Sebagian orang yakin kalau kematian sudah digariskan. Tapi ada juga yang memberontak. Sebab ada kematian yang direncanakan, bahkan terpaksa. Lalu bagaimana sebenarnya jalan menuju kematian tersebut.
Ketika mengikuti media gathering sebuah produk minuman dalam kemasan di Yogyakarta, pertengahan Mei lalu, dalam perjalanan menuju Sombron, kami melihat seorang pengendara sepeda motor bersenggolan dengan sebuah mobil pick up. Pengendara sepeda terjatuh, penutup kepalanya pecah, tubuhnya penuh goresan. Ia terluka dan tidak sadarkan diri.
“Aduh, kasian,” kata Pipit, salah satu pegawai perusahaan minuman dalam kemasan.
Saya bilang, “mereka sedang mendaftarkan diri untuk kehidupan berikutnya. Jika soalnya sulit, maka mereka akan kembali. Itu artinya mereka tidak lulus. Sebaliknya, kalau soalnya mudah, maka mereka akan menjalani kehidupan berikutnya. Mereka lulus. Berarti mereka sudah meninggal.”
Episode kematian ibarat masuk perguruan tinggi. Mulanya mendaftar di universitas yang dikehendaki. Mendaftar ini sama saja dengan seseorang yang sedang sakit, dan dibawa ke instalasi gawat darurat untuk mendapat perawatan pertama.
Jika dokter jaga menyatakan harus menjalani rawat inap, berarti memasuk fase menunggu test. Fase menunggu ini bisa masuk intensif care unit atau ruang perawatan khusus. Di ICU, kita sedang menunggu panggilan untuk test.
Jika tidak mampu ditangani di ICU, bisa saja langsung dirujuk ke ICCU. Di ICCU ini, kita harus mengisi soal-soal yang telah disiapkan. Dalam menunggu hasil pengumuman, sangatlah bergantung terhadap isian soal ketika kita berada di ICCU.
“Jika kita bisa mengisi soal yang diberikan berarti bisa lulus. Itu berarti, kita harus meninggalkan dunia yang fana ini. Untuk melakoni kehidupan berikutnya.”
“Tapi, jika tidak bisa mengisi soalnya, berarti gagal. Itu artinya Tuhan masih memberikan kesempatan kepada kita untuk melakukan pertobatan dengan menjalani sisa perziarahan di bumi. Ini haruslah dimanfaatkan.” (*)
0 komentar:
Post a Comment