Monday, July 25, 2011

Buaian REDD di Tanah Tjilik Riwut

Australia menggelontorkan dana sekitar AUD30 juta dolar untuk membantu Indonesia dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Kalimantan Tengah menjadi salah satu provinsi yang ditunjuk sebagai wilayah percontohan program REDD tersebut. Seperti apa proyek ujicoba itu sekarang setelah berjalan tiga tahun?

Hujan menyambut kami saat tiba di Mandomai pada pukul tiga, Sabtu sore. Di bibir dermaga kayu, dua speedboat berkekuatan 200 tenaga kuda sudah menunggu. Dua kendaraan sungai itulah yang akan membawa kami ke Dusun Mangkutub di Desa Katunjung, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas. Perjalanan akan ditempuh sekitar tiga sampai empat jam.

Kami rehat sejenak sekadar meluruskan pinggang setelah dua jam duduk di mobil dalam perjalanan dari Palangka Raya. Waktu rehat kami manfaatkan untuk menjepret Gereja Immanuel yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai cagar budaya, juga jembatan kayu yang memotong anak sungai Kapuas, yang panjangnya diperkirakan 20 meter. Jembatan kayu yang baru selesai dibangun itu karya swadaya masyarakat.

Hujan jeda saat kami mulai menaiki speedboat. Matahari sudah tak sanggup lagi menerangi sungai yang airnya berwarna kuning kecoklatan. Jurumudi memacu speedboat dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Bersengkulas (ikat kepala) dari syal, Robby sesekali memencet telepon genggamnya. Berbahasa Dayak Ngaju, dia menanyakan jurumudi lainnya. “Speedboat yang satu agak bermasalah,” katanya.

Dua speedboat itu membawa juruwarta yang mengikuti program pelatihan jurnalistik lingkungan yang difasilitasi Center for International Forestry Research. Selama tiga hari, para juruwarta itu akan melihat langsung pelaksanaan program ujicoba REDD di Dusun Tumbang Mangkutub dan Desa Petak Puti.

Sekitar pukul lima sore, kami tiba di Desa Sei Ahas, masih dalam wilayah Kecamatan Mantangai. Sekali lagi, kami disambut hujan. Tak ada penerangan yang memadai karena desa itu belum teraliri listrik negara. Rumah-rumah hanya menggunakan generator set saja. Di rumah kepala desa sudah berkumpul beberapa warga. Sesungging senyum saat mereka berjabat tangan. Walau hujan, mereka semangat menyambut temuai yang datang dari jauh. Bagi orang desa, temuai datang itu satu kehormatan. Kami dipersilakan masuk ke rumah kepala desa yang sebagian ruangannya disulap menjadi warung kebutuhan bahan pokok.

Di rumah itu, kami berdialog bersama perangkat desa terkait program REDD. Suka dibantu perangkat desa lainnya memaparkan pelaksanaan program ujicoba itu yang mulai masuk pada 2009. Sosialisasi dilaksanakan oleh Kalimantan Forests and Climate Partnership dengan membuat perjanjian desa hingga menyusun rencana pembangunan jangka menengah desa.

“Kami menyambut baik program ini. Jika untuk kesejahteraan masyarakat, kenapa harus ditolak,” kata Suka, kepala Desa Sei Ahas.

Husaini dari Care International, yang ditemui di rumah Kepala Desa Sei Ahas, menilai kegiatan yang mengarah pada REDD itu belum dimulai. Namun upaya melibatkan masyarakat dalam program ini sudah berjalan. “Hanya belum bisa seratus persen,” katanya.

Silaturahmi bersama masyarakat Desa Sei Ahas harus berakhir. Kami mesti melanjutkan perjalanan mengarungi sungai Kapuas menuju Dusun Mangkutub. Menurut Robby, jurumudi speedboat, waktu tempuh normal diperkirakan memakan waktu sekitar dua sampai tiga jam.

Hujan belum juga jeda saat kami berangkat. Deru speedboat, angin, dan hujan berpadu. Dingin dan kebisingan menyeruak. Sebagian melipat tangan di dada menahan dingin. Sebagian lagi menyelimuti tubuh dengan handuk atau jaket menghalau angin.

Pukul tujuh malam, kami tiba di Mangkutub. Seorang perempuan menyambut kami di lanting kayu. Hujan tetap setia menyambut kehadiran orang-orang yang diselimuti kelelahan. Kami dipersilakan masuk ke rumah tetua dusun. Adat tampung tawar digelar sebagai tanda selamat datang dan perlindungan bagi temuai yang hadir di dusun itu.

“Ini adat orang sini (Dayak Ngaju). Setiap tamu yang datang harus diberi tampung tawar, agar ada keselamatan baginya juga bagi kampung ini,” kata Suryanto, sekretaris Dusun Mangkutub, malam itu.

