Pagi baru saja menyapa. Seorang wanita dengan baskom besar di atas kepalanya. Isinya aneka sayuran. Mulai kangkung, pucuk ubi, hingga pakis. Semuanya serba tradisional. Selera kampung, kata sebagian orang.
Setiap pagi, wanita yang kami sapa bibi ini datang ke rumah. Ia menjadi langganan kami dalam belanja sayur. Tapi tidak setiap pagi kami membeli sayur darinya. Kalau sedang rajin, istri saya belanja di warung depan gang. Itupun kalau dia sedang ingin olahraga: jalan kaki.
“Sayur, Nong,” tawar bibi pagi itu. Anak sulung saya, Vanessa yang menyahut, “Ndak, Bi.” Usianya baru tiga tahun. Padahal ibunya belum belanja tadi pagi. Tak ingin kehilangan sayur kesukaannya, istri saya langsung menghampiri bibi. Ini rutinitas setiap pagi.
Usai transaksi, bibi kembali berkeliling. Ia harus menjual sayurnya. Bibi hanya mengambil keuntungan lima ratus hingga seribu rupiah setiap sayuran yang dijualnya. Setiap hari, bibi berkeliling hingga dua puluh kilometer. Tapi hasil jajaannya bisa membuat bibi pulang kampung ke Madura.
Sampai hari ini saya tidak tahu siapa nama asli bibi. Saya pun tak punya niat menanyakannya. Ia pun begitu. Tak pernah memberitahu siapa namanya. Tak apalah. Yang penting bibi tetap setia menjual sayurnya kepada kami. Harga terjangkau dan higienis. (*)
3 komentar:
Hai bang Miank.....
Tulisannya bagus...... boleh ya aku nge-link blog ku ke sini. Jangan lupa dilink juga blog ku ke blog ini.... http://fransloboanderson.wordpress.com
hehehe. Jadi mengingatkan ku akan pentingnya memakan sayur sayuran. Selama ini saya banyak makan yang banyak mengandung kolesterol dan lemak jenuh. Kurang serat juga kayaknya. Thanks for your awesome writing. I like it
Idem juga nih sama si anonimus tadi. Saya juga kurang makan sayur sayuran. La kurang makan sayuran aja udah gemuk gene ya.
Post a Comment