Saturday, April 28, 2007

ARWANA, ALAM TAK LAGI MENYEDIAKAN

Dua puluh tahun silam, arwana (scleropages spp) diabaikan. Sekarang, nilai ekonomisnya melangit. Komersialisasi ikan hias ini sangat gencar. Orang-orang pun berlomba-lomba melakukan penangkaran untuk meraih keuntungan yang tinggi. Sementara di alam, populasinya sudah punah.

Matahari begitu terik. Lelaki paruh baya itu tak hirau. Ia terus menyusuri tanggul-tanggul kolam penangkaran arwananya. Ada sepuluh kolam. Masing-masing berisikan arwana jenis super red. “Harus dikontrol terus. Supaya ikan-ikan ini merasa dekat dengan kita,” kata H. Abdul Salam, pemilik penangkar arwana di Desa Nanga Suhaid, Kecamatan Suhaid, Kabupaten Kapuas Hulu, belum lama ini.

Arwana alias siluk populer sepuluh tahun terakhir. Keunikan warnanya membuat terpikat untuk mengoleksinya dalam aquarium. Imbasnya terjadi perburuan massal. Akibatnya populasinya di alam semakin tipis. Kini, ikan hias yang dianugerahi sisik indah ini sudah punah di alam. Upaya konservasi hanya dilakukan melalui penangkaran.

Saat ini, ketersediaan arwana di alam sudah sangat minim. Karena itu, harus ada upaya untuk melakukan pelestarian. Caranya dengan membangun penangkaran. Kondisi ini diamini oleh Camat Suhaid Dahniar. "Selain diburu secara massal, penangkapan yang dilakukan masyarakat dengan bubu aring juga mengancam populasinya," ungkap Dahniar.

Dalam The Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), arwana tergolong Appendix I. Golongan ini termasuk daftar tumbuhan dan satwa liar yang sudah langka. Pemanfaatannya harus diawasi secara ketat, yaitu: untuk konservasi, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Bukan semata-mata untuk keperluan komersial kecuali hasil penangkaran.

Indonesia telah meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden RI nomor 43 tahun 1978, yang selanjutnya membawa konsekuensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan pemerintah Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan CITES. Sebagai pelaksana Otoritas Pengelola CITES di Indonesia adalah Departemen Kehutanan sesuai Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 1999.

Penyebaran arwana super red, endemik hanya ada di Kalimantan Barat, terdapat di Kapuas Hulu (Sungai Tawang, Sungai Puyam, Sungai Seriang), dan danau-danau di Kalimantan Barat (Danau Aji, Danau Saih, Danau Maid, Danau Siluk).

Pemanfaatan arwana umumnya untuk pets sebagai sarana hobi, warna sisik yang cerah, gerakan yang lamban tetapi anggun, dan liukan tubuh yang indah bisa menjadi obat stres bagi yang memandangnya. Harga jenis super red di pasaran dalam negeri ukuran 10 sentimeter sekitar Rp4-5 juta. Itupun tergantung kualitas, sedangkan harga pasaran luar negeri umumnya lebih besar sekitar dua kali lipat.

Maraknya usaha penangkaran membuat arwana menjadi komoditi komersial. Pasarannya dari lokal hingga internasional. Hingga kini, jumlah penangkar ikan arwana mencapai 72 unit, yang tersebar di empat kabupaten: Ketapang, Pontianak, Sintang, dan Kapuas Hulu.

Di Kapuas Hulu, banyak masyarakat yang menangkar arwana skala rumah tangga. Secara perizinan, usaha ini tergolong ilegal. Mereka memiliki keengganan mengurus izin karena usahanya skala kecil dengan jumlah induk yang tak banyak. Belum lagi waktu mengurus izin cukup lama dengan birokrasi yang berbelit-belit.

Dari sisi pemodalan, usaha penangkaran arwana perlu dana yang besar. Untuk bibit indukan penangkaran yang matang secara kelamin dengan umur empat tahun, harganya berkisar Rp25 juta-Rp30 juta per ekor. Pembuatan kolam mencapai Rp50 juta per kolam siap pakai.

