Apakah anak Anda bercita-cita menjadi seorang petani?
Satu siang di Ayani Megamall, sebuah pesta ulangtahun digelar. Diandra, satu anak yang menghelatkan hari lahirnya di mall termegah di Kota Pontianak itu. Teman-temannya datang. Tentu saja ditemani kedua orangtuanya.
Seorang perempuan muda yang memandu acara cukup kreatif. Ulangtahun yang cukup mewah itu menjadi meriah. Balon-balon bergelantungan di langit-langit ruang rumah makan itu. Lagu-lagu berirama rancak dilantunkan. Aneka permainan disuguhkan. Siapa yang bisa menjawab diberi hadiah.
“Dian, kalau sudah besar mau jadi apa?” tanya cewek pemandu acara.
“Dokter,” singkat Dian menjawab dengan suara kecilnya.
Satu temannya dipanggil ke atas panggung. Pemandu acara juga bertanya hal yang sama pada anak lelaki itu.
Ia menjawab singkat, “Tentara.”
Kembali pemandu acara memanggil satu teman cewek Dian.
“Pengusaha,” katanya.
Saya yang makan bersama keluarga tak jauh dari acara itu tersenyum kecil. Pertanyaan itu saya ajukan pada anak semata wayangku yang masih berusia tiga tahun enam bulan. Ia hanya senyum saja. Mungkin belum tahu mau jadi apa sudah besar nanti. Atau ia belum mengerti apa itu cita-cita.
Saya jadi teringat ketika masih kecil dulu. Satu guru sekolah dasar kampung bertanya, “Nanti kalau sudah besar mau jadi apa?” Apa saya jawab?
“Mau jadi insinyur.”
Dua hari berikutnya, guru lain bertanya yang sama padaku. Apa jawab saya?
“Jadi dokter.”
Gila! Banyak benar cita-cita ketika masih kecil dulu. Dari insinyur, dokter, pengusaha, tentara, polisi, hingga pastor. Itu mimpi yang kemudian tak terbeli. Mimpi indah seorang anak kampung yang orangtuanya hanya seorang petani. Bukan petani modern, hanya tradisional yang tak mengenal teknologi canggih industri pertanian.
Saya juga sama dengan anak-anak yang merayakan ulangtahun di mall itu. Tidak punya cita-cita menjadi seorang petani, bahkan petani modern. Walaupun saya anak seorang petani miskin yang hanya mengandalkan hasil penjualan karet, yang ketika itu hanya Rp2.000 per kilogramnya.
Petani bukanlah satu cita-cita yang baik bagi anak-anak. Orangtua, saya yakini itu, tidak ingin anaknya menjadi seorang petani. Semua orangtua ingin anaknya punya cita-cita, punya mimpi, lebih dari menjadi seorang petani. Orangtua, seperti saya, ingin agar anak nanti ketika dewasa menjadi orang sukses.
Di Indonesia, pertanian itu satu sektor andalan. Negara mengklaim surplus beras karena sektor pertanian berkembang pesat. Tentu ini jasa seorang petani. Jasa yang menghadirkan beras-beras ke rumah-rumah warga. Beras yang hingga kini belum tergantikan sebagai makanan utama rakyat di republik ini.
Pemerintah punya cita-cita agar pertanian semakin maju sehingga tidak lagi mengimpor beras dari negeri orang. Akan banyak dana negara yang tersedot untuk membiayai impor beras. Dana yang banyak itu akan lebih baik untuk memberikan subsidi bibit kepada petani. Sehingga cita-cita swasembada beras bisa terwujud.
Nyaris tidak ada orangtua yang menganjurkan anaknya bercita-cita menjadi petani. Bagi mereka, petani itu pekerjaan yang suram bagi masa depan anaknya. Mereka lupa kalau petani telah membuatnya bertahan hidup hingga puluhan tahun.
Bisa dibayangkan kalau pada masa mendatang, mimpi anak-anak itu terwujud. Cita-cita kecil mereka yang ingin jadi insinyur, pengusaha, polisi, tentara, pegawai negeri tergapai. Coba bayangkan, kalau anak-anak desa, anak-anak petani, ketika besar nanti tidak lagi menjadi petani. Bisa bayangkan, kalau semua anak-anak petani sukses tidak sebagai seorang petani.
Kita akan sulit mencari beras. (*)
0 komentar:
Post a Comment