Friday, November 30, 2007

STADTHUYS

Bus pesiar yang membawa kami memasuki Jalan Laksamana. Sebuah jalan yang cukup sempit untuk ukuran negara maju. Di kiri kanan jalan deretan bangunan dengan arsitektur khas Eropa. Warnanya merah. Orang Melaka menyebutnya Rumah Merah atau Stadthuys. Di Malaysia, ada sebuah kota di bagian selatan Kualalumpur. Mereka menyebutnya Melaka. Sebuah kota yang penuh dengan catatan sejarah. Sejarah yang menjadikan Malaysia itu ada. Merekapun memberi tajuk pada kota itu: Melaka Bandaraya Bersejarah.

Melawat Malaka Berarti Melawat Malaysia. Begitu tagline yang tersebar di leaflet-leaflet tentang kota yang bisa ditempuh dengan perjalanan darat. "Kalau tak macet, kita punya masa untuk tiba ke Melaka, ada dua jam," kata Anwar, pemandu pesiaran yang ikut beserta kami.

Anwar bercerita banyak soal Melaka. Mulai sejarah terbentuknya, kisah heroik Hang Tuah dan Hang Jebat, hingga kota itu tidak memiliki sultan. "Ada sembilan kota yang punya Sultan. Melaka termasuk yang tidak," cerita Anwar.

Negeri Melaka atau juga dikenal sebagai Melaka Bandaraya Bersejarah merupakan salah satu negeri yang membentuk Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia). Walaupun merupakan negeri pertama mendirikan kesultanan Melayu, Melaka kini tidak mempunyai seorang sultan. Negeri ini diketuai oleh seorang Tuan Yang Terutama (TYT) Negeri.

Selama 50 tahun Malaka menjadi kota yang makmur karena menjadi pelabuhan transit internasional. Dulu terkenal dengan perdagangan sutra dan porselen dari China, tekstil dari Gujarat, rempah-rempah dan emas dari Sumatra dan Maluku, kayu kamper dari Kalimantan, kayu cendana dari Timor, serta timah dari Malaysia Timur.

Kemudian datang Belanda yang ingin menjajah dengan melawan Portugis tahun 1641. Bukti peninggalannya berupa rumah Gubernur yang sekarang menjadi Musium “Gedung Stadthuys”. Pada 1795 Malaka diserahkan kepada Inggris. Sejak tahun 1826 Malaka berada dibawah pemerintahan Inggris, sampai kemerdekaan Malaysia tahun 1957.

Kami tak bisa menahan kantuk. Separo perjalanan kami manfaatkan buat tidur. Memasuki gerbang Melaka, Anwar membangunkan kami. Ia pun kembali bercerita soal Melaka. Ia hafal betul. Padahal itu kejayaan masa lalu dari kota tua tersebut. Sebagai pemandu pesiaran, Anwar harus menguasainya.

Sejenak berlalu, kami tiba di pusat kota sejarah itu. Waktu seperti tidak berhenti. Lalu lalang kendaraan tidak terputus. Tertib. Tanpa bunyi klakson. Jalan searah, tanpa embel-embel macet.

Bus pesiar jalan melambat. Supir tahu kami harus melihat kiri kanan kota itu. Banyak yang bisa dilihat. Ada kediaman pemerintah setempat, ada juga tempat-tempat bersejarah lain. Bus kemudian membawa kami ke sebuah rumah makan: Restoran Peranakan.

Disebut begitu karena yang punya orang Tionghoa. "Ini restoran punya babah dan nyonya," kata Anwar, "tapi semuenye halal." Betul memang. Begitu masuk ke restoran itu, ciri khas Tionghoa jelas terlihat. Artefak peninggalan pendahulu restoran masih kokoh.

Kami duduk mengelilingi meja bulat yang telah dipesan. Ada tiga meja. Semuanya penuh. Lima belas menit kemudian makanan terhidang. Tak berbeda dengan di Indonesia, masakan yang disaji 'babah' dan 'nyonya' sangat akrab di lidah kami. Tak heran jika hidangan ala Melaka itu ludes.

