Monday, March 24, 2008

Ketika Naga 'Tikus' Hijrah

Ada yang berbeda dari Cap Go Meh tahun ini. Sepi hingar bingar. Sunyi tabuhan bedug dorong. Tak ada tatung berkeliling kota. Naga pun enggan meliuk. Buka mata pun tidak. Ia tidur selama setahun.

Tikus tanah bencana bagi Tionghoa Pontianak. Tak bisa menikmati perayaan kelima belas Imlek 2559. Mereka harus hijrah. Menempuh ruang, waktu, perjalanan sejauh puluhan, bahkan ratusan kilometer.

Terbitnya SK 127/2008 jadi penyebabnya. Wali Kota Pontianak melarang arak-arakan naga, barongsai, dan tatung. Tionghoa Pontianak kecewa. Mereka protes. "Ini kebijakan yang diskriminasi," teriak Michael Yan Sriwidodo. Ia anggota DPRD Kalbar yang kebetulan beretnis Tionghoa.

Walau mereka protes, sang wali kota bergeming. Malah muncul dukungan dari Gerakan Melayu Bersatu. Kelompok ini siap mengawal kebijakan tersebut. Kawalan itu jitu. Terbukti pada hari kelimabelas Imlek. Naga tetap tidur. Tatung hanya jago kandang. Sungguh-sungguh kebijakan yang mumpuni.

Ada yang mengaitkan kebijakan itu dengan pilkada tahun ini. Orang beranggapan, Melayu takut kalah dari Tionghoa. Karena calon dari Melayu yang maju bakal lebih dari satu. Sementara Tionghoa (mungkin) hanya mengusung satu nama.

Orang-orang berkaca pada pilkada gubernur dan Singkawang. Gubernur: ada tiga calon dari kaum Melayu dengan wakilnya Dayak semua. Lalu muncul satu calon gubernur dari Dayak dengan wakilnya orang Tionghoa. Hasilnya pasangan ini berhasil menang dengan angka cukup signifikan.

Di Singkawang juga begitu. Dari lima paket calon, hanya satu dari kalangan Tionghoa. Selebihnya Melayu. Walau ada dua calon wakil walikota dari Tionghoa. Mayoritas orang Singkawang memilih calon yang walikotanya dari Tionghoa. Nah, orang-orang beranggapan kasuistik ini sebaiknya tidak terjadi di Pontianak.

Singkawang menangkap momen ini. Perayaan Cap Goh Meh akbar disiapkan. Sang Wali Kota, Hasan Karman mengemasnya dengan apik. Ratusan ribu orang berdatangan ke Kota Amoi itu. Hotel, restauran, homestay penuh. Singkawang hari itu jadi lautan manusia.

Kontras dengan Pontianak. Jalanan sepi. Tetabuhan dan liukan naga tak ada. Semua tiarap. Apalagi ada isu, sweeping bagi warga yang berani mempertontonkan liukan naga dan tatung di jalan raya. Cap Goh Meh kehilangan roh.

Memang SK itu tak sepenuhnya melarang. Beberapa klenteng tetap mempertontonkan atraksi tatung. Tak ada sweeping. Mereka hanya bermain di kandang. Ke luar kandang, mereka tak berani. Walau di kandang, warga yang menonton tetap berjubel. Tak hanya dari kalangan Tionghoa, orang di luar kaum itu juga ramai. Bahkan lebih ramai.

Imlek dan Cap Goh Meh sudah berlalu. Naga, tatung juga sudah beratraksi. Walau di kandang, tak mengurangi maknanya. Roh Cap Goh Meh tetap ada. Walau secuil. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code