Saturday, May 26, 2007

KEBUN TRADISIONAL DI RUMAH PELANGI

Banyak orang yang berteriak agar alam segera dilestarikan. Namun sedikit yang mau melakukannya. Apalagi mengembangkan lumbung tanaman tradisional, yang tidak memiliki keuntungan secara ekonomi.

Matahari mulai meninggi. Padahal jarum jam baru menunjukkan angka sembilan pagi. Kami mulai melaju meninggalkan Kota Pontianak. Kota yang kami tinggali masih sibuk. Pedagang tumpah di Pasar Flamboyan juga masih belum berkemas. Jalur Pahlawan tetap macet karena sebagian bahu jalan digunakan untuk berjualan.

Mobil yang kami tumpangi berputar perlahan. Laiknya roda-roda kereta yang menapaki rel. Di depan, traffic light menghentikan mobil. Enam menit kemudian baru menghijau dan kami pun merangkak menaiki jembatan tol. Turun tol, kami kembali dihadang traffic light.

Sabtu itu sengaja kami meninggalkan kota. “Refresing,” begitu kami menyebutnya, “ingin menghirup udara murni di hutan.” Kami terus bergerak memasuk jalan transkalimantan. Di jalur ini tidak ada traffic light, tapi kami harus menutup rapat jendela mobil. Debu jalan menghadang setelah tergilas roda-roda kendaraan. Pekat. Melekat pada daun-daun yang menyisakan embun.

Jalur masih pengerasan-sebagian sudah diaspal-kami menemukan banyak hal. Praktik penebangan liar untuk mengambil kayu-kayu berukuran kecil. Cerucuk, begitu warga menamakannya. Belasan jalur lori yang mengangkut cerucuk ke tempat penumpukan. Sebagian sudah tidak terpakai, tapi begitu banyak yang baru.

Di sebuah kampung tempat bermukim masyarakat adat tertinggal, kami rehat sejenak. Ngobrol dengan Asim, 58. Warga Desa Bawas ini mengaku melakukan praktik penebangan cerucuk, karena jatah hidup dari pemerintah sudah terhenti. “Sudah dua tahun ini, kami tidak terima jadup. Padahal pemerintah telah berjanji memberi lima tahun. Artinya jadup akan berakhir pada 2008. Karet yang kami tanam belum menghasilkan,” kata Asim.

Setelah menempuh jarak sekitar 60 kilometer, kami tiba di Rumah Pelangi, Gunung Benuaq. Sebuah kawasan konservasi yang dikelola oleh Komunitas Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum (OFM Cap). Dari jalan raya itu, kami harus masuk sekitar 800 meter. Jalan mendaki sekitar 30 derajat, hanya bisa dilalui sebuah mobil. Sekitar 200 meter dari jalan raya, ada sebuah gereja yang mereka namakan Kalvari, yang letaknya di puncak gunung.

Dari Gereja Kalvari, kami harus melewati jalan berbelok dan menurun. “Cukup licin kalau hujan,” kata Samuel Oton Sidin saat menerima kami. Sekitar sepuluh menit kemudian, kami tiba di sebuah rumah terbangun dari kayu. Tak ada fasilitas wah di rumah itu. Ada beberapa kamar yang bisa dipakai untuk menginap. Tak perlu membayar. “Asal mau saja. Ya, apa adanya. Sekedar meluruskan pinggang,” seloroh Samuel.

Kami tiba di Rumah Pelangi, Bukit Tunggal di Jalan Transkalimantan, sekitar pukul 10.00 WIB. Di teras rumah kayu, Samuel Oton Sidin, 53, sedang menggambar peta lokasi konservasi alam.

Mengenakan kaos tanpa lengan, Samuel mempersilakan kami masuk. Tangannya masih menggores garis-garis peta yang hampir selesai digambarnya. “Teh atau kopi?” tawarnya. “Teh saja,” sahut kami. Rohaniwan Katolik masuk dan membawa beberapa air mineral kemasan gelas. “Kebetulan bahannya habis. Yang ada hanya ini,” katanya sambil menunjukkan gelas-gelas mineral itu.

Tak sulit menemukan pusat konservasi alam milik Komunitas Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum (OFM Cap). Dari Pontianak melewati jalan transkalimantan menuju Tayan, letaknya di kilometer 60. Ada sebuah plang nama yang cukup besar. Pengunjung harus masuk ke kawasan hutan sekitar 800 meter dengan jalan mendaki dan licin, untuk mencapai Rumah Pelangi.

