Saturday, April 7, 2007

PEMEKARAN, SOLUSI KEMAKMURAN?

Evaluasi Departemen Dalam Negeri (Depdagri) menunjukkan sebagian besar daerah otonom baru mengalami kemiskinan. Namun semangat pembentukan kabupaten/kota, bahkan provinsi baru tetap bermunculan. Benarkah pemekaran itu meningkatkan kesejahteraan rakyat atau hanya untuk kepentingan elit saja? Genderang pemekaran wilayah dimulai sejak runtuhnya rezim orde baru, 1998. Tak mengherankan, jika sepuluh tahun terakhir rebutan membentuk kabupaten/kota, bahkan provinsi baru bermunculan. Pemerintah pusat juga membuka kran pemekaran dengan dukungan politik penuh dari anggota legislatif.

Di Kalimantan Barat, sejak 2000 telah dibentuk beberapa daerah otonom baru: Kota Singkawang, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, dan terakhir Kabupaten Kayong Utara. Sementara Kabupaten Kubu Raya masih dalam proses di DPR RI.

Ketika menerima Komisi II DPR RI, beberapa waktu lalu, Wakil Gubernur Kalbar Laurentius Herman Kadir mengungkapkan, keinginan pemekaran sejumlah kabupaten di provinsi itu sudah dimulai sejak 1991. Bahkan hasil kajian tersebut sudah diekspos di depan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) Depdagri pada 22 Februari 1991 di Lembang, Jawa Barat.

“Rencana itu sudah dimasukan ke dalam Pelita Daerah pada 1995. Jadi, jangan ada keraguan, didukung atau tidak dari provinsi. Kita ingin masyarakat yang menyatakan sikap untuk pemekaran,” kata Kadir yang saat itu masih menjabat Kepala Bidang Pemerintah Desa Setda Provinsi Kalbar.

Waktu itu kajiannya menyebutkan seluruh kabupaten akan dimekarkan, kecuali Kota Pontianak. Kabupaten Pontianak akan dijadikan tiga daerah baru: Kabupaten Pontianak, Landak, dan Kubu Raya. Kabupaten Sanggau dijadikan tiga: Sanggau, Sekadau, dan Tayan. Kabupaten Sambas akan dijadikan tiga: Sambas, Bengkayang, dan Kota Singkawang.

Begitu juga Kabupaten Sintang akan dibagi dua: Sintang dan Melawi. Kabupaten Ketapang direncanakan dibagi dua: Ketapang dan Matan Hulu. Namun yang menjadi kabupaten justru Kayong Utara. Sementara Kabupaten Kapuas Hulu tidak termasuk dalam kajian.

“Waktu itu secara teknis belum memenuhi persyaratan, terutama jumlah penduduk. Tapi sekarang sudah ada lagi keinginan masyarakat untuk membentuk Kabupaten Sentarum,” kata Kadir. Kajian ini hampir sepenuhnya menjadi kenyataan. Hanya Tayan, Matan Hulu, dan Kubu Raya yang belum terbentuk. Sementara yang lainnya sudah terbentuk.

Saat ini, geliat pembentukan daerah otonom baru kembali bermunculan. Setelah Kayong Utara disahkan DPR dan Pemerintah, Kubu Raya yang sedang proses pembahasan RUU pembentukannya. Sejumlah daerah mulai memiliki keinginan untuk membentuk daerah baru secara mandiri.

Sebut saja, masyarakat di Kabupaten Sambas yang ingin membentuk Kabupaten Sambas Utara dan Sambas Pesisir. Di Ketapang, ada keinginan membentuk Kabupaten Sandai. Di Kapuas Hulu, wacana pembentukan Kabupaten Sentarum sudah memperoleh persetujuan dari DPRD Kapuas Hulu. Pun begitu dengan Kabupaten Sanggau, yang ingin membentuk Kabupaten Sekayam (Perbatasan) dan Tayan.