Usai makan, kami masih mengaso. Sambil menikmati kretek, kami duduk di bangku kayu khas pecinan. "Ini memang kampung pecinan. Mereka berdagang dan jualan suvenir," Anwar memberi penjelasan tanpa kami tanya.

Kami memilih berjalan kaki untuk melihat-lihat wilayah pecinan Melaka. Bagi yang punya sedikit modal, bisa berbelanja suvenir. Harga bervariasi. Mulai satu ringgit hingga 25 ringgit. Tergantung bentuk dan modelnya. Yah, buat kenang-kenangan.

Kami terus berjalan hingga menemui jembatan Tan Kim Seng. Jembatan menghubungkan anak sungai yang membelah Melaka. Ramai pengunjung menjadikan jembatan ini sebagai latar untuk memotret. Apalagi Melaka sedang berbenah untuk membuat sungai ini menjadi lebih tertata dan bersih. “Ada rencana kawasan ini hendak disulap menjadi pendaratan kapal,” kata Anwar.

Selepas itu kami berjalan kaki ke Bangunan Stadthuys yang berwarna merah. Merah bukanlah warna sebenar Bangunan Stadthuys. Ia dicat dengan warna itu bagi menunjuk simbolik bangunan-bangunan yang didirikan di Melaka. Bandaraya bersejarah itu juga memiliki kisah heroik, lima pahlawannya: Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Kasturi, dan Hang Lekiu.

Kami tiba di kawasan rumah merah. Orang-orang berdatangan. Mereka datang dari berbagai negeri. Ada yang dari Malaysia Semenanjung, Singapura, juga Indonesia. “Orang-orang Singapura yang banyak ke sini. Mereka hanya butuh beberapa jam untuk tiba. Biasanya yang ramai itu, akhir pekan. Orang Indonesia juga ramai,” kata Mr. Tiu, salah seorang penjual di kawasan rumah merah.

Rumah merah tidak boleh dibongkar ataupun diubah bentuknya. Soalnya UNESCO telah menetapkannya sebagai cagar budaya. Di kawasan itu ada Medan Mara, Muzium Malaysia, Belia Youth. Stadthuys berada di pinggiran Sungai Melaka di Jalan Laksamana.


Di kawasan itu, terdapat gereja tua yang dibangun 1753. Gereja dibangun ‘Christ Chruch Melaka’. Juga ada balai senilukis Melaka. Di arealnya ada sejumlah Becak Melaka yang disewakan. Pengunjung harus merogoh uang sebanyak RM10 untuk menyewanya. Becak itu bisa ditumpangi dua orang. Rutenya hanya disepanjang komplek rumah merah dengan lama setengah jam.

Pengunjung juga bisa menikmati Melaka History Musium. Di dalamnya, ada kilang roti buatan Portugis, peralatan perang, buku-buku yang dipakai orang-orang India, juga ada miniatur rumah melayu.

Di Halaman Christ Chruch Melaka ada satu air mancur yang dibangun pada zaman Victoriaz Regina pada 1837-1901. Air mancur ini mengalir tanpa henti. Beberapa pengunjung membasuh wajahnya. Ada juga yang mengabadikannya dengan kamera handphone, maupun digital.

Selain menikmati bukti sejarah masa lalu Melaka, bagi yang hobi belanja bisa melakukannya. Pedagang-pedagang banyak yang menawarkan souvenir khas Melaka. Harganya sangat terjangkau. Baju-baju untuk oleh-oleh kerabat juga bisa diperoleh di Melaka.

Tak hanya itu, kawasan rumah merah juga menyediakan pembuat jasa surat-surat berharga. Mr. Muhammad, misalnya, yang telah melakoni aktivitasnya sejak 20 tahun silam. Ia berbekal mesin tik dan surat-surat yang masih kosong. “Pelancong agak kurang membuat surat. Banyaknya warga setempat. Banyak macam surat yang dibuat,” katanya.

Walau tergolong maju, Melaka juga menyediakan kisah pedih. Di kawasan rumah merah, kita bisa jumpai peminta-minta. Pemandangan yang awam di Indonesia ini, juga bisa kita dapati di negeri semaju Melaka. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code