Friday, October 30, 2009

Ruang 31

RUANG 31 di sebuah sudut kota. Hanya empat neon yang menyala. Sinarnya redup. Ruangan menjadi remang. Suara dari pengeras suara menyeruak masuk ke gendang telinga. Tiga deret kursi empuk menunggu untuk diduduki. Satu meja kaca dengan sebuah monitor untuk men-serach lagu-lagu yang sedap didendangkan.

Nada-nada mengalir tanpa harmoni. Bibir melafalkan syair-syair lagu diiringi jakun naik turun. Ini satu malam penghabisan. Esok kami harus meniti jalan sendiri. Menguak takdir yang kami ciptakan sendiri tapi kami tak mamu menghapus jejak yang telah mengisi ruang batin kami.

Sembilan pejuang jurnalisme mencoba berbagi rasa. Bersama menyelami keindahan malam. Menikmati dunia gemerlap dengan kerinduan. Menggarap bait-bait pertemanan dengan tali-tali kasih. Kami sedang mempererat silaturahmi.

Malam merangkak menuju pagi. Meninggalkan sisa-sisa kesepian cinta. Kami masih asik menenggak tetesan minuman tanpa alkohol. Kesejukan menyelinap di langit-langit merah muda menuju ruang pencernaan.

Kami bernyanyi tanpa beban. Mendendangkan lagu-lagu dengan suara yang lebih pantas bersenandung. Berjingkrak dengan rambut yang sengaja diacak-acakan. “Ini gaya yang tak punya model. Ekspresi kebebasan setelah delapan jam dibebani tugas yang menjemukan.”

Wak Blogger senyum tanpa tunjukkan gigi melihat si gondrong berjingkrak dengan suara parau yang tak berharmoni. Kadang ia berduet. Tapi lebih banyak meruncah syair-syair yang telah dilafalkan temannya.

Sekali waktu Wak Blogger ikut bernyanyi. Meraih mikrofon menyanyikan lagu favoritnya. Yang terdalam dan semua tentang kita. Dua-duanya milik Peter Pan. Hah!

Beberapa penghibur coba menawarkan rasa. Mengajak menikmati malam dengan cara lain. Ada yang terpikat, tapi banyak menolak. “Itu jalan menuju ruang kegelapan.” (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code