Friday, January 2, 2009

Berkelana dalam Silaturahmi Politik

Handphone di saku kiri celana jeans biru yang kukenakan bergetar, petanda ada panggilan masuk. Kuraih dan dilayar terlihat nama AR Muzammil.

“Ya, Bang,” kusapa dia.

“Kami mau ajak ke Tayan meliput kunjungan Akil Mochtar,” sahutnya.

“Jam berapa berangkat,” tanya saya.

“Empat pagi,” katanya.

Saya agak sulit bangun pagi. Tapi saya mencoba untuk tidak membuatnya tahu.

“Saya sih mau saja. Tapi saya minta izin dulu dari redaktur,” saya mencoba meyakinkannya.

“Tidak masalah. Nanti Bang Akil yang ngomong langsung. Siapa orangnya?” tanya dia.

“Bisa Holdi, bisa Salman,” jawabku.

Holdi Bulhasan, redaktur pelaksana dan Salman, pemimpin redaksi tempat saya bekerja.

Muzammil menelepon saya pada Jumat, 28 April 2006 sekitar pukul empat sore. Ia mengajar bahasa Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura. Belakangan belajar politik. Ia pernah menjabat Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu pada 2004.

Saya memberitahu Holdi ketika ia tiba di kantor pada pukul tujuh malam. Ia mengatakan kepada saya, “Kasi tahu Salman.” Sepertinya saya mendapat izin dari ucapannya tadi. Satu jam kemudian, saya memberitahu Salman. “Okelah,” katanya.

Mendapat izin dari dua orang itu, saya langsung kirim pesan singkat ke Muzammil. “Oke, kami jemput jam empat pagi, ya,” ia membalas pesan singkat yang saya kirim.

Inilah awal perkenalan saya dengan Akil Mochtar. Dulu saya hanya tahu, ia merupakan anggota dewan di Senayan. Saya belum pernah bertemu dengannya. Saya hanya mendengar dan membaca di koran saja. Setiap pulang ke Kalbar, ia selalu muncul di koran kami: Pontianak Post.

“Ini korannya Akil,” kata saya pada beberapa awak redaksi.

Saya dongkol juga karena setiap minggu selalu ada foto dan komentarnya. Kadang bisa pada dua atau tiga halaman. Saya makin dongkol karena berita tentang dia selalu dimuat.


*******

Saya harus men-setting alarm di handphone agar bisa bangun pagi. Benar saja. Pukul tiga pagi, saya ditelepon Muzammil. “Oi, bangun,” ujarnya. “Udah Bang, siap berangkat nih. Jemputlah.”

Rumah Akil di Jalan Karya Baru nomor 20. Dua mobil terparkir di halamannya. Satu land cruiser, satu lagi strada. Beberapa orang sudah menunggu. Orang-orang yang tidak saya kenal. “Kita mau ke Tayan. Ada undangan silaturahmi,” kata Akil sambil menjabat tangan saya.

“Ini rupanya orang yang bernama Akil Mochtar,” kata saya membatin.

Kami berangkat pukul lima pagi. Di land cruiser ada Anto, pemegang stir; Kasiono, ajudan merangkap tukang sibuk, Akil Mochtar, dan Akim. Di strada, ada Muzammil, saya, Mustafa, dan Ade yang mengemudikannya.

Tapi di Tanjung Hulu, kami harus menaikan satu penumpang lagi: Akim, seorang wartawan Equator (sekarang di Tribun Pontianak). Ia menambah jumlah rombongan menjadi delapan orang. Kami meluncur ke Tayan lewat jalan transkalimantan yang belum diaspal. Harus rela badan bergoyang-goyang karena lubang-lubang tidak mungkin dihindari. Batu-batu kecil terbang terlindas roda. Debu mengudara terembus angin dan singgah di paru-paru yang menghirupnya.

Rumah-rumah orang-orang di sepanjang jalan transkalimantan berwarna seragam: coklat keabu-abuan. Dinding-dinding terpoles secara alami. Kaca-kaca tak lagi bening. Ventilasi bukan lagi pintu masuk udara segar ke rumah.

“Hujan becek, kemarau berdebu,” kata Akim.

“Paru-paru mereka sudah berisi debu-debu jalan,” saya menyambung.

Mobil yang kami tumpangi tetap berlari di antara lubang-lubang jalan, di atas batu-batu kecil. Menggilas dan melahirkan debu baru bagi warga di sepanjang jalan. Warga hanya menutup hidung dengan tangan, tanpa masker. Sebagian lagi tak ambil pusing. Cuek saja.

Kami tiba di Tayan pukul sepuluh. Sambil menunggu sampan yang menyeberangkan, kami ngopi dulu. Akil menemui pedagang ikan, udang. Ia berdialog. “Kenal semua orang dengan wak ini,” kata saya dalam hati. Ada seorang ibu yang berteriak, “Pak Gubernur.” Akil hanya tersenyum. “Amin,” katanya menyahut.

Kami menyeberang dengan dua sampan. Saya cukup akrab dengan Tayan. Dari bahasa, saya bisa nyambung karena masih satu rumpun. Jarak Tayan dengan kampung saya, Angan Tembawang, kira-kira 40 kilometer. Kalau jalan kaki bisa dua hari. Kalau pakai sepeda bisa setengah hari. Kalau pakai sepeda motor satu jam. Maklum jalannya rusak berat. Belum beraspal. Pengerasan ada, tapi berlubang sana-sini.

Kami pulang dari Tayan sekitar pukul satu siang. Tidak ada informasi istimewa yang bisa saya tulis dari silaturahmi itu. Hanya perjumpaan sederhana antara seorang politisi Senayan dengan konstituennya. (*)


0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code