Monday, October 1, 2007

Bryan, Sang Juara

Bryan Jevoncia akan berangkat ke New York, Amerika Serikat. Bukan untuk berlibur, tapi memenuhi undangan Markas Besar Perserikatan Bangsa Bangsa. Ia menjadi pemenang lomba desain perangko PBB bertajuk ‘We Can End Poverty’. Bagaimana Bryan menjalani hari-harinya?

Suatu pagi di penghujung September 2007. Jarum jam baru menunjukkan pukul 06.30 WIB. Hilir mudik kendaraan di kawasan Jalan M Sohor terus bergerak. Para pegawai berangkat menuju tempat kerjanya. Pun begitu dengan anak-anak sekolah.

Rolling door berderit. Wajah mungil seorang bocah tersembul dari balik pintu. Sebuah sepeda motor menyusul di belakangnya. “Ma, berangkat,” kata Bryan setengah berteriak. Gesit ia menaiki sepeda motor yang dikemudikan Bong Yau Song, ayahnya.

Sepuluh menit sebelum bel sekolah berbunyi, Bryan sudah tiba. Siswa kelas dua SD Suster Pontianak itu berlari memasuki gerbang sekolah. “Setiap pagi, saya yang antar sekolah,” kata Bong seraya menstarter sepeda motornya untuk bergegas pergi.

“Bryan itu anaknya cukup patuh. Kalau di kelas, dia banyak diam. Kalau dilihat guru, ia suka menundukan kepalanya. Agak pemalu,” kata Sr Caroline, wali kelasnya. “Tapi, ia tergolong anak yang pandai bergaul.”

Sabtu itu, jam sekolah Bryan tergolong pendek. Anak-anak hanya belajar hingga pukul 08.30 WIB. Sisanya menunggu pulang pukul 10.00 WIB, mereka mengikuti bimbingan pengembangan diri. Pun begitu dengan Bryan. Ia berlari di antara anak-anak lainnya.

Dering bel sekolah menandakan pelajaran berakhir. Bryan bergegas meraih tasnya. Ia berlari ke luar halaman sekolah. Abang becak yang nangkring sejak pagi dilambainya. Ups... Bryan naik. Abang becak langsung menginjak pedal meninggalkan kawasan Jalan RA Kartini itu.

Sesekali Bryan menoleh ke belakang. Kadang ke kiri dan ke kanan. Wajah orientalnya selalu mengembangkan senyum. Rambut lurus tipisnya berkibar di terpa angin. Abang becak terus mengayuh menuju Elegan Gorden di Jalan Juanda, tempat ibunda Bryan bekerja.

Sekali lagi Bryan melompat. Pintu kaca didorongnya. Ia langsung berlari ke arah Rosina, ibunya yang duduk di meja kerja. “Simpan dulu tasnya,” kata sang mama halus. Bryan beranjak dan meninggalkan mamanya.

Ketika saya tiba, Elegan Gorden tidak ramai. Hanya ada Rosina, Hartini, nenek Bryan, dan dua pegawainya. Obrolan saya dengan Rosina beberapa kali terhenti karena dering telepon di meja kerjanya.

Tak ada yang istimewa dari penampilan Bryan. Ia sama dengan anak seusianya. Tapi siapa nyana kalau Bryan punya talenta luar biasa: melukis. Walau baru tujuh tahun, Bryan mampu mengharumkan Indonesia ke tingkat Internasional.

Dia menjadi salah satu pemenang International Children Art Competition usia 6-15 tahun. Lebih dari 12.000 karya yang masuk ke meja panitia dari 124 negara di dunia. PBB kemudian mengundangnya ke New York, Amerika saat International Day for the Eradication of Poverty pada 17 Oktober 2007. Karyanya akan dicetak menjadi Perangko PBB 2008.

Talenta melukis Bryan sudah terlihat sejak usianya dua tahun. “Sejak bisa memegang pensil, ia suka sekali menggambar. Dinding rumah penuh dengan coretan tangannya,” kata Rosina. “Setinggi jangkauannya, setinggi itulah coretan di dinding rumah.”

Dinding rumah mereka di Jalan Surya penuh dengan coretan Bryan. Saya sempat mengabadikan sisa coretannya karena rumah tersebut dibongkar dan dicat ulang. Tapi rumah itu sudah dijual. Hanya ada beberapa saja yang tersisa. Pemilik baru sepertinya ingin rumah tersebut bebas dari coretan Bryan. Namun sang ayah masih menyimpan coretan pertamanya di kamera telepon selulernya.

Talenta melukis Bryan menurun dari sang ibu. Rosina merupakan lulusan D3 Jurusan Design pada sebuah pergurun tinggi di Jakarta. Ia sangat terlatih dalam menggambar pola-pola baju. Maklum Rosina adalah penjahit. “Bryan suka mencoret-coret pada sisa kerja pola yang saya potong-potong,” kenang Rosina.

Kalau mau menggambar, Bryan ambil objeknya. Gambar pertamanya kuali. Kuali itu ia bawa ke ruang tamu. Kursi plastik di baliknya. Kemudian kuali ditaruh di atasnya. Mulailah ia menggambar. Rosina yang hendak memasak terang saja bingung karena kualinya tidak ada di gantungan. “Ti, mama mau pakai,” kisah Rosina. Titi adalah nama panggilan untuk Briyan. “Sejak itu, Briyan bilang kuali itu pakai,” tambah Rosina.

