Tiba-tiba malam ini saya teringat kampung halaman. Ingin pulang tapi tugas kantor berjibun. Iseng-iseng saya buka datangi tuan google. Saya ketik satu nama kampung: angan tembawang. Hasilnya tentu saja tidak mengejutkan saya. Hanya ada 243 hasil telusur untuk angan tembawang dengan waktu penelusuran 0.24 detik.
Saya sedih ketika tahu berapa jumlah angan tembawang terposting dalam dunia maya. Saya semakin sedih ketika tahu kalau angan tembawang lebih banyak diposting oleh saya sendiri.
“Bagaimana kalau saya sendiri tidak melek teknologi informasi?” saya bertanya pada diri sendiri.
Kemudian saya teringat seorang teman ketika masih tinggal di Asrama Sepakat. Pacarnya yang iseng-iseng lihat peta Kalbar bertanya, “kampung abang di mana?”
Teman tadi hanya bilang, “jangan tanya di mana kampung abang. Dia tak kelihatan karena tertutup daun pisang.”
Wah! Aneh ini orang. Di peta kok ada daun pisang? Kebun kali, ya? Saya hanya senyum-senyum saja dengar celoteh teman. Pacarnya yang serius bertanya, hanya tersipu. Edan.
Memang peta tak bisa memasukan semua tempat. Apalagi kalau skalanya kecil. Tak heran kalau banyak tempat, termasuk desa saya yang luput. Kampung yang kecil dan terpelosok itu sangat tidak mungkin masuk dalam peta yang skalanya kecil. Kasian ya?
Angan Tembawang, satu kampung di Kecamatan Jelimpo, Kabupaten Landak, Provinsi Kalbar. Ia masih masuk Republik Indonesia. Masih tertinggal karena akses dari perkotaan jauh.
Ada tujuh dusun di kampung itu: Bangka, Tutu, Angan Tembawang, Pelanjau, Limau, Rampan, dan Landak. Orangnya mayoritas bertani.
Saya senang era 2000-an, orang-orang mulai kenal Angan Tembawang. Apalagi mulai banyak nama itu tercantum dalam kamus besar tuan google. Saya bangga bisa memopulerkan nama itu. Walau hanya sebatas di dunia maya.
Saya jadi ingat ucapan seorang bijak. Jangan tanya apa yang diberikan kepadamu, tapi apa yang bisa kau berikan kepadanya. (*)
0 komentar:
Post a Comment