Thursday, July 19, 2007

RIWAYAT TENUN IKAT HINGGA KE EROPA

Era 1980, tenun ikat milik Suku Dayak dinilai kain terindah di dunia. Keberadaannya kian langka. Kain-kain terbaik dan tua sudah dijual ke luar daerah. Para penenun juga semakin tua dan jumlahnya semakin sedikit. Mereka tidak menurunkan keahlian itu kepada ahli warisnya, sehingga terancam punah. Namun begitu, riwayat tenun ikat ini berhasil menembus pasaran eropa.

Akhir Juni 2006, Paulina mengikuti Indonesia Product Expo di Pontianak Convention Centre. Wanita 32 tahun itu sedang menenun ketika saya menemuinya. "Ini pesanan dari Wakil Bupati Landak (Adrianus, red)," kata Paulina ketika saya coba tanyakan menenun untuk siapa.

Warga Dusun Umin, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang itu membutuhkan waktu sekitar empat hari untuk menyelesaikan tenunannya. "Itu kalau fokus. Tapi biasanya hanya sampingan, sehingga lamanya menenun hingga tiga bulan untuk satu meter kain," tambahnya.

Kabupaten Sintang merupakan satu dari 13 kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat. Terletak kurang lebih 395 Kilometer dari Ibukota Propinsi, Pontianak, dan berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia.

Sintang bisa dijangkau dari Pontianak melalui jalan darat dengan waktu tempuh sekitar sembilan jam. Kabupaten seluas 22.113 kilometer persegi atau 15 persen dari luas total Propinsi Kalimantan Barat ini dihuni oleh 490.359 penduduk di mana 49 persen di antaranya adalah perempuan, dengan tingkat kepadatan penduduknya mencapai 22 jiwa per kilometer persegi.

Mayoritas masyarakat Sintang berasal dari etnis Dayak. Mereka tersebar di sepuluh kecamatan dan tinggal di kampung-kampung yang masih terbatas aksesnya terhadap transportasi, pendidikan, kesehatan maupun pasar.

Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani dengan mengelola lahan untuk ladang, kebun karet, dan kebun buah-buahan. Dari berladang, penduduk memperoleh beras sebagai makanan pokok. Akan tetapi hasil berladang cenderung menurun karena lahan yang dapat dikelola menjadi ladang semakin sedikit dan semakin jauh lokasinya.

Hasil panen dalam setahun rata-rata hanya bisa memenuhi kebutuhan untuk tiga sampai lima bulan saja. Hanya beberapa kepala keluarga saja yang hasil panennya cukup untuk kebutuhan satu tahun. Paulina adalah salah satu penenun yang tersisa.

Ia menjaga warisan ibunya secara otodidak. Mulai belajar menenun sejak usia 15 tahun. "Ini menjadi pilihan karena tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Saya cuma tamat SMP saja," kata Paulina.

Wanita yang bercita-cita ingin menjadi biarawati ini malah menikmati pekerjaan barunya. Dengan tenun ikat, Paulina bisa menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan bisa berkeliling Indonesia. "Saya belum pernah ke luar negeri. Ingin sekali rasanya," Paulina seperti ingin mewujudkan impiannya.

Catatan majalah Handicraf Indonesia, Waktu pengerjaan tenun ikat bervariasi tergantung panjangnya. Terkadang hingga tiga bulan. Lama waktu pengerjaan karena rangkaian prosesnya yang panjang: penyiapan bahan baku, merentang benang, membuat motif, mewarnai benang dengan pewarna alam atau pewarna sintetis, menenun, kemudian menjualnya.

Bahan baku utamanya benang katun dengan pilihan warna dominan merah dan hitam. Ciri khas bahan dan warna ini sama dengan tenun Iban, hanya pemintalan benangnya yang berbeda.

"Kalau tenun Iban benangnya bisa lapis tiga, sedangkan tenun ikat Sintang hanya lapis satu atau dua saja sehingga kainnya lebih lembut," terang Imanul Huda, PT People, Resources, and Conservation Foundation (PRCF) dalam sebuah tulisannya.

Pembentukan motif dilakukan ketika benang mulai dibentang pada alat tenun, kemudian mulai dibuat pola motif dengan cara digambar. Pewarnaan benang tenun bisa memakai pewarna alami dan sintetis.

