Monday, September 10, 2007

SBY dan Tolak Bala

Akhir 2004, dunia terkejut dengan peristiwa tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan sebagian Sumatra Utara (Sumut). Ribuan jiwa melayang. Semarak perayaan pergantian tahun juga berubah menjadi renungan dan doa bagi para korban keganasan alam tersebut. Bantuan untuk memulihkan Aceh mengalir, bahkan pemerintah menetapkan recovery Aceh menjadi program nasional.

Belum hilang trauma tsunami, awal tahun 2005, republik ini kembali diguncang duka. Masyarakat yang tinggal di Pulau Nias menjadi korban gempa berikutnya. Setelah itu, muncul lagi tabrakan kereta api di Jakarta. Tragedi kemanusiaan ini memilukan karena memakan banyak korban. Peristiwa-peristiwa alam itu gambaran betapa republik ini sedang memperoleh cobaan dari Jubata (Tuhan).

Ada orang yang menganggap, manusia Indonesia harus merefleksi diri. Kita juga dituntut untuk memperbaiki prilaku dan tingkah. (mungkin) Jubata melihat manusia sudah memiliki banyak dosa. Sehingga diperlukan azab untuk membersihkan dosa-dosa yang melekat dalam diri manusia.

Bisa jadi tragedi kemanusiaan itu peringatan Jubata, agar manusia Indonesia melakukan pertobatan sejati. Negeri ini sudah tidak memegang teguh ajaran cinta kasih. Republik ini sudah meninggalkan makna-makna persaudaraan antarsesama manusia. Negara ini sudah berjalan di atas gerbong kesombongan dan egoisme elite.

Sejak 21 Oktober 2004, Indonesia dipimpin Soesilo Bambang Yudhoyono yang dikenal sebagai Presiden SBY dan wakilnya Jusuf Kala yang dikenal Wapres JK. Duet pemimpin bangsa ini dipilih secara demokratis melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat. Keduanya mengalahkan Megawati dan Hasyim Muzadi yang kalah populer di mata rakyat Indonesia.

Kini, kepemimpinan SBY-JK sudah berjalan setahun. Sudah banyak kebijakan yang diterbitkan. Kebijakan-kebijakan yang diterbitkan juga merupakan tragedi bagi orang-orang mendiami republik gemah ripah loh jinawi ini. Mulai dari Perpres No 36 2005 tentang pembebasan lahan untuk kepentingan umum, menaikan bahan bakar minyak sebanyak dua kali dalam satu tahun. Belum lagi, ledakan bom di Bali yang juga memakan korban. Peristiwa ini tak hanya mendapat kecaman dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Indonesia dinilai sebagai sarangnya teroris.

Kendati banyak kebijakan yang dianggap tragedi bagi jutaan rakyat, namun kepopuleran SBY tetap tidak pudar. Masyarakat pedesaan, misalnya, tetap melihat sosok SBY sebagai orang yang tepat memimpin negeri ini. Bagi kita, masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan cukup tinggi, pasti tidak setuju dengan anggapan orang-orang pedesaan itu. Kita menilai duet SBY-JK hanya bisanya mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan.

Sangat berbeda dengan masyarakat di tingkat basis. Mereka hanya berpikir praktis. Jalan beraspal, minyak tanah tersedia di warung, harga karet memadai, dan sejumlah kebutuhan dapurnya tersedia. Itu sudah cukup bagi mereka. Kehidupan orang desa tidak neko-neko. Sederhana saja.

Kalaupun mereka harus ke pasar yang ada di kota kecamatan, alat transportasi tersedia. Mereka tidak peduli berapa ongkos yang harus dikeluarkan. Mereka tidak tahu, apa yang dinamakan kebijakan. Itulah tataran pola pikir praktis masyarakat pedesaan.

Kesederhanaan masyarakat pedesaan sangat berbeda dengan kesederhanaan orang-orang yang tinggal di kota. Kesederhanaan di kota bukan sederhana dalam arti sesungguhnya. Ukurannya berbeda, tetapi relatif. Kita, masyarakat kota melihat lebih dalam sesuai dengan intelektualitas yang dimiliki. Kita, masyarakat kota cenderung terpelajar.

Hanya, kita masyarakat kota tidak melihat dengan kesederhanaan, sehingga persoalan-persoalan sederhana menjadi hal yang paling rumit. Kehilangan jutaan warga negara dalam setahun kepemimpinan SBY-JK adalah tragedi terbesar dalam sejarah. Mungkin garis tangan SBY-JK terlalu panas untuk memimpin negeri kepulauan ini. Seharusnya kedua menggelar upacara tolak bala. Ritual ini untuk meredam kejadian-kejadian yang mengganggu kehidupan manusia Indonesia.

Upacara tolak bala terbukti sangat efektif dalam meredam gejolak sosial dan menjauhkan masyarakat dari segala bentuk malapetaka dan marabahaya. Kalbar, misalnya, melalui masyarakat Dayak selalu menggelar ritual tolak bala, jika terjadi gejolak sosial di dalam masyarakatnya. Sebagai contoh, konflik antaretnis yang meletus di Sanggau Ledo (1997) dan Sambas (1999), tak meluas hingga ke Ketapang. Sebab, semua etnis yang berdomisili di Ketapang langsung merapatkan barisan, menggalang kebersamaan dan persaudaraan.

Tolak bala biasanya dipimpin seorang tumenggung adat atau pemangku adat. Bisa juga tolak bala dipimpin oleh seseorang yang telah mendapat mandat untuk menggelarnya. Tidak semua orang Dayak bisa memimpin tolak bala. Ada banyak syaratnya. Namun, mereka yang menjadi pemimpin dalam upacara tolak bala dipercaya sebagai wakil Jubata dalam mengusir roh-roh jahat, yang kerap mengganggu kehidupan masyarakat adat.

Upacara tolak bala bukan hanya ada di kalangan masyarakat suku Dayak. Masyarakat Melayu juga mengenalnya. Ketika pengukuhan Kerabat Muda Kesultanan Pontianak, misalnya, juga digelar upacara tolak bala. Mereka menamakan ritual ini sebagai upacara adat buang-buang.

Banyaknya tragedi kemanusiaan yang menimpa Indonesia era kepemimpinan SBY-JK, seharusnya membuat tim suksesnya berpikir. Mencoba hal-hal yang berbau adat istiadat tidak salah dalam mencegah terjadinya tragedi yang lainnya. Memang, tragedi adalah peringatan Jubata. Tetapi, Jubata juga ingin kita berusaha, bukan hanya berdoa saja. Ora et labora, begitu orang latin menyebutnya.

Kemajuan bangsa Indonesia berada di tangan SBY-JK. Tragedi kemanusiaan yang terjadi juga refleksi dari rajah tangan SBY-JK. Sepertinya perlu melakukan tolak bala secara nasional untuk mencegah terjadi bencana alam dan buatan manusia. Jangan sampai jutaan rakyat Indonesia, kembali menjadi korban. Saatnya, SBY-JK gelar ritual tolak bala. Semoga!

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code