Saturday, August 16, 2008

Menjaga Orangutan di Titik Nol Indonesia

Habitat orangutan (Pongo pygmaeus) kian terancam. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, praktik pembalakan liar, dan perburuan (bush meat) mengancam populasinya. Hutan di wilayah perbatasan darat antarnegara Indonesia-Malaysia menjadi harapan baru dalam menjaga orangutan.

Lima tahun terakhir, kawasan perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat menjadi pusat perhatian. Pemerintah pusat mencanangkan kawasan perbatasan menjadi beranda depan negara. Pendekatan pembangunan diubah. Kalau zaman orde baru menggunakan pertahanan keamanan. Sekarang diganti dengan pendekatan kesejahteraan.

Mayoritas kawasan perbatasan masih berupa hutan. Pada kawasan perbatasan dengan luas totalnya 2.420.650 hektar di kecamatan lini satu. Arahan pemanfaatan ruang wilayah sebagai berikut: kawasan lindung seluas 1.411.866 hektar yang terdiri dari taman wisata alam 18.918 hektar, taman nasional 802.280 hektar, cagar alam 6.678 hektar, hutan lindung 576.125 hektar dan hutan lindung bakau 7.865 hektar.

Sedangkan kawasan budidaya seluas 960.487 hektar, yang terdiri atas hutan produksi terbatas 231.087 hektar, hutan produksi 205.542 hektar dan kawasan nonhutan 523.863 hektar.

Di Kalimantan Barat ada lima kabupaten yang berbatasan darat langsung dengan Malaysia, yaitu Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu. Dari kelima kabupaten itu, hanya Sanggau yang telah memiliki Pos Pemeriksaan Lintas Batas yakni di Entikong. Sementara Badau di Kapuas Hulu dan Aruk di Sambas sedang dalam proses pembangunan. Diperkirakan pada 2008 dan 2009, kedua PPLB itu segera dibuka secara resmi.

Masih hijaunya kawasan perbatasan Kalbar menarik minat investasi. Sejumlah investor berniat melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Namun rencana ini ditentang habis-habisan oleh aktivitas peduli lingkungan. Aktivis menilai pemberian izin perkebunan kelapa sawit di kawasan perbatasan akan menurunkan fungsi hutan.

“Hutan di perbatasan bisa menjadi habitat baru bagi orangutan. Tetapi harus tersedia pakan di habitat baru itu. Kebijakan pemerintah juga penting sehingga orangutan aman berada di habitat barunya,” kata Aktivis Yayasan Titian Adri Amiruddin di Pontianak.

Menurutnya, Kalbar membutuhkan lokasi yang representatif untuk dijadikan sebagai pusat rehabilitasi sekaligus habitat orangutan. Selama ini orangutan yang diamankan dari warga dikirim ke Nyarumenteng, Kalimantan Tengah. “Tetapi tidak ada laporan dari lokasi barunya, bagaimana perkembangan orangutan tersebut,” katanya.

Adri mengakui tidak ada kewajiban bagi pengelola Pusat Rehabilitasi Orangutan Tanjungputing untuk melaporkan perkembangan orangutan Kalimantan Barat. “Secara moral harusnya dilakukan sehingga diketahui sejauhmana perkembangan orangutan di habitat barunya itu,” kata Adri.

Ada beberapa kawasan yang sangat layak untuk dijadikan sebagai pusat rehabilitasi orangutan di Kalbar. Adri menyebut Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) di Kabupaten Kapuas Hulu. Kedua lokasi itu memiliki areal yang cukup luas.

“Hutan di dua lokasi ini masih lebat. Ketersediaan pakan juga cukup memadai. Tetapi harus ada kemauan dari pemerintah, baik kabupaten, provinsi maupun pusat,” ujar Adri.

Mengamankan hutan perbatasan dari pembalakan liar sangatlah penting. Sebab pada beberapa titik sudah ada gejala kalau hutan di kawasan perbatasan terjamah penjarah. Bahkan sudah masuk ke kawasan lindung. Ini menjadi komitmen pemerintah dalam mengawasinya. Sehingga harus ada jaminan agar hutan yang akan menjadi habitat baru orangutan tidak terjamah aksi pembalakan liar.

Jika kawasan perbatasan bisa menjadi habitat barunya, maka orangutan yang disita dari masyarakat tidak perlu lagi dikirim ke Nyarumenteng, Kalteng.

Koordinator Penyelamatan Satwa dan Habitat pada Yayasan Palung Tito P. Indrawan menyebutkan, pada Agustus 2008 rencana mengirim lima orangutan ke pusat rehabilitasi orangutan di Nyarumenteng dan Pangkalanbun, Kalimantan Tengah.

Dua di antara orangutan itu disita saat hendak dijual ke Pulau Jawa oleh seorang warga di Nanga Tayap. Orangutan jantan dan betina itu berusia tiga tahunan dan dijual Rp300.000- Rp500.000 per ekor.

Kemudian, pada bulan Juni 2008, pihak Yayasan Palung telah mengirim tiga orangutan disita dari warga dan dikirim ke pusat rehabilitasi orangutan di Nyarumenteng. Dari 2004-2007 ada 34 orangutan dikirim ke tempat rehabilitasi.

Menjaga orangutan di titik nol Indonesia diyakini bisa terwujud. Apalagi ada lima kesepakatan dari hasil pertemuan tiga negara kedua yang tergabung dalam Heart of Borneo (HoB) di Pontianak pada April 2008.

Kelimanya terdiri atas kerja sama lintas batas (transboundary management), pengelolaan kawasan lindung dan konservasi (protected areas management), pengelolaan sumber daya alam secara lestari pada kawasan nonkonservasi (sustainable natural resource management), pengembangan wisata alam (ecotourism development), dan membangun kesadaran masyarakat dalam pengelolaan hutan (capasity building).

Pertemuan tiga negara kedua Heart of Borneo ini diikuti Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Ketiganya berada di Pulau Kalimantan. Namun Indonesia memiliki kawasan hutan yang paling banyak dari dua negara lainnya.

Sebanyak 57 persen merupakan kawasan yang harus dilindungi. Sepertiga dari Heart of Borneo itu berada di Kalimantan Barat. Sebagian besar berada di dataran tinggi dan rendah. Termasuk yang ada di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).

Hasil survei dari Great Ape Trust yang berpusat di Iowa menunjukkan, populasi orangutan (Pongo pygmaeus) di Sumatera turun 14 persen, sementara di Kalimantan mencapai 10 persen. Di Pulau Sumatera, populasinya turun dari 7.500 ekor menjadi 6.600 ekor, dan di Kalimantan dari 54.000 ekor menjadi 49.600 ekor. Survei itu itu dipublikasikan dalam jurnal Oryx edisi terbaru.

Total luas kawasan budidaya adalah 10.717.002 hektar atau setara dengan 73 persen sedangkan kawasan lindung seluas 3.963.698 hektar atau 23 persen. Akan tetapi total luas kawasan hutan mencapai 8.390.660 hektar atau setara dengan 57,15 persen dari luas Provinsi Kalimantan Barat.

Orangutan Kalimantan Barat (pongo pygmaeus pygmaeus) ditemukan di barat laut Kalimantan, di utara Sungai Kapuas dan Sarawak. Status subspesies ini cukup memprihatinkan. Populasinya hanya 3.000 ekor. Populasi penting umumnya berada di kawasan Batang Ai atau Lanjak Entimau di selatan Sarawak dan antara selatan betung Kerihun dan Danau Sentarum Kalbar. (*)

1 komentar:

Anonymous said...

di titik nol indonesia?

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code