Thursday, February 7, 2008

Imlek, Cap Goh Meh, dan Tatung


Imlek datang lagi. Kali ini almanaknya 2559. Shionya tikus. Orang Tionghoa bersuka menyambutnya. Harapan baru dan semangat baru. Selepas imlek ada Cap Goh Meh. Perayaan setelah 15 hari dari Imlek. Ada tatung yang kebal benda-benda tajam. Rangkaian ketiganya bersatu dalam menyambut pergantian tahun baru China.

Sebuah siang di Jalan Siaga. Tak ada yang istimewa, semua apa adanya. Tapi siapa menyangka kalau jalan di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Pontianak itu memiliki komunitas seni: tatung. Bagaimana mereka menikmati kehidupannya?

Jalan masuk ke perkampungan Siaga tak begitu mulus. Aspal yang ada sudah mulai mengelupas, bahkan berlobang. Walau begitu, penghuni yang mayoritas warga Tionghoa itu tetap menyukainya. "Inilah jalan utama kami," kata Ajung, seorang montir di kawasan itu.

Siang itu, aktivitas warga di Jalan Siaga cukup sibuk. Mereka akan merayakan Imlek 2558 dan Cap Goh Meh. Mereka berbenah untuk menyambut tahun baru miliknya. Ada yang membersihkan rumahnya, menghiasi depan rumah dengan warna-warna khas Tionghoa, bahkan ada yang merenovasi rumah.

Sama halnya dengan komunitas Islam yang merayakan lebaran. Kristen yang merayakan Natal dan Tahun Baru (masehi). Pun begitu warga Tionghoa. Mereka merayakan Imlek dan Cap Goh Meh dengan meriah. "Tahun yang penuh makna dan warna," kata Ajung.

Jalan Siaga tidak memiliki keistimewaan. Hanya ada belasan gang yang tersebar di mulut hingga ujung jalan. Tapi, kawasan pecinan pinggiran Kota Pontianak itu memiliki banyak tatung atau orang yang memiliki keahlian menyembuhkan penyakit dari kalangan etnis Tionghoa.

Thomas Budianto, semacam juru bicara dari tatung dengan "Dewa" Lie Pek Kong di Gang Siaga Mandiri, di kawasan tersebut setidaknya ada belasan tatung. Setiap tatung memiliki dewa masing-masing yang dianggap mempunyai kemampuan paling hebat dan manjur.

Untuk Lie Pek Kong, tatungnya bernama Amin (44 tahun), yang sehari-hari bekerja sebagai pemborong. "Kalau untuk mengobati orang sakit, baik karena penyakit atau sesuatu yang tidak tampak, saya hanya menerima malam hari karena siang hari harus bekerja," ujar Amin yang sejak tahun 1999 lalu mendapat "wahyu" menjadi tatung.

Terkadang Amin harus mengobati pasien hingga larut malam, bahkan dini hari. Ia mengaku sulit menolak jika ada permintaan karena tatung harus menolong orang lain. Akan tetapi, pada pemeriksaan awal tak harapan, maka Amin akan berterus terang.

Beberapa dari tatung ini tidak memiliki pekerjaan tetap. Sukiman S atau Chia Tien Sung (57 tahun), misalnya, mengaku tidak punya pekerjaan selain menjadi tatung. Tapi Chia tidak hanya mengobati orang sakit. Jasanya bisa untuk membersihkan gudang, perkantoran atau tempat usaha dari gangguan roh-roh jahat yang menghambat perkembangan usaha.

"Sudah beberapa gudang yang saya bersihkan dan telah menunjukkan hasil. Usaha si pemilik menunjukkan peningkatan untung dibanding sebelumnya," kata Sukiman. Dia telah berprofesi sebagai tatung sejak usia delapan tahun. "Roh-roh jahat juga menyebabkan karyawan mudah sakit dan kerap kerasukan sehingga mengganggu kinerja perusahaan," katanya.

Keahlian seorang tatung cukup beragam. Syamsudin atau Gui Bak Cen (59 tahun), misalnya, mengklaim bisa memulangkan suami atau istri yang kabur dari rumah gara-gara selingkuh atau sebab-sebab lainnya. Namun, ia tidak menolak untuk menyembuhkan orang sakit atau mencoba memperlancar jalan hidup seseorang agar lebih baik, sehat, dan sukses.

Tak ada yang menyangka kalau masa depan berprofesi sebagai tatung. Amin, Sukiman, dan Syamsudin mengalami peristiwa berbeda, sebelum berprofesi sebagai tatung. Sebab tidak sembarang orang bisa menerima 'roh' tatung tersebut. Tak mengherankan, jika Amin, Sukiman dan Syamsudin sangat menikmati keindahan seni tatung itu. Gong Xi Fa Chai.

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code