Wednesday, May 2, 2007

AIR MATA TERAKHIR DI RUMAH BETANG

Awalnya 1904, ketika Belanda berkuasa. Kemudian era ’70-an, ketika Orde Baru berjaya. Dua masa yang memusnahkan dan menggusur rumah betang. Rumah milik suku Dayak di Kalimantan yang menjadi jantung kehidupan penghuninya selama ratusan tahun. Ini membuat seorang nenek termangu melihat tiang terakhir rumah betang ditumbangkan cucunya, 25 tahun silam.

Matahari masih bersembunyi di balik awan. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Nek Ombon, 78, termangu di halaman rumahnya. Setengah abad, ia menghuni rumah betang di kampungnya, Desa Angan Tembawang, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat.

Di Betang, Nek Ombon melahirkan dan membesarkan tujuh buah hatinya. Di Betang, Nek Ombon menikmati ritual notonkg yang digelar setiap tahunnya. Di Betang itu juga, Nek Ombon melihat anak-anaknya berlarian. Serambi betang yang membentang selalu ramai jika sore menjelang. Wanita sepuh ini juga masih ingat saat putra bungsunya menjadi generasi terakhir, sebelum tergusur 1994.

Stepanus Djuweng dan Wolas Krenak, 1992, mendefinsikan rumah betang. Rumah betang adalah rentetan rumah pribadi yang bersambung menjadi satu-kesatuan. Panjangnya bervariasi antara 9-15 meter. Rumah itu dibangun dengan konstruksi dari kayu belian yang kokoh. Tiang-tiang utamanya berukuran 20 X 40 cm. Tiap bilik atau lawang (pintu) membutuhkan kurang lebih 24 tiang utama seperti itu, yang ditunjang dengan puluhan tiang lainnya. Sebatang tiang utama membutuhkan 10-15 orang untuk mengangkutnya.

Separuh dari rumah betang adalah bagian terbuka. Bagian ini disebut radakng (serambi) yang digunakan untuk berbagai kegiatan keseharian para penghuninya, seperti ritual adat, menganyam kerajinan tangan. "Kami selalu berkumpul di radakng membicarakan banyak hal tentang kampung," kata Nek Ombon. Bagian yang tertutup disebut bilik atau lawang. Bilik atau lawang ini digunakan penghuninya sebagai rumah keluarga. Aktivitas keperluan keluarga seperti memasak, tidur dilakukan di bilik tersebut.

Bagi Nek Ombon, rumah betang menjadi pusat seluruh aktivitas hidup orang Dayak. Puluhan tahun mereka melakukan pewarisan kearifan budaya, cara-cara hidup kepada penerusnya di sekitar rumah betang. Di sini pula mereka membentuk dan mengembangkan seluruh tatanan sosial, budaya, ekonomi, politik, religi, dan pertahanan mereka.

Warisan kearifan budaya rumah betang terkikis ketika kolonial Belanda masuk ke tanah Dayak. Belanda menganggap rumah betang tidak higienis dan rentan terbakar. Tahun 1904 Belanda memerintahkan orang Dayak untuk meninggalkan rumah betang, terutama yang terletak dekat pusat kota. Tetapi, rumah betang di pedalaman selamat dari penggusuran.

Pemusnahan rumah betang dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia awal '70-an. Sejak itu, rumah betang semakin langka ditemukan. Pemerintah Indonesia menganggap pola hidup komunal dapat berkembang menjadi 'cikal-bakal' bagi lahirnya sikap yang komunistis.

Mereka yang menolak meninggalkan rumah betang diancam dengan kekerasan, bahkan dibunuh. Meski tidak ada data yang pasti mengenai berapa jumlah korban nyawa dalam peristiwa "demonstrasi anti-Cina 1967" itu, baik orang Dayak di Kabupaten Sambas, Bengkayang, Pontianak, dan Landak maupun orang Tionghoa sama-sama mengakui bahwa korban nyawa waktu itu banyak.

Saat konfrontasi terjadi, militer "memaksa" orang Dayak meninggalkan rumah betang dengan alasan tidak sehat. Orang Dayak tidak menyadari yang terjadi di balik penggusuran itu. Sejak itu banyak orang Dayak meninggalkan betang berpindah menempati rumah-rumah tunggal. Mereka yang hidup jauh di pedalaman masih berada di rumah betang.

