Sebuah pesan singkat masuk. Pesan itu datang dari seorang teman. “Saya perlu pencerahan karena semangat kerja sudah semakin melorot.”
Saya prihatin. Bagaimana seseorang yang tegar seperti dia harus kehilangan semangat. Padahal setiap ketemu saya lihat dia begitu bersemangat. Apa yang terjadi? Saya menjadi seseorang yang haus dengan keingintahuan yang membuat teman tadi tidak bersemangat.
Siangnya, teman tadi kembali mengirim pesan singkat. Ia bilang ingin bertemu. Saya langsung iyakan. Kami bertemu di sebuah warung kopi. Saya datang lebih dulu sekitar lima belas menit. Ada beberapa teman satu profesi.
Tidak terlihat kalau dia memiliki beban berat. Justru sebaliknya. Si pengirim pesan singkat itu tetap ceria. Kami bicara banyak hal. Mulai dari hal yang tak penting hingga sesuatu yang membangkitkan semangat hidup.
“Apa yang kita rasakan hari ini?”
“Saya harus menjawab pertanyaan ini?” Saya balik bertanya.
“Tidak, disimpan saja,” sahutnya. “Hah,” kesal sepertinya.
Saya menangkap ada beban yang tersirat dari senyumannya. Saya coba menerka. “Kayaknya kami sedang mengalami masalah besar?”
“Ah, siapa bilang?” Dia mencoba berkelit.
Dia mencoba menyembunyikan kegalauan hatinya. Padahal sebenarnya ia sedang memanggul salib yang cukup berat. Salib adalah analogi bagi seorang kristiani jika ia memanggul beban berat. Salib merupakan sebuah gambaran penderitaan. Sama halnya ketika Yesus mengalami penderitaan ketika memanggul salib ke Golgota untuk menebut dosa manusia. Tapi salib sekarang ini tidak sebesar salib yang dipikul Yesus. Begitu juga dengan beban yang dipanggul teman saya.
Saya tidak berusaha menghiburnya. Saya malah meminta dia melawan penderitaan itu. Mengajak beban itu berkelahi. Tentu saja dengan pikiran-pikiran yang positif. Tapi bukan sebuah motivasi. Justru sebaliknya.
Teman berkilah. “Saya sudah tidak percaya dengan teori-teori motivasi. Banyak buku motivasi yang isinya tidak sesuai realita. Terkadang isinya berbohong.”
Apa jawab saya? “Itu betul. Saya juga tidak percaya dengan buku-buku yang katanya bisa memberi motivasi, memberi inspirasi.”
Lalu saya bilang sama dia, “Lebih baik kamu baca buku-buku kriminal. Serial-serial pembunuhan. Tentu saja saya tidak ingin kamu berbuat kriminal. Menjadi seorang pembunuh. Tapi sebaliknya. Dari cerita-cerita itu kamu harus membunuh bebanmu. Menangkap para kriminil yang mengganggumu sehingga kamu harus kehilangan semangat.”
Dia bergeming. Hanya alisnya sedikit naik. Jenggot jarangnya dipilin-pilin. Ia tidak mengangguk-angguk. Saya kira ia bingung. Atau sedang mencari alasan agar bisa meng-kick balik apa yang saya bilang tadi.
Lima menit saya biarkan. Ia tetap bergeming. Sesekali menggaruk kepalanya. Kegatalan. Kena miang. Atau mungkin ketombean. Kadang ia memegang hidungnya yang memang tak mancung.
“Banyak orang yang sepertimu. Saya juga pernah merasakan hal yang sama. Tapi saya lawan. Tentu dengan hal-hal yang negatif. Saya bunuh beban-beban itu. Saya tangkap dan penjarakan dia. Dan, itu berhasil.”
Dia makin bingung. Kopi pancung yang dipesannya diseruput. Habis. Sigaret yang tersisa sebatang disulutnya. Sekali tarik, asap mengepul. Segumpal asap bebannya turut keluar. Kembali ia tersenyum. Agak getir. Tapi ada ketenangan yang keluar. Walau sedikit. Saya kira dia mulai senang. Masih jauh dari bahagia. Semangatnya belum pulih.
Tiga jam kami ngobrol. Kami pun bubar. Sebelum bubar, saya hanya bilang, “Jalani saja apa yang kamu dapati hari ini. Bersyukurlah karena masih ada yang mau menerima tenagamu. Berbahagialah karena kamu yang terpilih. Karena banyak yang terpanggil, tapi sedikit yang terpilih.”
Sebuah pesan singkat lain masuk. Saya buka. Isinya, “Saya perlu pencerahan karena semangat kerja sudah semakin melorot.” Sebuah pesan singkat yang sama. Hah! (*)
0 komentar:
Post a Comment