Ledakan jumlah penduduk atau baby booming dikhawatirkan akan meningkat tajam. Pemerintah memperkirakan pada 2015 jumlah penduduk Indonesia akan bertambah menjadi 247,5 juta jiwa. Sungguh peningkatan yang mengkhawatirkan. Program Keluarga Berencana menjadi garda terdepan untuk mengendalikan kelahiran terutama pada era otonomi daerah.
Laju pertumbuhan penduduk di Kalimantan Barat tercatat lebih rendah dari seluruh provinsi di Indonesia. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan, laju pertumbuhan penduduk periode 2000-2005 untuk Provinsi Kalbar hanya sebesar 0,18 persen. Angka itu lebih rendah dari angka nasional sebesar 1,3 persen.
Ledakan jumlah penduduk ini akan berdampak luas terhadap penyediaan anggaran dan fasilitas kesehatan, pendidikan, serta ketersediaan pangan. Selain itu juga berdampak terhadap pemenuhan gizi bayi serta meningkatnya angka pengangguran. Kondisi ini akan menambah beban pengeluaran keuangan daerah.
Jika ketersediaan anggaran tidak bisa terpenuhi akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Karena jumlah penduduk yang padat akan sulit untuk memenuhi kebutuhan pokoknya karena daya dukung anggaran dari pemerintah yang berkurang.
“Ini tantangan bagi pemerintah daerah agar penduduknya berkualitas. Kalau penduduk berkualitas, beban pengeluaran daerah tidak masalah. Namun, kalau kualitas penduduknya rendah, akan jadi beban daerah dan masyarakat,” kata Anggota DPRD Kalbar Katharina Lies.
Harus ada langkah yang strategis dari pemerintah daerah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Kendati secara nasional, Kalbar tergolong paling lambat lajunya, tetapi haruslah diwaspadai. Sebab kalau terjadi ledakan penduduk yang melebih angka nasional bisa berakibat merosotnya kualitas manusianya.
Program Keluarga Berencana bisa menekan laju pertumbuhan penduduk di Kalbar. BKKBN Kalbar menargetkan pada 2008 sebanyak 26.100 akseptor keluarga berencana baru. Saat ini baru tercapai 51 persen dari target yang ditetapkan. “Selain mengantisipasi ledakan penduduk, KB juga bisa mengentaskan kemiskinan,” kata Kepala BKKBN Kalbar Gun Djamani.
Sejak otonomi daerah gerakan KB semakin berkurang. Ini berdampak pada kesadaran masyarakat untuk mengikuti program KB juga turut menurun. Ditambah lagi keuangan daerah yang terbatas. Sehingga kucuran dana untuk meningkatkan program KB juga semakin berkurang.
Agar program KB kembali digiatkan, pemerintah di daerah diwajibkan membentuk lembaga struktural. Dengan begitu, ada kewajiban bagi daerah untuk membiayai lembaga tersebut. Langkah ini juga sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Dalam Struktur Organisasi Perangkat Daerah yang baru ini, pemerintah mengusulkan adanya Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak, Masyarakat dan Keluarga Berencana.
Struktur BKKBN di daerah kabupaten/kota juga harus jelas. Ada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pada Bagian Ketiga yang mengatur Perumpunan Urusan Pemerintahan Pasal 22 ayat (5) huruf i menyebutkan pengaturan mengenai bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana.
Jika semua kabupaten/kota berkomitmen mengikuti amanah peraturan pemerintah itu, maka perhatian untuk menekan ledakan jumlah penduduk bisa dilakukan. “Diperlukan political will pemerintah daerah di era otonomi ini. Artinya tidak sekadar membentuk lembaga struktural, tetapi haruslah meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengikuti program KB,” ungkap Andreas Lani, seorang parlemen Kalbar.
Di Kalbar, kurun waktu 2000-2005, laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,18 persen. Pertumbuhan ini dibantu dengan adanya program transmigrasi untuk pemerataan penduduk. Kendati begitu, laju pertumbuhan penduduk di Kalbar masih terendah di Indonesia. Bahkan Kalbar meraih penghargaan dari pemerintah pusat terkait keberhasilan program keluarga berencana.
Ledakan penduduk juga berpotensi menambah angka kemiskinan. Data BPS Kalbar menunjukan, persentase penduduk miskin periode Maret 2007 ke Maret 2008 menurun sekitar 12,92 persen. Pada periode tahun 2007 ke tahun 2008 jumlah penduduk miskin turun dari 584,3 ribu orang menjadi 508,8 ribu orang. Hal ini berarti bahwa jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 75,5 ribu orang. Kendati mengalami penurunan, jumlah orang miskin di Kalbar masih tertinggi di Pulau Kalimantan.
Di Kalbar, garis kemiskinan sebesar Rp158.834 per kapita per bulan dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 508,8 ribu orang dan tingkat kemiskinan mencapai 11,07 persen. Indeks kedalaman kemiskinan di Kalbar sebesar 1,66 dan indeks keparahan kemiskinan 0,42.
Penurunan jumlah penduduk miskin yang cukup pesat terjadi di perdesaan, yaitu dari 440,20 ribu orang pada Maret 2007 menjadi 381,3 ribu orang pada Maret 2008. Jumlah itu berkurang sekitar 58,9 ribu orang, sementara di perkotaan berkurang 16,6 ribu orang yaitu dari 144 ribu orang pada 2007 menjadi 127,5 ribu orang tahun 2008.
Begitu juga dengan angka pengangguran. Angka pengangguran terbuka pada Februari 2008 sebanyak 141 ribu orang, angka ini bertambah hampir dua ribu orang dibandingkan dengan keadaan Agustus 2007 sebanyak 139 ribu orang.
"Penambahan terbesar terjadi pada laki-laki sebesar dua ribu orang yaitu dari 79 ribu orang menjadi 81 ribu orang, sedangkan jumlah pengangguran terbuka penduduk perempuan relatif stabil yaitu sebesar 60 ribu orang," kata Maksum Djauhari, kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar.
Ledakan penduduk bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Ini menjadi persoalan bersama. Harus ada sinergitas semua elemen dalam menekan angka kelahiran. Program Keluarga Berencana mesti ditingkatkan. (*)
0 komentar:
Post a Comment