Saturday, December 13, 2008

Jalan Pulang

Saya masih ingat ketika masih sekolah dulu. Setiap libur datang, selalu ingin pulang kampung. Banyak faktor yang membuat keinginan itu begitu menggebu-gebu. Uang, salah satunya. Tapi juga ada kerinduan untuk bertemu ibu.

Saya mulai berpisah dengan ibu sejak umur 12 tahun. Pada saat tamat sekolah dasar. Masih polos, begitu lugu. Sekolah yang saya pilih milik misionaris. Orang bilang sekolah pastor. Tapi bukan untuk menjadi seorang pastor. Kebetulan saja pengelola para pastor.

Yos Sudarso, begitu nama sekolah lanjutan saya setamat SD tersebut. Ia berada di Pusat Damai, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Sanggau. Tidak ada satupun orang yang saya kenal ketika pertama kali menginjak kaki di sekolah itu.

Semester pertama, saya tinggal bersama saudara laki-laki nomor tiga. Kami ada tujuh saudara. Tiga perempuan, empat laki-laki. Saya adalah bungsu dari tujuh itu. Tapi hanya dua orang yang kemudian bisa menyelesaikan pendidikan hingga tingkat sarjana. Saya salah satunya.

Abang saya sudah berkeluarga. Ia bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit. Gajinya tak begitu besar, tapi cukuplah untuk menghidupkan dua anak perempuannya. Tapi ia punya kavling sawit yang dikelolanya sendiri. Ia seorang alkoholic akut.

Satu minggu pertama, saya tak kerasan dengan lingkungan baru itu. Setiap hari menangis. Saya rindu ayah, rindu ibu, dan rindu bersenda dengan teman-teman di kampung. “Saya ingin pulang.” Abang saya melarang.

Habis Natal tahun 1988, saya memilih tinggal di asrama putra dekat sekolah. Unit Tayan, nama asrama tempat saya tinggal. Bertemu teman baru. Beragam desa, latarbelakang, bahkan karakter. Kembali rasa ingin pulang datang. Saya rindu ibu yang setiap hari menoreh untuk membiayai sekolah saya.

Ketika liburan kenaikan kelas, kerinduan itu terobati. Saya pulang dengan kegembiraan. Selain naik kelas, saya juga termasuk siswa berprestasi. Juara dua di kelas. Juara dua di kelas saya pegang selama tiga tahun.

Beda dengan anak-anak masa kini, saya pulang kampung bukan untuk liburan. Saya pulang untuk mencari duit. Menoreh, itu pekerjaan wajib setiap hari. Pagi-pagi sudah bangun. Dingin merasuk di sum sum, tapi ibu memaksa untuk menoreh.

“Kalau mau sekolah tinggi, kamu harus rajin. Kamu harus noreh,” kata ibu setiap pagi kalau saya malas bangun.

Walau malas, saya toh akhirnya bangun juga. Pakaian dinas di dapur sudah menunggu. Koyak sana sini. Celana panjang terpotong setengah dengan potongan tak sempurna. Topi yang sudah berubah warna. Sudah tidak karuan lagi. Banyak noktah hitam di setiap bagiannya.

Pukul lima pagi, sudah berangkat ke kebun karet. Embun pagi yang tertinggal di daun menambah kesejukan pagi. Tapi harus tetap dilawan. Menoreh dan menoreh. Sekolah dan sekolah.

“Supaya kalian lebih pintar dari saya,” kata Ibu.

Ibu tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Ibu tidak bisa baca tulis. Ia hanya bisa mendengar dan melihat, juga merasakan. Tapi ibu bisa menghitung. Kami tidak bisa membohongi ibu kalau sudah berhitung. Terutama menghitung uang dan harga jual karet.

Bahkan ia bisa lebih cepat dari anak-anak yang sekolah dalam hal menghitung harga. Ini kelebihan ibu saya. Saya bahkan belajar menghitung harga dan duit dari ibu.

Saya kembali berpisah dengan ibu ketika liburan berakhir. Ia tak pernah mengantar. Tapi ia selalu memberi petuah bijak. Petuah-petuah itulah yang selalu membuat saya ingat jalan pulang. (*)

1 komentar:

Anonymous said...

Aku juga begitu dulu masa di boarding house. Tapi lebih kerana nak makan makanan hutan, seperti lebung, babi hutan dan buah-buahan.
Dulu, susah nak dapat barang ini di pasar. Sekarang, susah nak dapat barang ini di kampung, sebab kebanyakannya sudah dihantar ke pasar.

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code