Tak ketinggalan, masyarakat di Kabupaten Bengkayang yang ingin membentuk Kabupaten Sungai Raya. Bahkan, masyarakat di wilayah timur Kalimantan Barat berniat membentuk Provinsi Kapuas Raya. Lima kabupaten yang bergabung sudah memberikan keputusan politik. Sekarang ini sudah berada di tangan provinsi induk.

“Ini disebabkan kinerja pemerintah daerah belum optimal. Pembangunan yang seharusnya bisa menyentuh dimensi sosial ekonomi belum dirasakan. Kondisi ini memicu keinginan masyarakat untuk memiliki pemerintahan sendiri, sehingga pembangunan bisa lebih merata,” kata Staf Pengajar Program Pascasarjana FISIP Universitas Tanjungpura, Gusti Suryansah.

Komisi A DPRD Kalbar juga telah menerima sejumlah aspirasi dari masyarakat untuk pembentukan daerah baru. “Sudah dua aspirasi yang masuk. Dari Sambas dan Kapuas Hulu. Bahkan, wacana pembentukan Provinsi Kapuas Raya juga sudah masuk. Dalam waktu dekat ini, kita akan undang seluruh bupati dan DPRD di lima kabupaten yang akan tergabung dalam provinsi pecahan Kalbar tersebut,” kata Ketua Komisi A DPRD Kalbar Adrianus Senen.

Belum lama ini, Depdagri melakukan evaluasi terhadap 148 kabupaten/kota hasil pemekaran. Namun Depdagri hanya mengambil 38 kabupaten/kota dan dua provinsi sebagai sampel. Hasilnya, ada 87,71 persen daerah induk belum menyelesaikan P3D (Pembiayaan, Personil, Peralatan, dan Dokumen).

Kemudian, 79 persen daerah otonomi baru belum memiliki batas wilayah yang jelas. Selanjutnya, 89,48 persen daerah induk belum memberikan dukungan dana kepada daerah otonomi baru. Kemudian, 84,2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah hasil pemekaran.

Direktur Pusat Pengembangan Potensi Profesi (P3Pro) Saur Pandjaitan mengatakan, pemerintah sudah membahas revisi PP 129/2000 tentang pembentukan daerah otonom baru. Dalam revisinya akan melihat banyak indikator untuk membentuk daerah otonom baru. "Kalau PP 129/2000, kita hanya melihat jumlah skor saja. Di revisinya, akan dilihat skor, tapi juga per item. Jadi kalau satu item tidak terpenuhi, bisa saja pembentukannya ditunda," ujar Saur.

Ia menambahkan, terbitnya revisi PP 129/2000 akan mempersulit proses pembentukan daerah otonom baru. Ini dilakukan untuk menghindari tidak terjadi penggabungan daerah setelah beberapa tahun dibentuk karena kegagalan.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Priyo Budi Santoso ketika berkunjung ke Kalbar untuk melakukan observasi pembentukan Kabupaten Kubu Raya mengaku terkejut dengan hasil tersebut. “Ini mengejutkan kita semua. Hanya apa data itu sahih, dan apakah 38 daerah baru itu mewakili. Paling tidak data itu memberikan gambaran bagi DPR agar lebih ketat dalam memekarkan suatu wilayah,” kata Priyo.

Pihaknya telah meminta Depdagri mengkaji ulang daerah otonomi baru. Bahkan, sudah diminta agar membuat grand desain yang menyatakan berapa pantasnya kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia.

Di beberapa kabupaten, pembangunan infrastruktur berjalan lambat. Kendati begitu, pemekaran di Kalbar dinilai memiliki kemajuan. Itu terbukti dengan tidak adanya daerah yang angkat bendera putih, seperti Sangihe Talaud di Provinsi Sulawesi Utara.

UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuka peluang pemekaran wilayah. Pada Pasal 5 UU No. 32/2004 menyebutkan persyaratan pembentukan daerah otonomi. Yakni: syarat administratif, meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

Syarat teknis, meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Syarat fisik, meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Sementara pada PP No. 129 tahun 2000 tentang pembentukan daerah otonom baru menyebutkan bagaimana prosedurnya. Di antaranya, ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan, pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah

Kemudian, usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah cq. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code