Sunday, July 29, 2007

Korban Tragedi Mandor Berdarah

Jepang telah membantai kaum cerdik pandai. Ribuan keluarga menangis karena kehilangan orang yang dicintainya. Rakyat bumi Khatulistiwa mengutuk tragedi berdarah yang menghilangkan satu generasi intelektual daerah.

Sebuah pagi di kawasan Pasar Tengah, Pontianak. Jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi. Lim Kian Chon asyik bermain sepakbola bersama sebayanya di halaman rumah tingkat dua. Usianya baru sembilan tahun.

Di ruang tamu, Lim Bak Hwat mengendong Lim Kiam Ciu yang usianya baru sembilan hari. Masih merah. Lim Kiam Ciu adalah adik bungsu Kiam Chon. Keduanya menjadi saksi sejarah penangkapan ayahnya oleh serdadu Jepang pada 18 Agustus 1944.

Kian Chon yang asyik bermain sepakbola kaget melihat belasan serdadu Jepang datang. Ia pun tak sempat untuk memberi salam hormat. Salam yang harus diberikan ketika para penjajah itu lewat.

"Bukannya memberi salam hormat. Kian Chon malah masuk ke rumah. Jepang ikut masuk. Begitu bertemu bapak, Jepang marah-marah, bahkan langsung menangkapnya. Karena bapak masuk daftar yang harus dihabisi," kata Lim Kiam Ciu yang sekarang telah berusia 63 tahun.

Di ruang tamu ada sebuah bantal. Seorang serdadu mengambilnya dan membuka sarungnya. Kemudian sarung itu disungkupkan ke kepala Bak Hwat. Lantas mereka membawa Bak Hwat. Ia sudah hilang. "Kami hanya menerima kabar kematiannya. Kami yakin bapak dihabisi dan dibawa ke Mandor," kata Kiam Ciu yang kemudian mengganti namanya menjadi Alexander Marsudi Halim.

Hari itu, Bak Hwat baru pulang dari Desa Parit Baru. Di tempat itu, Bak Hwat bersembunyi karena sudah tahu bakal dihabisi Jepang. Rupanya Bak Hwat rindu bertemu anak-anaknya. Satu bulan bersembunyi, ia memilih pulang. Tak dinyana pertemuan itu menjadi akhir segala-galanya.

Lim Bak Hwat adalah seorang Kepala Cen Chiang Cung Suei (sebuah sekolah setingkat SMP) yang lokasinya sekarang menjadi Pasar Cempaka, Kapuas Indah. Sebagai cerdik pandai Tionghoa, Bak Hwat dianggap berbahaya oleh Jepang. Ia pun menjadi bagian dari pembantaian tersebut.

Lim Bak Hwat tidak sendiri. Bersamanya ada sejumlah pejabat Tionghoa yang dibunuh. Di antaranya, Lim Bak Khim. Ia seorang lurah di kawasan Pasar Seroja, Pontianak. Bak Khim juga jadi incaran Jepang karena posisinya yang strategis.

"Bak Khim diminta pergi ke Semarang oleh sepupunya. Karena tahu kalau Bak Khim hendak ditangkap. Saat berkemas siang hari untuk pergi malamnya, Jepang datang dan menangkapnya," kata Lim Mui Jun, menantu Bak Khim.

Bak Khim mempunyai sepupu yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit. Lim Bak Choi, nama dokter itu. Ia yang membocorkan rahasia Jepang itu kepada Bak Khim. "Ia mengirim surat yang isinya meminta Bak Khim pergi. Ia juga minta agar isi surat itu dirahasiakan demi keselamatannya. Amanah itu dijaga Bak Khim. Supaya Jepang tidak tahu, surat itu ditelannya," kata Lim Mui Jun.

Begitu tahu keluarganya dibunuh, Bak Choi menolak bekerja di rumah sakit. Jepang curiga dengan keputusan itu. Merasa dicurigai, Bak Choi memilih lari. Belum sempat melarikan diri, Jepang menangkapnya.

Ia pun turut jadi korban pembantaian massal tersebut. Kini, Lim Kiam Ciu sudah dewasa. Rambutnya sudah memutih. Walau masih merah, Kiam Ciu merasakan kegetiran tragedi itu. Tapi Kiam Ciu tidak sendiri. Ribuan keluarga lainnya juga mengalami kegetiran itu. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code