Wednesday, December 2, 2009

Rindu Emak

Tiba-tiba saya teringat emak. Perempuan sepuh yang menjadikan tongkat pengganti matanya. Perempuan yang dari rahimnya lahir satu lusin manusia baru. Sungguh perempuan perkasa.

Emak tinggal di kampung. Angan Tembawang yang memberinya kehidupan. Angan Tembawang yang menjadikannya ada. Sebuah tanah yang melahirkan banyak inspirasi. Kampung yang dikenang oleh orang-orang, yang di tubuhnya mengalir darah Dayak. Sebuah tanah terjanji.

Emak tak tahu kapan pastinya ia lahir. Emak juga tak tahu tahun berapa ia menikah dengan ayah, seorang lelaki yang mencintainya hingga akhir hidupnya. Dua manusia yang berbeda kelamin saling setia hingga maut menjemput. Kini, emak sudah janda.

Emak juga tak pernah mengenyam bangku sekolah. Ia tak bisa baca tulis. Emak hanya bisa menghitung. Itupun hanya duit dan harga karet yang dijualnya. Selebihnya emak buta huruf.

''Zaman kami sekolah tak ada. Anak perempuan hanya tinggal di rumah,'' kata Emak memberi alasan.

Tapi emak sangat istimewa. Ia mencintai kampungnya. Setia kepada tanah kelahirannya. Rindu kepada anak-anak yang memberinya kemarahan karena kenakalan. Cinta kepada rumah betangnya yang digusur dengan alasan tidak higienis. Menangis karena kampungnya diabaikan pemangku kepentingan. Ah, emak!!!

Cita-cita emak hanya sederhana. Ia ingin kami sekolah. ''Emak boleh kolot, kalian harus pintar,'' katanya.

Kalimat itu Emak bilang waktu saya masih kelas tiga sekolah dasar. Emak sungguh luar biasa. Orang Angan Tembawang yang cerdas.

Saya benar-benar rindu emak. Rindu ocehannya kalau lagi naik pitam. Rindu cerewetnya kalau ada yang tak cocok di telinganya. Rindu kemarahannya kalau dilarang pergi ke hutan, padahal tubuh rentanya sudah tak harus lagi ke hutan.

Emak ke hutan bukan membenci keramaian. Itu karena emak cinta kerimbunan. Emak rindu kicauan enggang yang tak lagi didengarnya. Rindu melihat siamang bergelantungan dari satu pohon ke pohon lainnya. Emak sungguh mencintai hutan yang memberinya kehidupan.

Kini emak sudah pensiun ke hutan. Emak juga sudah purna menoreh karet. Emak juga sudah tak lagi menanam, merumput, mencangkul, bahkan panen padi di sawah atau ladang. Emak benar-benar menikmati hari tuanya dengan kesederhanaan.

Saya terakhir bertemu emak enam bulan lalu. Membayar rindu enam bulan sebelumnya. Bercanda dengan emak walau ia tak lagi melihat. Menjadi mata emak walau hanya semalam. Melihat senyum emak di antara keriputnya. Menumbuk sirih emak karena giginya tak kuat lagi mengunyah.

Aku semakin rindu emak bila ingat langkah-langkah tertatihnya. Aku semakin ingin bertemu emak untuk mendengar dongeng si bungsu pengantar tidur kami.

Aku semakin rindu emak.......

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code