Saya kaget mendengar jawabnya. “Kami yang tinggal di Kalimantan belum merdeka. Jakarta telah membuat kami jauh tertinggal. Kami tidak punya jalan yang bagus, listrik yang menyala terus, air bersih yang mengalir tiada henti,” lanjutnya.
Dhie, seorang tukang sapu pada sebuah kantor pemerintah. Ia tahu betul ‘tebiat’ para penguasa, termasuk di kantornya. “Mereka hanya mementingkan diri sendiri,” protesnya.
Sikap Dhie berbeda dengan tetangganya, Noel. Noel yang prajurit TNI memasang bendera di halaman rumahnya. “Ini tandanya kita masih memiliki rasa nasionalisme,” kata Noel.
Noel tidak mengecam Dhie yang tidak memasang bendera. “Itu haknya,” ujar Noel. Yang penting, bagi Noel, rasa keindonesiaan Dhie tidak boleh hilang. Ia boleh tida percaya kepada pemerintah, tapi Dhie tidak bisa mungkir kalau ia lahir di tanah Indonesia.
Namun nasionalisme dengan memasang bendera di halaman rumah dibantah Dhie. “Apakah sikap nasionalisme itu bisa diukur dengan memasang bendera? Banyak orang yang memasang bendera, tapi ia seorang koruptor, pembunuh, penjual tanah di perbatasan,” seru Dhie.
Coba lihat di Aceh, ramai-ramai menurunkan bendera. Lihat di perbatasan. Mereka tidak menaikan bendera? Apa mereka sudah kehilangan nasionalismenya. Jangan-jangan kita yang di perkotaan yang sudah tidak nasionalis lagi. Jangan-jangan mereka yang mengibarkan bendera, justru nasionalisnya sangat dangkal.
Apa masih layak kita berbicara soal nasionalisme? (*)
0 komentar:
Post a Comment