Hoki Bryan Jevoncia menyapa saya. Bocah fenomenal yang menang lomba desain perangko PBB 2008 memberikan rezeki. Tulisan tentang dia yang saya kirim ke Jawa Pos masuk nominasi ‘Dahlan Iskan Award’ untuk kategori feature. Gembira sekaligus khawatir. Prestasi kecil ini harus dipertahankan, kalau perlu menjadi jawara pada tahun berikutnya.
Oktober 2007, Pemimpin Redaksi Pontianak Post, Salman meminta saya membuat feature tentang Bryan Jevoncia. Ia meminta agar digarap serius. Bikin lebih menarik. Human interest. Terutama keseharian bocah kelas dua SD Suster Pontianak itu.
Saya tertegun. Baru kali ini membuat tulisan yang kemudian dikirim dalam sebuah perlombaan. Sebelumnya tidak pernah. Salman terus mendorong. Saya bilang, “tidak bisa bikin tulisan yang bagus dan layak untuk dinilai dalam sebuah perlombaan.”
Tapi ia terus mendorong, terkadang memaksa. Saya menyerah. Permintaan itu saya penuhi. Saya bicara dengan mama Bryan, Rosiana. Saya katakan mau bikin tulisan serius, tapi ringan tentang Bryan. Dua hari saya riset. Bangun pagi. Menjadi tamu pertama di rumah Bryan.
Saya kunjungi sekolahnya. Bicara dengan kepala sekolah dan guru kelasnya. Lihat gerak geriknya di sekolah. Saya tunggu hingga ia pulang sekolah. Mengikuti perjalanan pulangnya ke toko gorden ibunya. Saya tamu di toko itu, yang tidak membeli dagangannya.
Beruntung mama Bryan percaya kepada saya. Ia bercerita banyak tingkah anaknya. Termasuk graffiti di rumah lamanya di Jalan Surya, Pontianak. Coretan tangan perdana Bryan saya abadikan dengan kamera digital. Sekali lagi saya beruntung. Dinding rumah tempat coretan itu belum dibongkar. Padahal tukang bangunan sedang membongkar rumah pribadinya.
Riset selesai. Cerita Bryan mulai ditulis. Materinya biasa saja. Tidak istimewa. Besoknya, terbit di Harian Pontianak Post. Kata Salman, “Jawa Pos juga memuat tulisan itu.” Saya hanya tersenyum. Bagi saya, tulisan dimuat di Jawa Pos, cukup membanggakan. Mungkin bagi jurnalis lainnya tidak.
Hingga akhir 2007, tak ada kabar mengenai Dahlan Iskan Award itu. Saya tidak juga bertanya. Saya pikir, tulisan itu tidak bisa masuk nominasi, apalagi menang. Tapi dugaan saya meleset. Pertengahan Maret 2008, seorang teman di redaksi Pontianak Post menelpon. Kebetulan hari itu, saya pulang duluan, karena tugas mengetik berita sudah selesai.
Saya sedang berada di Gramedia. Sebuah toko buku di Pontianak. Pergi ke toko buku, mungkin sudah hobi saya. Titi, istri saya bilang, “hobi yang tidak wajar.” Saya cuek. Bagi saya ke toko buku itu bagus. Walau tak membeli, paling tidak bisa membaca sedikit. Kaget ketika ditelpon kalau tulisan itu masuk nominasi.
Saya tak percaya. Salman yang ikut dalam pertemuan di Jakarta, saya telpon. Ia mengiyakan. Tancap gas langsung balik lagi ke kantor. Surprise. Teman-teman berikan ucapan selamat. Tentu, kata-kata, ‘makan-makan’ paling deras mengalir. Saking senangnya, saya bawa bermain pingpong di lantai enam kantor Pontianak Post. Sampai lelah, dan puas.
Besoknya, foto saya nampang di Pontianak Post. Ada yang salut, ngirim pesan singkat, tapi ada juga tidak percaya, bahkan sinis. Ucapan selamat. Saya hanya bilang, “ini prestasi kecil saja. Tulisan itu terbaik dari yang terburuk.”
Apapun komentar orang tentang tulisan itu, tak membuat saya jera menulis. Baik atau buruk, mereka yang menilai. Layak atau tidak, masuk nominasi, mereka yang mengujinya. Tapi saya sudah mencoba untuk berkreasi sebaik-baiknya. Menghasilkan tulisan yang bisa dibaca orang, dan senang membacanya.
Selayaknya terima kasih diucapkan kepada mereka yang mendukung. Maaf kepada mereka yang tidak mendukung. Saya hanya debu kecil di bumi ini. Tulisan itu hanya rangkaian kata-kata yang tak perlu dibaca. Tidak narsis, khan? (*)
2 komentar:
sampaikan selamat untuknya yach?
nice share gan, kereeeen
Apartemen High Point Siwalankerto
Post a Comment