Thursday, February 26, 2009

Ibu

Ia perlu satu tongkat untuk berjalan. Bukan untuk menyangga tubuhnya. Tongkat itu mengganti matanya. Sejak tahun lalu, ia tidak bisa lagi melihat. Ibu sudah buta. Bukan karena sakit, tapi matanya termakan usia. Walau tak melihat, ia mengenal suara. Ibu melihat dengan hati dan nurani.

Usia ibu sudah delapan puluh tahun. Walau tak ada identitas yang bisa menunjukkan berapa usianya. Tapi dari tubuh ringkihnya tergambar kalau ia tidak lagi muda. Dari rahimnya lahir satu lusin manusia baru. Saya salah satunya. Anak keduabelas dari duabelas bersaudara. Enam dari anaknya telah pergi.

Perempuan itu ibu saya. Namanya Laci. Orang akrab memanggilnya dengan Nek Ombon. Maklum waktu masih muda, ia paling suka membawa jarai, yang dalam bahasa Dayak Angan disebut ombon atau kebondon.

Nek Ombon punya satu cita. Semua anak-anak bisa baca tulis. Syukur-syukur kalau bisa bergelar sarjana. Walau tak semua, cita-citanya tercapai. Dua anaknya bergelar sarjana. Satu jurusan agama. Satu lagi jurusan teknik.

Ibu tak pernah sekolah. Ia tak bisa baca tulis. Ia hanya bisa menghitung. Itupun harga barang. Terutama karet. Kami anak-anaknya yang menjual karet tak bisa bohong. Ibu tahu kalau kami bohong.

Ibu termasuk istri yang setia. Ia merawat suaminya yang sejak 1994 terkena lumpuh total. Makan, minum, mandi, sekaligus buang kotoran di tempat tidur. Empat tahun ia harus menghadapinya. Baginya menjadi istri adalah amanah. Pada Januari 1999, ibu resmi menjanda. Ayah saya meninggal.

Walau sendiri, ibu tetap berjuang mengongkosi pendidikan saya. Hasilnya satu gelar sarjana teknik berhasil digondol. Walau kemudian tidak bekerja sesuai spesialisasi. Tapi ibu tetap bangga. Ia bisa berdiri tegak di antara orang-orang kampung yang dulu mengejeknya. “Untuk apa mengongkosi anak sekolah tinggi. Nantipun ia akan jadi petani.”

Ibu tipe orang yang bekerja keras. Ketika masih kuat, tak satu haripun dilewatkan tanpa kerja. Ia pernah marah ketika disuruh berhenti kerja. Ia bilang, “sakit badan ibu ndak kerja.” Wuuiiihhh.

Sekarang ibu benar-benar sudah tidak kerja. Bukan karena tidak mau. Tubuh tuanya sudah tidak kuat. Ia berjalan pun harus pakai tongkat. Kalau tidak, apapun di depannya akan ditabrak. Ia sudah tidak bisa melihat. Ia buta. (*)


0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code