Saturday, June 2, 2007

NEK OMBON MELIHAT PENDIDIKAN

SEORANG ibu di Desa Angan Tembawang, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak mengagumkan saya. Ibu itu tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Dia bahkan tidak bisa baca tulis. Dia cuma pandai menghitung uang belanja dan menghitung dengan tepat harga karet yang kiloannya bervariasi.

Lalu apa yang membuat saya kagum? Pola pikirnya yang sangat sederhana. "Saya memang seorang perempuan yang tidak bisa baca tulis. Tetapi saya tidak ingin anak-anak yang saya lahirkan sama seperti saya. Mereka harus sekolah. Mereka harus bisa baca tulis. Pendek kata, mereka harus lebih pintar dari saya," begitu perempuan yang sudah berusia 74 tahun itu kepada saya ketika bertemu beberapa bulan lalu.

Bagi para orangtua yang tinggal di perkotaan dan memiliki tingkat pendidikan cukup tinggi, pola pikir sederhana itu bukanlah sesuatu yang bombastis. Bagi orang kota, sekolah itu wajib hukumnya. Apalagi UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengisyaratkan agar anak-anak di bawah usia 18 tahun harus sekolah. Belum lagi, tuntutan era globalisasi, era pasar bebas yang meminta masyarakat harus berpendidikan. Jadi tidak ada alasan yang membuat anak-anaknya berhenti dari sekolah. Hanya kecelakaan besarlah yang membuat anak-anak di perkotaan tidak bisa melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi.

Tentu saja, kondisinya jauh berbeda dengan para orangtua yang tinggal di daerah pedalaman, (mungkin) juga daerah pesisir. Pola pikir sederhana perempuan itu menjadi pelajaran bahwa kaum tani yang miskin juga bisa mengenyam pendidikan. Anak-anaknya tidak boleh lebih bodoh dari eranya. Satu pola pikir yang maju. Orangtua memang memiliki kewajiban agar anak-anaknya lebih maju dari dirinya.

Pelajaran lain yang dipetik dari ibu tadi adalah pengorbanannya untuk mencari biaya sekolah anak-anaknya. Tak heran, kalau dia sendiri tidak memikirkan untuk mengganti pakaiannya. Bahkan anak-anaknya yang sekolah juga diingatkan agar tidak neko-neko dengan pakaiannya. "Biar baju kamu sederhana, tetapi kamu pemikiran kamu lebih maju dari orang lain," begitu dia memberi pesan kepada anak-anaknya.

Indek Pembangunan Manusia (Human Development Index-HDI) Kalimantan Barat berada pada posisi ke-23 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Skornya hanya sekitar 60,6. Sementara Indek Pembangunan Gender (Gender Development Index- GDI) berada pada posisi 15 dengan skor 58,6. Tentu saja angka ini menunjukkan kualitas sumber daya perempuan di daerah ini masih jauh dari harapan.

Untuk persentase penduduk yang berkelamin perempuan di Kalbar juga masih tinggi. Tahun 2001 saja, persentasenya mencapai 7,8 persen. Sementara kaum laki-laki hanya 3,2 persen. Tingkat pendidikan perempuan jauh ketinggalan dari para pria. Data Badan Pusat Statistik Kalbar mencatat perempuan yang tamat Sekolah Dasar (SD) hanya mencapai 55,92 persen, padahal jumlah penduduk perempuan mencapai 1.919.758 jiwa.

Data dari Badan Pemuda, Olahraga dan Pemberdayaan Perempuan (Bapora&PP) menyebutkan persentase perempuan tamatan SLTP juga masih rendah. Hanya sekitar 30,6 persen. Begitu juga tamatan SLTA, hanya sekitar 16,18 persen. Bahkan perempuan yang tamatan Perguruan Tinggi (PT) jumlahnya hanya sekitar 2 persen saja. Sementara lawan jenisnya sekitar 4,56 persen.

Angka-angka yang tertera di atas sangat mengkhawatirkan. Kualitas SDM perempuan mesti terus ditingkatkan. Adalah tugas kita bersama untuk melakukan hal itu. Tidak perlu melempar tanggungjawab orang lain. Yang harus dipentingkan, bagaimana membangun kerja sama mengentaskan keterbelakangan itu.

Kalbar boleh berbangga dengan 'reward' yang diberikan pusat terhadap komitmen memberantas buta huruf dan mewujudkan kesetaraan gender dan perlindungan anak. Itu saja tidak cukup. Kalau hanya di atas kertas, itu tidak akan memberikan manfaat apa-apa. Action nyata di masyarakat mesti ada. Apalagi, lembaga pemerintah mengestimasi jumlah angka buta huruf masih sekitar 170 ribu orang. Perempuan masih menempati posisi tertinggi dalam estimasi itu.

Upaya mengeliminir angka ketertinggalan perempuan di bidang pendidikan harus mulai dari diri perempuan. Harus ada kesadaran yang tinggi, terutama dari keluarga. Perempuan mesti sadar bahwa haknya memperoleh pendidikan sama dengan laki-laki. Semangat Kartini mesti tertanam dalam jiwa perempuan. Berjuanglah untuk memperoleh kebebasan dan kesetaraan.

Program pendidikan gratis memberi peluang untuk maju. Bahkan untuk mengentaskan buta huruf ada program kejar paket A dan Paket B. Wakil Gubernur Kalbar LH Kadir di media massa melontarkan gagasan untuk menyediakan guru keliling. Kata dia, guru itu untuk membantu pemerintah 'memburu' masyarakat yang buta huruf. Itu masih sebatas wacana. Yang diperlukan adalah kerja nyata.

Kesederhanaan dan pengorbanan seorang ibu di Desa Angan Tembawang mestinya memberi semangat kepada orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Tentunya dengan kerja keras. Ibu itu telah memberikan pelajaran berharga. Walaupun tidak berpendidikan, dia tidak ingin anak-anaknya juga tidak berpendidikan. Sekolah tidak harus untuk menjadi para pemimpin republik ini, melainkan mengubah pola pikir. Setidaknya, menjadi pemimpin diri sendiri. Semoga!**

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code