Monday, November 15, 2010

Kok, Matahari Belum Muncul

Matahari belum muncul. Harusnya pagi ini ia menggantikan bulan, yang mulai letih menerangi malam. Wajah bulan sudah pucat. Ia tak sanggup menahan kantuknya. Sesekali menguap. Mengejutkan awan yang berjalan menuju barat. Setengah berbisik bulan menggerutu, “Ah, ke mana dikau matahari.”

Burung malam yang setia menemani bulan sudah pulang ke sarang. Mereka ingin menghilangkan penat setelah lelah menjaga malam dengan kicauannya hingga lelap mata penghuni alam. Memberi makan anak-anaknya yang menunggu sepanjang malam. Menyapa saudara-saudaranya yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Memberi isyarat pada manusia bahwa pagi telah tiba.

Bintang juga sudah pulang. Ia mengajarkan sebuah kedisiplinan. Jika tiba waktunya, ia harus undur diri. Pun begitu, ketika tiba waktunya bekerja, ia harus muncul. Bintang memberi keindahan pada malam. Bulan kadang tak sanggup sendiri. Bintang menemaninya. Decak kagum hadir kala kolaborasi bulan dan bintang berpadu dengan apik. Bak ciamiknya gocekan seorang selebritas lapangan hijau, standing applaus diberikan kepada bulan dan bintang. Keduanya menyajikan keindahan tak terkira di langit luas.

Di rumah bercat biru, Vanessa menanti matahari. Ia ingin tubuh mungilnya disinari. Vanessa ingin menikmati hangatnya sentuhan mentari. Ia bertanya, “Kok, matahari belum muncul? Kenapa ia lama sekali? Kapan matahari akan muncul?”

“Nak, matahari belum muncul. Ia tertutup awan. Coba lihat ke langit, awan hitam menghalanginya. Bukan ia tidak mau menemanimu bermain pagi ini. Ia tak sanggup menembus awan itu. Besok ia akan datang lebih pagi. Kamu, anakku, bangunlah lebih pagi, supaya kau bisa menemuinya dengan semburat keemasan di ufuk timur.”

Setiap pagi, Vanessa menunggu fajar. Ia selalu ingin menikmati semburatnya. Dengan ceria, ia berlari menggapai fajar. Semakin jauh ia berlari, semakin semangat ia menggapainya. Kaki mungil itu menyibak ilalang kecil di jalanan. Sisa embun malam jatuh membasahi tanah. Vanessa terus berlari. Di kejauhan, ia berhenti sejenak. Tangannya melambai meminta fajar menunggunya.

“Anakku, tak perlu kau kejar matahari. Ia akan datang bila tiba waktunya. Kita tidak bisa menggapai hal-hal yang mustahil. Ia tidak akan meninggalkan kita. Ia selalu menyapa. Tak perlu takut kehilangan matahari. Ia sudah menjadi bagian dalam hidup kita. Dengar Nak, berhentilah berlari. Kembalilah agar tubuhmu tidak lunglai. Biarkan matahari yang masih tertutup pekat itu. Esok hari ia akan menyapamu.”

Matahari belum juga muncul. Hanya cahayanya yang berpendar. Keperkasaannya runtuh oleh nakalnya awan yang menolak pergi. Ia tak sanggup menghalau pekatnya awan itu sekadar untuk menepi sejenak. Awan menggodanya. Matahari bergeming. Sedikit terpaksa, ia mencoba untuk tersenyum. “Awan juga sahabatku,” bisiknya. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code