Friday, October 9, 2009

Identitas

Saya mencintai perbedaan. Berbeda, bagi saya, adalah anugerah yang tidak bisa dihindari. Ada keindahan, bahkan keseragaman dalam perbedaan itu. Tuhan bahkan mencintai perbedaan. Untuk itulah, Ia menciptakannya. Aneh bila tidak ada perbedaan. Apa kata dunia?

Saya teringat Zechri Bajuri. Ia pernah terpilih sebagai anggota dewan di Kalbar. Belum habis masa jabatannya, ia diganti oleh kader nomor urut kedua di bawahnya. Zechri pindah partai sehingga direcall.

Awal Mei 2005, saya diajak kunjungan kerja pada beberapa kota di Jawa. Zechri termasuk dalam rombongan itu. Saya tak begitu mengenal sosok itu. Yang saya tahu, Zechri itu anggota dewan yang duduk di komisi kesejahteraan rakyat.

Di Bandung, kami naik mini bus pariwisata yang dicarter untuk berkeliling kota. Isinya ada delapan orang. Zechri salah satunya. Ada Katarina Lies, Asmaniar, saya juga termasuk di dalamnya. Tentu bersama supir yang saya tidak tahu namanya.

Di perjalanan, tiba-tiba Zechri ngomong. “Kalau bisa ganti darah, saya mau, berapapun biayanya. Asalkan darah saya sudah tidak sama lagi dengan yang sekarang. Asalkan saya tidak lagi dicap sebagai orang etnis yang sekarang.”

Kami terperangah. Ada yang tertawa. Aneh, saya kira. Lucu juga. Saya kira Zechri tahu kalau cuci darah sekalipun, identitasnya tak akan lepas. Ia tetap sebagai orang yang etnis yang disandangnya sekarang.

Mungkin Zechri sedang bergurau. Mungkin juga ia sedang merasa tidak bahagia dengan identitasnya. Tapi Zechri tidak bisa memilih. Tuhan memberinya anugerah yang berbeda dari orang lain. Kami tak menanggapi serius apa yang diucapkan Zechri. Bagi kami, saya terutama, menganggapnya sedang bergurau.

Saya juga ingat dengan Hadari Majri. Saya kenal ustaz itu ketika berkeliling ikut Akil Mochtar saat maju sebagai calon Gubernur Kalbar. Akil kalah. Kini ia menjadi salah satu Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Hadari adalah salah satu ustaz yang setia menemani Akil dalam memberikan ceramah agama bagi masyarakat yang dikunjungi.

Dalam beberapa ceramahnya, Hadari sering melontarkan kalau perbedaan itu indah. Ia kerap mengungkapkan bahwa manusia tidak bisa memilih identitasnya. Manusia tak kuasa menolak anugerah Pencipta, bahwa ia memilih lahir dari rahim seorang ibu manapun. Tuhan sudah menggariskan identitas seseorang.

“Kalau boleh memilih. Saya minta dilahirkan dari rahim seorang istri sultan di Brunei. Begitu lahir langsung kaya. Sampai tujuh turunan, kekayaan tidak habis. Tapi saya tidak bisa memilih. Saya begitu juga dengan kita semua di sini. Kita ini begini, sudah anugerah. Jadi janganlah mempermasalahkan identitas itu. Inilah perbedaan yang begitu indah.“

Bagi saya yang berbeda identitas dengan Hadari, ceramah itu menyejukan. Kata-kata yang menunjukkan betapa perbedaan itu melahirkan keseragaman yang berujung pada keindahan. Pesan yang menyampaikan bahwa manusia tidak bisa mengingkari identitasnya. Apapun itu.

Zechri dan Hadari adalah dua sosok yang berbeda identitas. Namun dua orang ini mengingatkan saya, tentu anda juga, bahwa identitas tak perlu dipersoalkan. Perbedaan identitas antarmanusia bukan sebagai alasan untuk merusak identitas itu sendiri. Toh, kita tidak bisa mengubahnya. Bagaimanapun caranya. (*)

1 komentar:

fatma kitchen said...

saya googling nama ayah saya, dan ketemu blog ini...^_^

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code