Saya menanam satu pohon belian di halaman. Bukan untuk satu kalpataru. Bukan juga untuk satu pujian dari orang-orang yang melihatnya. Cita-cita saya hanya sederhana: ingin anak-anakku tahu seperti apa pohon belian itu.
Tak mudah menanam satu pohon belian. Apalagi saya tidak paham soal ilmu pertanian ataupun perkebunan. Saya hanya ikut kata hati saja. Kalau saya ingin menanam, ya tanam saja.
“Kalau tumbuh, ya syukurlah. Kalau tidak, juga tidak apa-apa.”
Biji belian sangat keras. Ia memiliki tempurung yang tebal. Di dalam tempurungnya ada satu daging biji yang bisa bertunas. Tidak mudah bagi tunas untuk menembus tempurung yang tebal dan keras itu. Lebih mudah meraih predikat kepala daerah bagi orang yang berduit.
Salah satu ujung biji belian itu saya pecahkan. Ini akan memudahkan biji itu bertunas. Setidaknya begitu metode yang saya ketahui ketika browsing di internet. Karena menurut saya itu bagus, ya diikuti saja. Tak salahkan kalau dicoba. Ada delapan belas biji yang tersemai. Ada yang saya taruh di dalam pot plastik. Ada yang saya tanam di polibag. Sebagian lagi saya taruh begitu saja di tanah. Lainnya saya tanam di satu bedengan depan jendela kamar tidur utama.
Saya harus menunggu tiga bulan hanya untuk melihatnya bertunas.
Ada dua biji yang bertunas. Biji yang saya taruh di depan kamar tidur utama. Saya gembira. Begitu juga istri yang dulunya memprotes.
“Untuk apa tanam belian?” protesnya.
Saya jalan terus. Saya bilang, “biar nanti anak kita tahu mana pohon belian.”
Ia akhirnya mengalah. Tapi tak pernah merawatnya. Satu tunasnya patah. Istri saya yang mematahkannya. Ia patahkan ketika sedang membersihkan rumput-rumput di halaman. Ia bilang tidak sengaja.
“Tunasnya ndak kelihatan. Kena senggol tangan. Jadi patah.”
Saya tidak bisa bilang apa-apa. Toh sudah patah. Saya berharap, ada tunas baru yang tumbuh lagi. Tapi sampai dua tiga minggu tak juga tumbuh. Hingga berdaun dan berbatang, hanya satu biji yang bertahan. Itu yang bisa saya lihat hingga sekarang. (*)
0 komentar:
Post a Comment