Bryan adalah bungsu dari empat bersaudara. Ada tiga lainnya: Ramond Renaldo sekarang di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara (Untar), Vita Velisa di Universitas Sanata Dharma, dan Elen Clarista SMP Santo Petrus.

Bryan terlahir dari keluarga Tionghoa pada 6 Desember 2000. Namun Bryan tak fasih berbahasa Tionghoa. Ia sering protes kalau diajari bahasa itu. Rosina sendiri sangat fasih berbahasa Tionghoa.

Melihat Bryan punya talenta melukis, Rosina membawanya bergabung ke Khatulistiwa Children Fun Art (KHACHIFA). Beberapa kali Bryan menjadi juara di Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) tingkat kota maupun Provinsi. Bryan juga pernah mengirim karyanya ke Jepang, Thailand dan India.

“Kalau soal makan, Bryan agak sulit, setelah dibujuk dan bilang kalau ikan membuat orang Jepang pintar-pintar, barulah dia mau makan,” cerita Rosina mengenai kebiasaan anaknya.

Bryan paling tidak suka mati lampu. “Tidak bisa tidur. Juga tidak bisa main komputer,” Bryan memberi alasan. “Ia juga paling sulit kalau disuruh tidur siang,” kata Rosina. Bryan mesem-mesem.

Sebuah pagi di awal Agustus 2007, telepon Rosina berdering. Ia menggeliat melihat jam di dinding. “Baru pukul empat. Siapa yang telepon sepagi ini,” bisiknya dalam hati. Begitu diangkat, suara dari seberang mengatakan kalau dirinya staf Kedutaan Besar RI di New York. Di New York masih sore karena beda dengan Indonesia selama 12 jam.

“Mereka bilang Bryan menang,” girangnya. “Nanti Departemen Luar Negeri Indonesia di Jakarta yang akan menghubungi kemudian,” ulang Rosina seperti suara telepon di seberang. “Mereka sempat tanyakan, apakah Bryan itu orang Indonesia atau orang asing yang tinggal di Indonesia. Soalnya nama Bryan berbau latin,” sambungnya. Setengah enam pagi, ia membangunkan Bryan. “Ti, kamu menang. Kita akan ke New York,” ia berusaha mengingat. Bryan sangat girang. Ia langsung loncat-loncat di tempat tidur.

Namun hingga kini belum ada kepastian dari Departemen Luar Negeri. Sementara PBB tidak menanggung semua biaya perjalanan sehingga disarankan untuk mencari sponsor. Pihak Deplu pun sepertinya tidak memiliki dana untuk memberangkatkan Bryan.

Bryan termasuk anak yang aktif. Kadang bisa juga diam seharian. Mainannya game di komputer atau di HP sang ayah. Paling suka nonton Spongebob. “Aneh aja, kok badannya kotak gitu,” katanya. “Paling susah tidur siang. Apalagi kalau mati lampu,” celetuk Rosina.

Waktu belajar Bryan di rumah hanya satu jam. Itupun karena les private. Selebihnya main. Kendati begitu, ia bisa menduduki ranking sembilan di kelasnya. Soal cita-cita, Bryan ingin jadi dokter. “Ikut ce-ce,” katanya. Ce-ce adalah sebutan kakak bagi orang tionghoa.

Dalam lukisannya, Bryan mengangkat kisah ibunya yang pernah menjadi penjahit baju untuk dituangkan dalam selembar kertas. Ia menggambarkan, seorang ibu yang sedang menjahit dibantu sejumlah anaknya baik laki-laki maupun perempuan.

Sisa kain hasil jahitan yang tidak digunakan dibuat beragam kerajinan menarik seperti bunga maupun boneka. Menurut Rosina, gambar tersebut memperlihatkan anak-anak sepulang sekolah bisa membantu orang tua untuk mendapat biaya tambahan.

Lukisan itu membawanya ke New York. Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat yang akan menanggung seluruh biaya perjalannnya. Beberapa kalangan juga bersimpati dengan keberhasilan Bryan. Ia memang sedang beruntung.

Bryan menjadi mutiara di tengah kemiskinan Kalimantan Barat. Hingga 2007, Kalimantan Barat memiliki penduduk termiskin terbesar di Pulau Kalimantan dengan jumlah 584,3 ribu jiwa dari 4,12 juta orang pada 2007. Kondisi ini menempatkan Kalbar pada kelompok 14 propinsi yang memiliki penduduk miskin terbesar di Indonesia.

Data BPS Kalbar menunjukkan, trend kemiskinan periode 2001-2007 di Pulau Kalimantan menempatkan Kalbar memiliki penduduk miskin terbesar. Di Kalbar, garis kemiskinan sebesar Rp142.525 perkapita perbulan dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 584,3 ribu jiwa dan tingkat kemiskinan mencapai 12,91 persen.

Keberhasilan Bryan adalah keberhasilan kita semua. Dari kemiskinan Kalbar muncul mutiara kecil yang bisa mengharumkan nama Indonesia. Dan, Bryan akan ke New York. Bukan untuk berlibur, tapi menerima penghargaan. Proficiat, Bryan. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code