Friday, January 2, 2009

Dayak Angan dalam Mozaik Dayak

Dua manusia Dayak dan satu orang Jawa melakukan penelusuran suatu identitas. Tiga orang itu butuh waktu lebih dari sepuluh tahun untuk mengumpulkan beragam data.

Mereka mengolahnya dan mengemasnya dalam bentuk satu mozaik. Dayak Angan, satu dari banyak identitas yang masuk dari mozaik itu. Buku Mozaik Dayak itu diluncurkan di Pontianak pada 17 Mei 2008.

Saya diundang panitia, bukan sebagai manusia Dayak yang diteliti identitasnya, tapi sebagai seorang jurnalis untuk meliput. Dalam undangan ada satu potongan motif Dayak yang menempel pada latar kertas berwarna hitam. Dalam undangan itu juga tertulis satu judul, yang saya pikir itu buku, ‘Mozaik Dayak; Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak.’ Semua ditulis dalam huruf kapital.

Biar tahu apa isi mozaik itu, saya datang pada pesta peluncurannya. Saya bertemu beberapa teman. Saya bicara juga pada dua manusia Dayak yang menelurusi identitas dalam mozaik itu: Albertus dan Sujarni Alloy. Saya bertemu, tapi tidak berbicara, dengan satu orang Jawa yang terlibat dalam menyusun mozaik itu: Chatarina Pancer Istiyani. Banyak hal yang diceritakan dua manusia Dayak yang selama bertahun-tahun mengumpulkan catatan-catatan yang sempat hilang.

Baiklah. Saya tidak akan cerita bagaimana kisah para penelusur itu. Saya ingin tulis satu kegembiraan saja. Saya ingin berbagi kebanggaan. Satu Dayak yang selama ini tidak dikenal orang, tercatat dalam mozaik itu: Dayak Angan. Satu komunitas dari mana saya berasal.

Tiga penelusur identitas itu menempatkan subsuku Dayak Angan pada halaman 67, bagian 4 ‘Keberagaman Suku Dayak di Kalimantan Barat’ di mozaiknya. Ia menempati urutan pertama karena disusun sesuai abjad.

Ini bahasan soal Dayak Angan itu:

Subsuku Dayak Angan adalah subsuku Dayak yang bermukim di wilayah adat atau Binua Angan di Kabupaten Landak. Wilayah adat Angan berbatasan langsung dengan Kecamatan Tayan di Kabupaten Sanggau. Bahasa yang dituturkan oleh orang Angan adalah bahasa Angan Be-aye’. Bahasa Ba-aye’ menyebar sampai ke Kecamatan Tayan. Di daerah Tayan dan Sosok, bahasa Angan Ba-aye’ tersebut disebut juga bahasa Mali. Penduduk yang menuturkan bahasa ini disebut orang Dayak Mali.

Adapun kampung-kampung yang termasuk ke dalam wilayah adat Angan ini adalah Kampung Angan Tembawang, Angan Limo, Angan Asepm, Angan Tigakng, Angan Pelanjau, Angan Rampan, dan Angan Bulu Lanak.

Jumlah penutus bahasa Angan menurut data kecamatan pasa saat penelitian dilaksanakan adalah sebanyak 1.499 jiwa. Jumlah itu terdiri dari laki-laki sebanyak 746 jiwa dan perempuan sebanyak 753 jiwa. Jumlah kepala keluarganya sebanyak 248 ditambah dengan 150 kepala keluarga di Binua Rantauan dan Sengkunang.

Subsuku Dayak Angan sudah berada di Binua Angan sejak nenek moyang mereka dulu. Jadi, mereka merupakan penduduk asli di tempat yang sekarang mereka huni.

Di Kabupaten Pontianak dan Ketapang juga terdapat sekelompok orang Mali. Orang Mali yang berada di Ketapang merupakan penyebaran orang Mali dari Kecamatan Tayan, Kabupaten Sanggau. Sementara itu, orang Mali yang di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang diduga penyebaran mereka pada tahun 1960. penyebaran orang Mali ini masih perlu ditelusuri secara lebih mendalam lagi.

Pembahasan soal Dayak Angan hanya 162 kata dari 215 kata. Sisanya membahas soal penyebaran orang Mali. Bisa dikatakan hanya satu halaman dari buku itu. Banyak tidaknya pembahasan soal orang Angan bukan satu masalah. Sepatutnya orang Angan berterima kasih kepada penelusur, yang sudah berupaya untuk menggali data tentang orang Angan.

Tetapi ada yang membuat saya tidak tenang. Kalimat ini, misalnya, “Wilayah adat Angan berbatasan langsung dengan Kecamatan Tayan di Kabupaten Sanggau.” Semestinya bukan Kecamatan Tayan. Seharusnya kalimat itu ditulis, “Wilayah adat Angan berbatasan langsung dengan Kecamatan Balai di Kabupaten Sanggau.”

Kemudian pada alinea kedua yang berbunyi, “Adapun kampung-kampung yang termasuk ke dalam wilayah adat Angan ini adalah Kampung Angan Tembawang, Angan Limo, Angan Asepm, Angan Tigakng, Angan Pelanjau, Angan Rampan, dan Angan Bulu Lanak.” Ini alinea yang salah besar.

Semestinya alinea ini ditulis, “Adapun kampung-kampung yang termasuk ke dalam wilayah adat Angan ini adalah Kampung Angan Tembawang (orang Angan menyebutnya Rumah Angan), Angan Merimo (disebut juga Angan Limau), Angan Sepmtigakng (disebut juga Angan Rampan), Angan Pelanjo (disebut juga Angan Pelanjau), Angan Belanak (disebut juga Angan Landak), Angan Bangka, dan Angan Tutu.”

Dalam launching itu, saya sudah sampaikan keberatan karena kesalahan tulis tadi. Tapi penelusurnya bilang, “buku ini masih jauh dari kesempurnaan. Perlu waktu lagi untuk menelusurinya.”

Saya maklum kalau kesalahan itu terjadi. Penelusur, untuk tidak menyebut peneliti, juga manusia. Mereka juga punya keterbatasan. Sama seperti manusia-manusia lainnya. Saya bersyukur: Dayak Angan tercatat dalam satu mozaik yang ditulis orang-orang cerdas. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code