Begitu masuk, pengunjung akan merasakan kesejukan alam. Tak heran, jika banyak kaum muda yang memanfaatkan alamnya sebagai tempat rekreasi. Keasrian alam sangat menarik untuk menggalinya. Beragam tanaman alam ditanam untuk kepentingan pelestarian.
Kami kemudian ngobrol soal aktivitasnya mengelola hutan seluas 90 hektar di Bukit Tunggal. “Saya hanya ingin menyelamatkan yang sedikit ini. Apalah artinya dibandingkan ribuan hektar yang dibabat oleh orang-orang di luar sana,” katanya.

Menurut Samuel, kerusakan hutan sudah sangat kritis. Perlu langkah untuk menyelamatkannya. “Jangan salahkan Tuhan kalau nanti datang bencana, karena kita tidak mau memelihara alam, rumah kita yang dianugerahkan. Banyak orang yang berteriak mengenai konservasi alam, tapi sedikit saja yang mau memulai melestarikan alam itu sendiri. Saya hanya mencoba sedikit untuk mengajak orang berbuat nyata untuk menjaga alam,” katanya.

Ada beberapa alasan Doktor Teologi Spiritualitas Fransiskan Universitas Antonia, Roma ini memulai gerakan konservasi alam. Semangat spiritualitas Fransiskus Asisi jadi alasan utamanya. Selain itu kerusakan alam yang sudah pada tingkat mengkhawatirkan.
“Sebagai pengikut Fransiskus Asisi, kami menjaga spiritualitasnya. Ibarat Tuhan telah memberikan rumah (alam) kepada kita. Jika tidak bisa memeliharanya, rumah itu akan rusak. Kami sebagai pengikutnya, mau berbuat sedikit saja untuk menyelamatkan alam dari kerusakan,” katanya.

Apa yang diselamatkan Samuel dengan Rumah Pelanginya? “Saya ingin tanaman alam yang tidak memberikan nilai ekonomi tetap ada. Sebab ada kecenderungan masyarakat memusnahkannya. Mereka lebih senang menanam buah-buahan yang memiliki nilai ekonomi. Laku dijual di pasar. Tapi saya coba menanam buah-buahan alam, supaya ada peninggalan masa depan,” katanya.

Pastor Kapusin itu telah menanam buah-buah hutan. Sebut saja mangga tradisional seperti asam bawang, bacang, kandis, gandaria. Juga tengkawang, rambutan hutan, dan tanaman lainnya. Ada belian, nyato, gaharu, bambu, palem, dan kayu-kayu lainnya yang populasinya terancam punah.

Pendidikan ekologi juga menjadi alasan bagi Samuel. Pria kelahiran Peranuk, Bengkayang ini ingin generasi masa mendatang mencintai alam. Sehingga lokasinya bisa menjadi bagian dari pendidikan ilmiah. Paling tidak bisa untuk anak-anak masa depan melihat tanaman langka di daerah ini.

Nama rumah pelangi diambilnya dari kisah Nabi Nuh. Setelah bencana yang menimpa manusia, pelangi muncul di langit. “Pelangi menunjukkan kepada kita, damai dengan semua. Damai dengan alam, manusia, hewan. Harapan saya, kehadiran konservasi ini sebagai wujud kedamaian seperti makna pelangi,” ujarnya.

Menurut Samuel, ide konservasi dimulai ketika ia menjabat Kepala Provinsial Orde Kapusin di Kalimantan. Selama dua periode, ia berhasil mewujudkan idenya. Selama tiga tahun, Samuel berjalan sendiri. Tapi kegigihannya membuat saudara-saudaranya di Ordo Kapusin merestui gerakan konservasi tersebut.

Samuel juga memberikan pencerahan dengan caranya. Melalui stiker yang ditempelkan di kendaraannya. “Hutan dibabat, rakyat melarat, adat lenyap, masa depan gelap. Hutan kita hanya satu, lestarikan alam.” Begitu pesan moral yang disampaikan oleh seorang biarawan yang mengabdikan hidupnya untuk melestarikan alam.

Tak kurang dua jam kami ngobrol dengan Samuel. Dia kemudian mengajak kami berkeliling. Ada sawah dan kolam yang dikerjakannya. Di bagian lain, ada beberapa ekor binatang landak yang dipeliharanya sejak tiga tahun lalu.

Kami meninggalkan Rumah Pelangi dengan hirupan oksigen murni. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code