Thursday, May 31, 2007

RASA KEINDO(NESIA)AN

Ketika berkunjung ke Entikong, Desember 2005. Saya bertemu perempuan yang bekerja sebagai pemikul gula.Dia memanfaatkan pas lintas batas. Setiap pagi, dia harus bolak-balik Entikong-Tebedu. Kami ngobrol tentang segala hal, mulai dari perkembangan perbatasan hingga rasa keindonesiaa. Obrolan kami berujung pada rasa nasionalisme. "Saya lebih senang jadi orang Indonesia." Begitu dia menjawab ketika tanya saya lontarkan kepadanya.

Sebuah rasa keindonesiaan dari seorang masyarakat di perbatasan. Ujung republik ini. Rasa kebangsaan itu masih ada. Rasa itu lebih terlihat lagi, ketika terjadi konflik Ambalat. Konflik Gosong Niger. Polemik pergeseran patok batas di beberapa bagian wilayah perbatasan. Masyarakat memberikan dukungan untuk menghadapi negara tetangga itu. Mereka telah memiliki rasa sendiri. Rasa yang terancam kultur keindoan.

Mereka bisa sebagai orang Indonesia, tapi bisa juga sebagai orang indo. Apalagi negeri di ujung republik itu bersentuhan langsung dengan negara tetangga orang Indonesia. Orang-orang yang memiliki kultur yang sama. Tapi mereka memiliki fasilitas dan disiplin yang lebih. Penegakan hukum yang ekstra ketat.

Kultur yang jarang diperoleh di negeri orang Indonesia. Kultur boleh sama, tapi tidak soal kesejahteraan. Jelas berbeda. Orang tetangga Indonesia (boleh dibilang) lebih mapan. Inilah yang dikhawatirkan. Rasa keindonesiaan bisa menjadi terkikis. Berubah menjadi rasa keindoan. Sebab, rasa ke-tetangga orang indonesia-an lebih menjanjikan. Terlebih kalau dikaitkan dengan persoalan ekonomi.

Rasa ketidakadilan dan hidup tidak sejahtera rentan keretakan. Kenyataan setidaknya berbicara, setelah kemerdekaan kesejahteraan dan keadilan belum sepenuhnya merata dirasakan. Lebih dari setengah abad merdeka, tak ada perubahan negeri di ujung republik. Kemerdekaan ekonomi, sosial politik juga tidak ada. Hanya menjadi negeri tujuan kunjungan para pejabat negara.

Kemerdekaan untuk menghilangkan kolonialisme dan feodalisme, sekaligus ruang kehidupan sejahtera. Cita-cita kemerdekaan, yakni perlindungan, kesejahteraan, dan keadilan sosial itu tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Untuk itu pula dibentuk pemerintahan Indonesia. Itulah kontrak sosial kita.

Kesenangan warga di perbatasan berbanding terbalik dengan kesenangan orang metropolitan. Seorang metropolis lebih senang produk keindoan. Serba Indo. Campuran. Gado-gado. Gengsi. Makan bubur pedas bukan lagi zamannya. Minum teh tak lagi ngetrend. Orang-orang metropolis senang yang modern. Era globalisasi, katanya. Pasar bebas. Jadi, semua kegiatan harus berbau barat.

Rasa nasionalisme kita kian susut. Ibarat obor yang minyaknya habis. Makin lama makin kecil, kemudian tersesat dalam kegelapan dan ketidakpastian. Ketika hari kemerdekaan tiba, kita berhura-hura. Digelar aneka perlombaan. Prosesi-prosesi seremonial hanya sekedar formalitas saja. Tapi ruh kemerdekaan tidak lagi tercipta, bahkan hilang. Rasa nasionalisme terkikis karena kurang bangga sebagai orang Indonesia. Karena kita malu mengaku sebagai Indonesia. Malu karena kita tertinggal dari negara lain.

Banyak daerah yang belum tersentuh pembangunan. Daerah pedalaman hingga perbatasan. Banyak kasus karena tidak diperhatikan pemerintah, maka warga perbatasan berpindah kewarganegaraan. Kasus ini banyak terjadi di kawasan Tanjung Datuk, perbatasan Kalbar dan Sarawak, di mana banyak warga Kalbar yang menjadi warga Malaysia. Sebab, fasilitas yang didapat lebih baik daripada Indonesia. Warga perbatasan lebih suka menggunakan Ringgit ketimbang Rupiah. Mereka lebih suka berdagang di Malaysia karena lebih mudah.

Rasa keindonesiaan warga perbatasan perlu diperhatikan. Mereka hampir tak tersentuh pemerintah. Harus dibangun fasilitas-fasilitas yang memadai untuk mengalihkan pandangan mereka dari negara tetangga. Pemerintah harus menjadikan perbatasan sebagai "etalase", bukan kawasan "kebun belakang". Daerah perbatasan adalah kunci. Dia penarik bagi orang untuk masuk republik ini. Jakarta harus peduli. Jakarta sudah lama tenggelam dalam keacuhan sentralistiknya, dan daerah yang salah kaprah dalam menerapkan otonomi.

Keindonesiaan kita masih perlu dipertanyakan. Rasa nasionalisme terkikis karena faktor ekonomi, politik dan hal-hal lain yang sulit dinalar. Kebanggaan sebagai orang Indonesia telah hilang? Kita hanya memiliki 17 Agustus, tanpa memahaminya. Kita hanya mengenang pengorbanan pahlawan, tanpa menghargainya. Kita hanya ingat hal itu ketika mengheningkan cipta. Betulkan sikap itu? Keindonesiaan bisa dipupuk melalui kebersamaan serta kepedulian pemerintah terhadap setiap jengkal wilayahnya. Jangan sampai terjadi kecolongan lagi. Banyak tugas yang harus diselesaikan. Pemerintah harus menyelesaikan kekacauan multidimensional ini. Kita wajib menanamkan rasa keindonesiaan itu. Harus ada kesadaran dari kita sendiri. Meski kemerdekaan yang hakiki masih belum kita peroleh, itu harus kita lakukan.

Cerita pemikul gula di Entikong mengingatkan kita. Rasa nasionalisme itu bisa terjaga kalau kita mau. Kita harus belajar dengan pemikul gula yang tak bertitel. Yang status sosialnya tidak seperti orang-orang metropolis. Keterbelakangan orang-orang di perbatasan, tak membuat mereka menjual nasionalismenya. Ketidaksekolahan mereka justru membuat mereka mencintai Indonesia ini. Sulit memang, tapi harus mereka terima.

Mungkinkah rasa keindonesiaan kita masih ada? Semoga! (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code