Monday, July 30, 2007

Kisah Kampung Angan Tembawang

Di Kabupaten Landak, Kecamatan Ngabang ada tempat bernama Desa Angan Tembawang. Di dalamnya terdapat miniatur kehidupan subsuku Dayak Angan. Masyarakatnya masih terus mewariskan adat istiadat untuk keselamatan dan kemakmuran penghuni kampung.

Kendaraan roda empat yang kami tumpangi berusaha mendaki jalan tak beraspal menuju Desa Angan Tembawang. Sesekali rodanya amblas karena kondisi jalan yang rusak berat. Empat penumpang yang merupakan wartawan sudah kelelahan.

Mereka telah menempuh perjalanan sepanjang 200 kilometer dari Pontianak, yang memakan waktu sekitar delapan jam. Namun semangat untuk mengenal Subsuku Dayak Angan lebih dekat mengalahkan rasa lelah tersebut.

Sekitar pukul 16.00 WIB, rombongan tiba di Desa Angan Tembawang. Kami disambut tuan rumah yang juga Sekretaris Desa Donatus Dasol. Setelah berkenalan dengan tuan rumah, kami meluncur ke rumah Tumenggung Benua Angan Lorensius Lamat sekitar 200 meter dari tempat kami menginap.

Kami diterima dengan baik oleh Tumenggung. Setelah memberitahu maksud kedatangan, Tumenggung lantas bercerita mengenai kehidupan masyarakat Dayak Angan.

Benua Angan terdiri atas tujuh kampung, yakni Rumah Angan, Angan Bangka, Angan Tutu, Angan Landak, Angan Limau, Angan Pelanjau, dan Angan Rampan.

Desa Angan Tembawang terletak di Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak. Cukup sulit menjangkau desa ini karena sarana transportasi jalan belum ada. Bahkan beberapa jembatan penghubung juga sudah rusak parah. Jarak tempuh dari Kota Ngabang sekitar 30 kilometer, yang bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua dan jalan kaki.

Lamat menceritakan Dayak Angan telah empat kali berpindah sebelum menetap di aliran Sungai Angan. Sebelumnya Orang Angan mendiami tempat bernama Mawangk (Tembawang, red) Karangking. Namun di tempat itu, Orang Angan tidak bertahan lama. Mereka kemudian pindah ke Mpata.

Di tempat ini, Orang Angan melakukan aktivitas berladang dan bersawah untuk mempertahankan hidup. Orang Angan memilih hidup di Mpata cukup lama. Namun, Mpata merupakan dataran rendah, maka banjir sering datang. Melihat kondisi itu, Orang Angan kemudian pindak ke Ma' Mbansa.

Mereka memilih tempat itu karena dekat dengan aliran Sungai Rentawan. Sungai ini mengalir hingga ke Sungai Landak. "Di Ma' Mbansa, Orang Angan sering diserang oleh babi siluman," kata Lamat.

Rupanya serangan babi siluman itu membuat penghuni kampung resah. Mereka akhirnya tidak tahan terhadap serangan itu, karena ada beberapa warga kampung yang meninggal. Mereka kemudian memilih berpindah lagi.

Tempat yang dipilih adalah aliran Sungai Angan, yang sekarang menjadi perkampungan Orang Angan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Be Aye. Hingga kini, mereka masih terus melestarikan budaya nenek moyang.

Salah satunya adalah ritual adat 'notongk' yang dilakukan setiap tahun. Ritual ini untuk menghormati Abak (tengkorak manusia, red) yang dipusakakan. Bagi Orang Angan, upacara 'notongk' harus dilakukan untuk meminta perlindungan dan keselamatan terhadap seisi kampung (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code