Wednesday, August 5, 2009

Mbah Surip, Gombloh, dan Kematian

Mbah Surip mengakhiri ziarahnya di dunia. Pelantun Tak Gendong itu menghembuskan nafas terakhirnya ketika berada di puncak popularitas. Ia menjadi miliarder dalam waktu singkat setelah ring back tone lagunya banyak diunduh pengguna telepon seluler.

Kematian Mbah Surip membuat semua orang berduka. Terutama keluarga, kolega, kerabat, sahabat, bahkan Presiden SBY secara khusus mengucapkan rasa belasungkawanya. Dunia panggung hiburan langsung kehilangan sosok fenomenal. Tak ada lagi Tak Gendong, Bangun Tidur, dan I Love You Full.

Di luar Mbah Surip, ada Gombloh. Kisah penyanyi Di Radio ini tak jauh berbeda dengan Mbah Surip. Meninggal ketika lagu-lagunya sedang jadi hits. Keduanya populer saat usianya sudah menapaki tangga senja. Dua-duanya dicintai dan dikagumi.

Namun dua orang ini juga punya perbedaan. Mbah Surip ngetop saat dunia hiburan sudah sangat maju. Sehingga sangat cepat dikenal. Gombloh terkenal ketika teknologi informasi belum begitu maju. Gombloh sangat minim tampil di layar televisi. Acara hiburan, musik, bahkan infotaiment juga belum ada. Namun sihir Di Radio sanggup membuat Gombloh menjadi begitu dikenal bangsa ini.

Saya tidak pernah bertemu kedua musisi itu. Bahkan, menontonnya secara langsung dalam sebuah acara musik juga tidak pernah. Saya hanya tahu Mbah Surip dari media televisi dan koran. Pun begitu dengan Gombloh. Saya hanya kenal dari televisi dan radio.

Ketika Gombloh ngetop saya masih anak sekolahan. Pun begitu ketika Gombloh meninggal. Beda dengan Mbah Surip. Ketika ia ngetop saya sudah bisa mencari duit sendiri. Anak saya, Vanessa bahkan bisa melantunkan Tak Gendong yang begitu fenomenal itu. Ibunya, Susiati, bahkan merekam suara Vanessa dengan handphonenya.

Sementara Gombloh, lagu-lagu tidak sempat saya rekam. Maklum belum punya handphone. Namun lagu-lagunya masih saya ingat. Apalagi lagu yang bertemakan nasionalisme, seperti Kebyar Kebyar. Hingga sekarang lagu itu masih saya ingat. Indonesia juga masih suka menyanyikan lagu itu.

Gombloh meninggal dunia di Surabaya pada 9 Januari 1988 setelah lama menderita penyakit. Tubuhnya yang kurus memang banyak menyimpan berbagai penyakit, ditambah kebiasaan merokoknya yang sulit dihilangkan. Menurut salah seorang temannya, sering kali Gombloh mengeluarkan darah bila sedang bicara atau bersin. Namun Gombloh pantang menyerah. Karena itulah ia mampu bertahan hidup cukup lama, meskipun dengan tubuh yang penyakitan.

Kematian Mbah Surip dan Gombloh menunjukkan bahwa episode dan jalan kematian itu ada. Setiap orang memiliki jalan kematian dengan cara berbeda. Mbah Surip dan Gombloh meninggal saat berada di puncak kesuksesan. Keduanya meninggalkan orang-orang yang tengah mengandrungi karya seninya.

Kematian membuat kita mengakhiri perziarahan di dunia. Setiap orang pasti mengalami karena tidak ada keabadian. Bahkan nabi saja harus menghadapi kematian. Sebagian orang takut menghadapi kematian. Takut karena tidak siap. Tidak siap karena banyak tugas mulia yang belum dilaksanakan.

Seorang bijak pernah berkata, “kematian itu bukan untuk ditakuti. Kematian itu ada untuk kehidupan yang sesungguhnya.”

Requiem in Pace, Mbah Surip. I Love You Full. Merdeka!!!

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code