Rumah panggung di bibir laut tampak kokoh. Tiang penyangganya hanya beralaskan batu datar. Tidak menancap di tanah. Sesuatu yang baru aku temui di Pulau Kabung. Berbeda dengan rumah panggung di kampungku. Sebuah pengalaman yang luar biasa.
Kapal motor baru saja merapat. Aku melompat menuju bibir dermaga. Tas punggung ikut berayun. Tanganku memegang kresek ransum untuk dua hari. Senyum penduduk menyapa. Walau tak ada kata, senyum itu berbicara, “Selamat Datang di Pulau Kabung.”
Sambil menunggu teman-teman lainnya, ku berteduh di bawah jambu. Cukuplah untuk mengaso barang sejenak. Kami kemudian berjalan ke arah timur. Home stay milik Pak Ukas tujuannya. Jarak dari dermaga hanya 500 meter. Kami harus melalui gang kecil. Rumahnya menjorok ke laut. Dari bibir laut kira-kira 200 meter.
Tiba di rumah tanpa bilik, aku langsung berehat. Turunkan tas punggung, lalu berbaring di tikar pandan. Perut sudah teriak minta diisi. Beruntung Pak Ukas sudah siapkan makan siang. Tanpa menunggu tawaran, aku langsung makan. Ada yang mencegah, kucuek saja. “Sudah lapar. Dari pagi belum makan,” kataku.
Usai makan, Pak Ukas menghampiri. Pria berkulit gelap yang bertransmigrasi ke Kalbar pada 80-an itu tersenyum. Aku mengulurkan tangan. Ia ucapkan, “Selamat Datang.” Pak Ukas duduk bersila. Sesekali ia menyedot sigaretnya.
Pak Ukas kemudian cerita banyak soal Pulau Kabung. “Tempat ini, dulunya, untuk membuang korban-korban perompak (bajak laut). Korban itu dibunuh. Mayatnya dibuang ke pulau itu. orang-orang kemudian menamakannya Pulau Kabung. Dalam bahasa setempat, kabung berarti hantu.”
Mendengar hantu, beberapa teman bergidik. Mahluk Tuhan yang tak berwujud itu kerap membuat orang takut. Ada yang bertanya soal pantangan. Pak Ukas bilang, “Jangan bertingkah berlebihan.”
Pak Ukas kemudian berlalu. Kuturun dari bangunan beratap rumbia itu. Tangan kananku mengambil air. Kemudian kesepihkan ke dahi, dada, bahu kiri dan kanan. Beginilah adat kami: Orang Dayak. Kalau ke suatu daerah yang baru, harus permisi. Kalau ke laut, ya dengan air. Kalau ke gunung, ya dengan tanah dan lumut. Supaya mereka tahu kalau ada tamu yang datang.
Kita juga harus berteman dengan alam. Ya, khan!
1 komentar:
nampak 100 seri tulisannya ni.
Aku nak nunggu kisah 'KARAMNYA SI SANDAL JEPIT'
Post a Comment