Untuk pewarnaan alami merah, biasanya menggunakan buah mengkudu atau lontar, sedangkan hitam dari tarum. Proses pewarnaan dilakukan dengan cara merebus bahan-bahan pewarna dalam air dan ketika mendidih baru benang-benang itu dicelupkan. Setelah proses ini, benang dikeringkan dan baru bisa ditenun menjadi kain.

Menurut Gillow dalam bukunya yang diterbitkan pada 1999, tenun ikat merupakan budaya yang dikembangkan oleh komunitas etnis Dayak di Kalimantan Barat. Tenun ikat adalah sebuah teknik menenun dengan pola kain dibuat dengan mengikat benang dengan benang penahan celup.

Benang yang telah diikat ini dicelup berkali kali untuk memperoleh pola yang diinginkan. Benang yang telah berpola ini lalu ditenun. Teknik ikat disebut-sebut sebagai teknik celup tertua di dunia.

Akhir 1980-an kain tenun ikat sulit dijumpai. Banyak kain tua yang dijual kepada pembeli dari luar seiring dengan populernya kain ini di Eropa dan Amerika. Penenun juga sudah semakin langka di tanah asalnya. Kain-kain tua hanya bisa dijumpai pada keluarga-keluarga yang masih menghargai kain sebagai warisan nenek moyang yang harus disimpan.

Seorang biarawan, Pastor Jacques Maessen mulai membangun kegiatan yang melibatkan beberapa keluarga. Terutama mereka yang tertarik untuk menghidupkan kembali kegiatan menenun. Cukup sulit untuk mengubah pola hidupnya.

Barulah tahun 1999, sejumlah lembaga swadaya masyarakat, membangun kolaborasi dengan dukungan Ford Foundation memulai menghidupkan kembali tradisi menenun. Cukup lama juga untuk benar-benar menghasilkan tenun sehingga eksis sampai sekarang. Upaya para relawan ini membuahkan hasil.

Saat ini, orang Sintang bangga mengoleksi dan memakai tenun ikat. Hasil tenunannya juga mudah diperoleh. Apalagi ada sejumlah komunitas penenun yang bergairah menghasilkan karya-karya berkualitas.

"Ada orang barat yang pesan. Mereka dari Eropa, Amerika, Belanda" kata Paulina yang tergabung dalam Koperasi Kerajinan Tenun Ikat 'Jasa Menenun Mandiri' di tanah kelahirannya.

Awalnya hanya ada 40 penenun. Mereka tersebar di lima desa: Ensaid Panjang, Baning Panjang, Ransi Panjang, Umin dan Menaung. Rata mereka dari usia muda karena yang tua sudah tidak ada lagi.

"Saya juga mengajar anak untuk menenun. Sambil dia sekolah. Setiap pulang sekolah dia membantu," kata Paulina yang bermatapencaharian seorang petani.

Paulina hanya satu dari begitu banyak penenun muda. Walau belajar secara otodidak, Paulina sadar menenun bisa membuatnya berkeliling Indonesia. Dan, Paulina tetap eksis.

Di tangan Paulina, riwayat tenun ikat hingga ke Eropa.

4 komentar:

Anonymous said...

Wah liputan dan tulisannya asik sekali. Saya sangat respek dengan bung Budi Miank, sebab terus terang beliaulah yang pertama sekali 'memprovikasi' saya untuk membuat weblog. Ada undangan untuk membuat semacam perkumpulan blog di Pontianak. Kami berharap bung budi bisa ikut & mengajak beberapa teman yang dikenal.

Regards,
Stefanus Akim

Budi Miank said...

thanks guy, coba inisiasi. aku siap gabung. apa sih yang ndak buat pak akim. kontak kalau udah mau pertemuan. kita sokonglah. satukan langkah lakukan perubahan...hehehehehe

stefanus akim, said...

coi, besok, sabtu jam 13.00 di borneo tribune ya. pertemuan blogger pontianak. tolong kabari juga teman-teman yang berminat.


adil kak talino, bacuramin kak saruga, basengat kak jubata.

satukan langkah lakukan perubahan...i am yes.

Budi Miank said...

sori coy, aku na' bisa ikut. ada liputan ka' luar. ahe hasil diskusi koa. babatah lah ga' diri.

hehehe....

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code