Tuesday, May 1, 2007

MASIH(KAH) INDONESIA

Sepekan lalu, saya menerima surat elektronik (surel) dari seorang teman. Dalam surelnya, dia mengatakan baru saja pulang dari perjalanan di wilayah pedalaman propinsi ini, termasuk wilayah yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia Timur.

Dalam surelnya, teman tadi mengeluhkan jalan yang berlubang dan berdebu. Tak ada fasilitas publik yang bisa dimanfaatkan, bahkan jaringan komunikasi saja sulit. Apalagi untuk internet, sinyal telepon genggam saja tidak ada. "Masihkah ini Indonesia?" begitu kalimat terakhir dari surelnya.

Usai membaca surelnya, saya jadi teringat ketika mengunjungi sebuah kecamatan di perbatasan. Ring satu perbatasan, begitu orang menyebutnya. Untuk menempuh kecamatan itu, memerlukan waktu yang cukup lama. Jalannya rusak di sana sini. Debu-debu berterbangan karena tergilas roda-roda kendaraan.

Bukan hanya jalan rusak dan debu berterbangan, serta sinyal handphone yang tidak ada, melainkan banyak persoalan sosial kemasyarakatan lainnya. Kelangkaan minyak tanah, listrik yang byar pet, dan kabut asap yang memerihkan mata.

Saya mahfum jika teman tadi mengeluhkan persoalan tadi. Itulah realita. Kenyataan yang ada di depan mata. Kenyataan bagi rakyat yang berdaulat di republik ini. Rakyat yang selalu konsisten dengan Merah Putih dan Garuda Pancasila.

Semua orang tahu, kalau negeri ini sudah merdeka sejak 61 tahun lalu. Semua orang juga tahu, sekarang ini masih banyak yang belum merdeka. Memang tak lagi dijajah oleh penjajah. Memang tidak lagi bekerja sebagai orang paksaan. Rodi maupun romusha.

Tapi, jutaan rakyat di republik ini belum merdeka dari ketertinggalan. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak menikmati kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan. Masih sengsara. Masihkah Indonesia?

Indonesia memang sedang bergolak. Bencana acapkali terjadi. Gempa bumi, tsunami, badai tropis, isobel, selalu saja mengancam. Jalur transportasi (seolah-olah) tak lagi aman. Jalur udara, hilang. Jalur laut, tenggelam. Kereta api, anjlok. Tak lama lagi, el nino juga mengancam. Sehingga kekeringan akan melanda republik ini.

Dalam beberapa hal, negeri ini belum sepenuhnya merdeka. Ironisnya rakyat tidak menyadari hal ini, sebaliknya mereka yakin kalau Indonesia telah merdeka. Bahkan sanggup untuk merayakannya dengan aneka perlombaan. Dan senang mengikuti upacara bendera yang penuh seremoni.

Padahal di lain pihak mereka kekurangan uang untuk makan sehari-hari. Namun, mereka menganggap apa yang dilakukan adalah perjuangan gaya modern, sebagai penghargaan terhadap jasa pahlawan.

Saya membalas surel teman dengan perasaan malu. Karena tidak bisa memberikan kenyamanan dalam menikmati perjalanannya. Tapi saya tidak bisa berkata banyak. Realita tak seindah teorinya. Juga tak senyaman menaiki kendaraan mewah milik para pejabat.

Ketertinggalan pedalaman sangat mengharukan. Terisolasi dan terbelakang. Sekolah tidak sementereng di perkotaan. Gurunya hanya satu dua orang. Itupun tak memiliki kualifikasi yang semestinya. Gedung sekolah juga apa adanya. Tak ada laboratorium untuk praktik. Tak ada perpustakaan yang menyediakan buku-buku berkualitas. Semua serba sederhana.

Tapi tuntutan harus lulus dengan angka memuaskan dibebankan kepada murid. Mereka bingung. Tak bisa mengerjakan soal-soal yang disusun sesuai standar Jakarta. Mereka hanya orang kampung, yang sarana sekolahnya sederhana. Tetapi mereka harus melaksanakan tuntutan itu. Hasilnya, mayoritas dari mereka tak lulus. Kecewa, jelas sekali. Marah, tak bisa karena mereka hanya orang kampung. Masihkah Indonesia?

Lalu sekarang, munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Ada tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional bagi pimpinan DPRD. Jumlahnya tak alang-alang. Per bulannya melebihi Upah Minimum Provinsi tahun 2007. Jauh lebih tinggi dari harga gabah dan karet per kilogramnya. Masihkah Indonesia?

Kaum melek politik kemudian berteriak. Mereka berdalih, ini kebijakan yang melukai rakyat. Harus dicabut. Apalagi diberlakukan secara surut. Tapi pemerintah bersikeras tidak akan merevisi. Dan, masihkan Indonesia?

Saya kembali teringat ketika mengunjungi Galing di Kabupaten Sambas. Saya bertemu dengan seorang bapak penarik sampan. Wajah tirusnya terlihat mengeriput. Sudah tua, tapi masih mencari obyekan. "Saya senang menarik sampan. Walau tak banyak hasilnya, tapi cukuplah untuk makan," katanya memulai obrolan.

Di lain tempat saya bertemu dengan seorang penoreh karet. Dia menjual karetnya dengan pedagang. Harganya tak begitu tinggi. Tapi dia senang karena bisa menyekolahkan anaknya. Dia hanya ingin anaknya menjadi 'orang'.

Dua orang ini adalah warga Indonesia. Walau tinggal di daerah sempadan, keduanya tetap mencintai Indonesia. Lahir dan mati haruslah di Indonesia. Begitulah cara mereka menunjukkan keindonesiaannya. Dan, masihkah Indonesia?

Penarik sampan dan penoreh getah tak pernah protes. Mereka juga tak pernah unjuk rasa. Mereka hanya diam. Mereka tidak mengerti keberpihakan pembangunan. Mereka hanya menerima. Kalau ada, diterima. Tidak ada, tidak mencari. Dengan kesederhanaannya, mereka berdoa, agar negeri ini aman dari bencana.

Surel teman, penarik sampan, dan penoreh getah hanya sebagian dari penduduk negeri ini. Mereka menikmati perannya masing-masing. Perannya sebagai orang Indonesia. Orang yang menikmati keterbelakangan, ketertinggalan, dan kemelaratan. Kehidupan mereka sangat ironis dengan manisnya aturan yang diterbitkan pemerintah. Aturan yang tidak berpihak pada rakyat. Masihkah Indonesia? (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code