Sunday, November 1, 2009

Ayah, Maafkan si Bungsu

Pagi di Asrama Sepakat pada Januari 1999. Greg, seorang bruder dari Kongregasi Maria Tak Bernoda bergegas menuju unit Thomas. Almanak baru berada pada angka sembilan. Berselimut awan, matahari tetap setia menerangi alam.

Aku baru bangun pagi itu. Teh manis yang kubikin sebagai penghangat belum habis. Mandi juga belum. Masih bertelanjang dada karena aku masuk kuliah pukul tiga sore.

Aku melihat Greg bergegas. Pria tambun itu terhuyung. Kakinya seolah tak sanggup menahan bobot tubuh yang lebih dari seratus kilogram. Greg semakin dekat. Wajahnya seolah ingin memberikan satu kabar penting.

Benar saja. Greg mencari saya.

"Ada kabar dari kampung."

Belum ia meneruskan kabarnya, saya memotong, "Ayah saya meninggal, ya?"

Greg mengangguk. Saya berterima kasih karena Greg telah memberitahu saya soal kabar itu.

Teman-teman memberi simpati. Tapi saya tidak menangis. Bagi saya, ayah sudah meninggal sejak empat tahun sebelumnya, sejak ia terserang lumpuh dan stroke.

Pagi itu saya langsung pulang kampung. Jadwal mid semester mata kuliah statistik dan probabilitas saya tinggalkan. Saya hanya berharap dosen mengerti dan bisa memberi mid susulan. Kalaupun tidak, toh saya sudah mengulang. Sebelumnya saya hanya diberi nilai C, standar untuk tidak wajib mengulang.

Uang disaku hanya 15 ribu rupiah. Itu cukup untuk ongkos. Kalau sekarang harus punya uang minimal 35 ribu rupiah. Pukul sepuluh bus berangkat dari Batulayang. Bus yang kutumpangi berhenti di Jelimpo. Bus belum bisa ke Angan Tembawang.

Pukul tiga sore, aku tiba di rumah. Aku tak menemukan jenazah ayah. Rupanya ayah sudah menghadap keharibaan Ilahi tiga hari lalu. Kabar kematian itu terlambat datang pada saya.

Saya menemukan ibu yang sudah sepuh. Tapi masih kuat untuk bekerja, bahkan bisa dibilang workaholic. Ia marah kalau dilarang kerja.

"Ini sudah hari ketiga. Ayah meninggal malam hari. Ia minta disuapkan dodol sisa natal. Habis makan dodol, ia seperti tersedak. Diberi air putih. Tak lama kemudian, ayahmu meninggal."

Ibu bercerita dengan wajah sembab. Ia menangis. Pria yang telah memberinya selusin anak telah tiada. Keduanya bersetia hingga akhir hayat. Sebuah cerita tali perkawinan yang patut ditiru.

Ibu mahfum aku terlambat datang. Alasan kuliah baginya sangat masuk akal. Ibu tidak ingin anak-anaknya tidak sekolah. "Biar bajumu jelek, tapi hatimu bersih," begitu ibu berpesan.

Banyak kerabat yang bercerita bagaimana ayah meninggal. Aku hanya mendengar saja. Bagi saya, bagaimana pun caranya, tentu kesedihan tidak bisa mengembalikan ayah. Toh, ayah sudah meninggal. Ayah sudah tenang di pangkuan Yesus. Ayah sudah di surga.

Saya ingat kali terakhir bertemu ayah ketika masih bisa bernafas. Ada mitos, kalau seseorang yang susah meninggal karena belum bertemu salah satu anaknya. Mitos inilah yang banyak orang kira menimpa ayah.

Dalam pertemuan terakhir itu, saya berpesan kepada ayah, "Kalau ayah mau pergi, pergi saja. Jangan menunggu saya. Saya sudah merelakan ayah pergi."

Ayah tak menjawab. Ia sudah sulit bicara. Lidahnya kaku akibat sakit yang menderanya. Tapi wajah ayah menunjukkan kecerahan. Ia tegar. Ia sudah siap menghadapi kenyataan hidup. Ayah sudah ikhlaskan jika perziarahannya di dunia harus berakhir. Ayah bahkan sudah siap meneruskan perziarahannya di kehidupan yang lain.

Ini tahun kesepuluh bagi ayah meniti jalan di kehidupan lain. Putri sulungnya sudah menyusul setahun lalu. Beberapa cucunya juga sudah menyusul.

Setiap November, kami selalu berziarah. Orang Katolik memberi waktu khusus untuk mendoakan arwah. Setiap tahun, saya selalu meluangkan waktu untuk berziarah di perkuburan ayah. Tapi tahun ini saya tidak bisa datang. Bukan saya tidak mau, tapi pekerjaan saya tidak bisa ditinggalkan.

Ayah, maafkan anakmu tak bisa ikut berziarah. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code