Pukul sembilan pagi. Di Hotel Peony, Jalan Gajahmada, Pontianak, tempat workshop narative reporting dilaksanakan. Di Roof Cafe, lantai lima gedung itu tujuh belas orang sudah berkumpul. Saya orang kedelapan belas yang datang. Setidaknya itu yang tercatat pada daftar absen di meja pintu masuk.
Alex Mering berdiri. Ia menjadi pembawa acara dalam kegiatan itu. “Bisa kita mulai. Pesertanya sudah lengkap,” ujar Alex. Seremonial hanya berlangsung lima belas menit. Topik seremonial pun berganti materi kursus, tentang jurnalisme dasar.
Andreas Harsono, suhunya jurnalisme sastrawi jadi instruktur tunggal dalam kegiatan tersebut. Andreas beranjak dari duduknya. Sebuah laptop di meja terhubung over head projector. Ia maju menuju sebuah layar putih yang menampilkan materi kursus.
Andreas Harsono, seorang wartawan yang pernah bekerja untuk harian The Nation di Bangkok, Associated Press Television di Hongkong, The Star di Kuala Lumpur, dan Pantau di Jakarta. Ia mendapatkan Niemen Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard 1999-2000.
Mulai Senin, 10 November 2008 hingga lima hari ke depan, sebanyak 19 peserta akan digodok materi kursus jurnalisme sastrawi. Beragam latar belakang yang ikut. Dari pekerja media hingga ibu rumah tangga. Tiga di antaranya berasal dari Jerman. Walau tak lancar berbahasa Indonesia, ketiganya tetap semangat.
“Apa saya boleh mengganti slide dengan materi berbahasa Inggris?” tanya Andreas. “Teman-teman kita dari Jerman, agak kesulitan.” Tampilan materi yang sebelumnya berbahasa Indonesia pun berganti menjadi Bahasa Inggris.
Berkali-kali Andreas harus menuju laptopnya. Jika salah satu tutsnya tak disentuh, tampilan materi kursus yang disampaikan hilang. Berkali-kali pula Andreas memindahkan kursinya. Kadang ditarik dekat meja. Kemudian ditarik lagi dekat layar.
Pukul 12.00, Andreas mengakhiri paparannya. “Saatnya makan siang,” kata Alex Mering, pantia pelaksana. Beberapa peserta langsung menyantap hidangan. Sebagian lagi, masih melanjutkan obrolannya. Ada juga yang memanfaatkan masa rehat dengan merokok.
Kelas dimulai pukul satu siang. “Makanannya enak,” kata Andreas sebelum memberi materi. Sesi kedua ini membahas tentang wawancara. “Saya minta dua sukarelawan,” kata Andreas. Satunya sebagai pewawancara, yang lainnya menjadi narasumbernya.
Andreas menuliskan Rule of the interview pada white board. Ada empat hal pokok yang dibahasnya.Pertama, on the record artinya boleh mengutip apapun sesuai apa yang diinginkan. “Ini yang paling baik dalam melakukan wawancara,” katanya.
Kemudian, background – quotation only, artinya boleh mengutip tapi minta persetujuan narasumber bagian yang akan dikutip. Perlu ada kepercayaan antara narasumber dan penanya.
Ketiga, attribution artinya tidak menyebut nama sumber tetapi hanya jabatannya. Misalnya, menurut Dosen Universitas Tanjungpura, menurut seorang dekan di Universitas Tanjungpura. “Semakin sempit ruang untuk diketahui narasumbernya semakin bagus,” ujar Andreas. Terakhir, off the record. Ini sebaiknya tidak dipakai.
Dwi Safriyanti dan Sinna jadi relawan pertama. Wawancara dilakukan dengan duduk. Keduanya diberi waktu lima menit untuk sesi wawancara. Dwi yang advokat mengaku gugup. Begitu juga Sinna. Orang Jerman ini tak fasih berbahasa Indonesia.
Relawan kedua, Hentakun dan Johan Wahyudi. Mereka membahas topik wawancara di luar kelas. “Waktunya hanya satu menit,” kata Andreas. Wawancara dilakukan dengan narasumber yang tidak mau memberi penjelasan. Sehingga harus dilakukan dengan mencegat narasumber.
“Waktu kita hanya sedikit,” kata Andreas. “Pertanyaan yang diajukan harus bersifat close question. Narasumber hanya menjawab ya atau tidak.”
Diakhir sesi, Andreas memberikan tugas rumah kepada peserta. (*)
1 komentar:
Memang kadang tamu asing ke Indonesia (kejaohan ke Kalbar aja dah), sering tidak bisa berbahasa Indonesia. Namun tidak sedikit juga udah mahir ataw setidaknya mengerti Bahasa Indonesia. Pengalaman sih
Post a Comment