ladang, dan karet yang mereka sadap.
Hujan tetap mengguyur. Kadang deras, kali lain gerimis. Begitu terus hingga malam menjelang. Tapi orang-orang kampung tetap datang. Mereka mengajarkan sebuah solidaritas dan toleransi. Menghargai undangan yang tersebar. Ada yang pakai payung, caping yang biasa dipakai ke sawah. Ada juga yang memakai mantel walau tak bawa sepeda motor.
Malam menjelang. Hujan belum juga reda. Temuai juga masih berdatangan. Di dapur, jonggos bersiap. Mengantar mempelai lelaki ke rumah perempuannya. Melakoni ritual adat untuk memperteguh ikatan perkawinan.
Obor disiapkan. Petromak dinyalakan. Senter diganti baterainya. Suar diisi minyak tanahnya. Lemang, tumpi (kue kering seperti cucur), daun-daun simpur, dan beragam lainnya yang jadi kewajiban dalam melaksanakan ritual adat. Jarai-jarai dari rotan siap digendong.
Orang-orang kampung itu berjalan empat kilometer. Melewati jalan-jalan rusak, licin dan berlubang. Bulan letih menerobos hujan. Gelap. Hanya samar-samar kilatan cahaya obor, petromak, dan suar. Tapi orang-orang kampung itu tetap bersemangat demi seorang laki-laki yang ingin menikahi gadisnya.
Dan, ritual adat pun dimulai. Mempelai disandingkan. Tanpa pelaminan. Duduk lesehan beralasan tikar daun pandan dan bersandar pada dinding papan yang sudah aus.
Tetua adat baca mantra. Mulut komat kamit mengeluarkan suara yang tak bisa kumengerti. Mereka berbahasa roh, bahasa yang hanya dimengerti dirinya sendiri. Bahasa yang juga doa untuk pengantin. Bahasa yang membawa pesan. Bahasa yang mengingatkan pengantin akan janji pernikahan. Bahasa cinta.
Ritual berakhir pukul dua belas malam. Gadis sudah tidur. Pemuda yang datang tidak ikut. Ia disandera teman-temannya. ''Ini malam penghabis. Ini malam terakhir membujang. Jadi tidak boleh tidur. Besok sudah tidak lagi bujang.''
Pukul tujuh pagi pada 27 Desember, radio transistor keluaran 90-an dinyalakan. Satu berita duka tersiar: tsunami menyapu Aceh. Peristiwanya terjadi pada 26 Desember. Sama dengan hari dan tanggal perkawinan. Inilah dua peristiwa besar yang selalu diingat olehku. (*)
0 komentar:
Post a Comment