Nilai-nilai kebersamaan orang Dayak di betang dipahami oleh pihak pemerintah dan militer sebagai ancaman. Dikatakan ancaman, karena rumah panjang yang merupakan pusat segala aktivitas para penghuninya dapat dengan mudah dipengaruhi oleh paham komunis.

Menurut antropolog Kalbar, Giring Melabo, di mata pemerintah dan militer, jangan sampai Dayak Indonesia dan Dayak Serawak dan Sabah, Malaysia bersatu. Bersatu tetapi menjadi bagian dari Malaysia atau bersatu membentuk negara merdeka sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, Kalimantan Barat-Indonesia bisa jadi jatuh ke pengaruh lain yang akhirnya memisahkan diri dari kekuasaan geo-politik Indonesia.

Giring Melabo menjelaskan ada tiga pengalaman politik RI sebelumnya yang mempengaruhi pemahaman pemerintah dan militer Indonesia terhadap orang Dayak sehingga rumah betang digusur.

Pengalaman pertama yang mendukung kekhawatiran besar pemerintah Indonesia waktu itu tidak lain adalah konfrontasi Indonesia-Malaysia sejak awal hingga pertengahan 1960. Ganyang Malaysia adalah perintah politik konfrontasi khas pemerintah Soekarno untuk menentang pemerintah Malaysia ketika itu.

Pengalaman kedua, adanya pengalaman etnopolitik orang Dayak Kalbar di mana orang Dayak pernah "bersatu" dalam partai politik Persatuan Dayak (PD) yang menang dalam Pemilu I masa Orla tahun 1955. Bukankah setelah PD menang pada pemilu 1955, maka pemerintah mulai memperhatikan secara serius perpolitikan orang Dayak karena selain hasilnya dapat mengantarkan tokoh Dayak menjadi orang nomor satu di Kalbar, juga mendudukkan beberapa tokoh Dayak menjadi kepala daerah di tingkat II.

Pengalaman ketiga, meletusnya peristiwa PGRS/PARAKU tahun 1967 yang tak dapat dilepaskan dari pertentangan antara pemerintah saat itu dengan pihak PKI/komunis.

"Inilah realitas sesungguhnya di balik penggusuran rumah panjang, "jantung kehidupan" orang Dayak Kalbar," kata Giring. Dengan demikian, katanya, pandangan bahwa orang Dayak tidak sehat dan seks bebas jika hidup di rumah betang tidak menjadi faktor dominan penggusuran. Alasan kesehatan dan porno(grafi) hanyalah alih-alih pemerintah dan militer.

Giring melihat yang terjadi justru penggusuran terhadap identitas kultural orang Dayak. Nilai-nilai kultural kebersamaan orang Dayak juga ikut tergusur. Nilai-nilai individualisme telah menggantikan kebersamaan orang Dayak tersebut.

Sangat sulit mengembalikan kebersamaan dan kesetiakawanan sesama orang Dayak untuk menciptakan perubahan dalam komunitas mereka. Meskipun gerakan-gerakan pemberdayaan telah dilakukan selama dua dekade telah membuahkan hasil yang optimal. Ini membuktikan bahwa mengembalikan kebersamaan orang Dayak yang telah hilang bukanlah pekerjaan yang mudah.

Kini, semangat membangun rumah betang kembali timbul. Tentu saja lebih representatif, tanpa meninggalkan simbol-simbol yang melekat padanya. Di Pontianak, misalnya, sudah ada panitia untuk membangun rumah betang. Mereka membutuhkan dana sekitar Rp39 miliar dengan luas areal mencapai lima hektar.

Nek Ombon juga merasakan degradasi nilai-nilai kebersamaan dan kesetiakawanan dalam komunitas Dayak. Ia menghela nafas melihat sekelompok anak-anak yang tidak bercanda di radakng. Ia juga tidak melihat kaumnya menganyam tikar rotan untuk pesta tahun ini.

Tiang betang terakhir yang tersungkur masih membekas di benak Nek Ombon. Matanya basah. Rumah adat milik sukunya itu telah berganti menjadi rumah pribadi. Namun jauh dari tempat tinggal Nek Ombon, masih ada orang Dayak yang menghuni rumah betang. Bahkan di Kapuas Hulu, oleh Pemda sebagai cagar budaya sebab berusia lebih dari 200 tahun.

Ternyata rumah betang masih ada. (**)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code