Tanah gambut tidak bisa langsung digunakan karena sifatnya yang asam. Biaya operasional, antara lain, pemeliharaan, pakan, dan obat-obatan, listrik untuk mesin pompa air, dan penerangan. Pun begitu dengan gaji karyawannya.

Ikan arwana mempunyai harga yang relatif tinggi. Anakan yang berumur satu minggu saja bisa mencapai Rp3 juta. Pasar ekspornya menembus Hongkong, Jepang, Taiwan, dan Cina. “Pembeli lokal juga banyak. Biasanya mereka langsung datang ke penangkaran. Harganya bervariasi,” kata Tanud, seorang penangkar di Suhaid.

Tahun 2005, ikan arwana yang dibawa ke luar Kalbar lewat Bandara Udara Supadio mencapai 7.653 ekor dengan penetapan biaya retribusi Rp100.000 per ekor untuk super red. Kemudian golden red sebanyak 1.176 ekor dengan retribusi Rp40.000 per ekor, jenis banjar red sebanyak 3.409 ekor dengan retribusi Rp20.000 per ekor.

Begitu juga jenis green yang keluar Kalbar sebanyak 4.326 ekor dengan retribusi Rp10.000 per ekor, dan jardini sebanyak 2.858 ekor dengan retribusi sebesar Rp5.000 per ekor. "Jika ikan arwana yang berhasil dijual ke luar Kalbar lewat Supadio setiap tahunnya sama, maka potensi PAD mencapai Rp937,065 juta," ungkap Anggota DPRD Kalbar Tobias Ranggie di Pontianak, kemarin.

Tahun 2006, penarikan retribusi ikan arwana hanya sebesar Rp9 juta. Jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 19 juta. Padahal, Pemprov Kalbar sudah menerbitkan Perda Retribusi Hasil Mutu Perikanan dan Perda Izin Usaha Perikanan.

Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kalbar, Darwin Muhammad berkilah kewenangan penarikan retribusi arwana bukan kewenangan instansinya. “Memang ada perdanya. Tapi kami sudah punya gugus tugas sendiri. Penarikan arwana bukan kewenangan kami,” katanya.

Penarikan retribusi penangkaran oleh pemerintah berbuah penolakan. “Tidak ada fasilitas publik yang diberikan pemerintah kepada kami. Bahkan, ketersediaan daya listrik pun kami tidak ada. Termasuk pembinaan terhadap para penangkar,” kata Abdul Salam.

Penangkar mengaku sangat kecewa dengan kebijakan pemerintah. Sebab, ketika para penangkar akan memulai usahanya, pemerintah cenderung mengabaikannya. "Tidak ada pembinaan," tegasnya. Sementara setelah para penangkar berhasil, pemerintah kemudian meminta agar membayar retribusi.

Kondisi ini, kata Salam, sangat memberatkan para penangkar. Ditambah lagi, ada persaingan yang tak sehat antarsesama penangkar di luar Suhaid. "Ada trend, penangkar luar itu membawa arwana ke Suhaid terlebih dahulu, kemudian kembali lagi untuk dijual. Kepada pembeli, dikatakan kalau arwana itu dari Suhaid. Padahal tidak," kata Salam.

Arwana memang ikan anugerah dewata. Dua dasawarsa silam, orang mengabaikannya. Kini, alam tak lagi menyediakannya. Nasib ikan miliuner ini sangat bergantung usaha penangkaran. (*)

1 komentar:

Anonymous said...

nice report mas budi...

btw,saya koko,masyarakat umum tinggal di jakarta bminat utk memelihara ikan arwana super red...

saya sdh coba cari d sini (jkarta) tp hargany mahal...apa d pontianak hargany lbh murah?...kl iya,beli dmana?...repot gak ya kirim ke jakarta nya(surat2)?...

mohon infonya ya di wh_koko@yahoo.com...

makasih byk mas budi

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code