Di Mangkutub, proses pelibatan masyarakat dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan didampingi Kalimantan Forests and Climate Partnership atau Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan. Program kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Australia ini dimulai tahun 2009. Mangkutub termasuk wilayah kerja KFCP yang ditetapkan seluas 120 ribu hektar.

Suryanto, sekretaris Dusun Mangkutub juga mengakui jika proses sosialisasi terhadap program ini telah berjalan. Beberapa masyarakat yang dijumpai menaruh harapan besar terhadap program ini. Mereka terbuai dan percaya KFCP tidak akan menghianatinya.

“Kami percaya saja. Tapi kami tidak ingin tanah kami kemudian beralih kepemilikan. Apalagi ada perjanjian desa. Kami berharap tidak ada yang melanggar perjanjian itu. Salah satunya tidak mengambil lahan kami,” kata Suryanto.

Di Mangkutub, kami melihat aktivitas masyarakat memanfaatkan areal gambut. Masyarakat membuat kolam berbentuk persegi panjang selebar satu meter yang kedua ujungnya buntu. Kolam ini kemudian disebut beje. Jika musim pasang tiba, kolam ini akan menampung air dan tergenang hingga surut datang. Beje ini kemudian akan menjadi tempat hidupnya ikan-ikan, seperti gabus dan sepat. Pemilik beje kemudian membuat alat tangkap berbentuk segiempat yang terbuat dari bambu. Alat tangkap itu ditenggelamkan dalam beje. Saat panen, alat tangkap diangkat, ikan-ikan akan terperangkap di dalamnya.

Ini salah satu fungsi beje yang dibuat warga. Ada fungsi lainnya, yakni sebagai cadangan air jika terjadi kekeringan pada areal gambut tersebut. Sehingga masyarakat mudah mendapatkan air untuk memadamkannya. “Dulu kami tidak peduli soal ini. Sekarang, beje ini mengubah cara berpikir kami, tidak semata untuk mencari ikan. Lebih dari itu, beje berfungsi sebagai cadangan air jika lahan gambut terbakar,” kata Suryanto.

Selain beje, kami juga diberi kesempatan melihat blocking kanal, yang dibuat untuk mencegah drainase berlebihan dari lahan gambut. Blocking kanal ini dibuat memotong jalur air (tatas). Kayu-kayu berdiameter 30 cm ditancapkan berbaris sepanjang lebar jalur air tersebut. Lebar blocking kanal ini bervariasi.

Pada lokasi yang kami kunjungi lebarnya sekitar 70 centimeter dengan panjang sekitar 1,70 meter. Air kemudian tertahan akan mengalir melalui atas blok kanal dengan volume yang lebih kecil. Hal ini untuk memperlambat kekeringan di wilayah gambut yang rentan terbakar.

Lain Mangkutub, lain pula Petak Puti. Desa di Kecamatan Timpah ini masih memerlukan pemahaman mendalam terkait program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan tersebut. Dari dialog singkat tergambar bahwa masyarakat belum paham REDD.

“REDD itu supaya kita mengurangi racun,” kata Yanto, salah seorang warga yang hadir dalam dialog singkat malam itu. Namun Yanto memiliki harapan dari program ini. “Saya berharap bisa mengecap hasil kerja yang dilakukan dan dibangun lembaga permanen untuk menjaga hutan tetap lestari,” katanya.

Apa itu REDD+?

REDD itu singkatan dari reducing emissions from deforestation and forest degradation and enhancing carbon stocks in developing countries atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan penambahan cadangan karbon hutan di negara berkembang.

Berbagai catatan menyebutkan, laju deforestasi hutan di Indonesia sekitar 13 juta hektar setiap tahunnya. Angka ini menyumbang sekitar 18 persen terhadap emisi gas rumah kaca. Sebagian besar dihasilkan oleh negara berkembang. Ini mekanisme yang diajukan bertujuan memperlambat perubahan iklim dengan membayar sejumlah negara berkembang agar menghentikan aktivitas penebangan hutan.

Indonesia termasuk negara berkembang yang berkomitmen menurunkan emisi sebesar 26-41 persen yang didaftarkan secara resmi di the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai Voluntary Emission Reduction pada 31 Jan 2010.

Pada 13 Juni 2008, pemerintah Indonesia dan Australia sepakat menandatangani kerjasama membuat proyek percontohan pengurangan emisi tersebut. Pemerintah Australia memberikan bantuan dana sebesar AUD 30 juta. Sebuah kesepakatan yang dibentuk pasca COP 13 UNFCCC (United nations Framework Convention on Climate Change) di Bali pada tahun 2007 yaitu untuk melakukan REDD demonstration activities.

Pemerintah kemudian menetapkan 120 ribu hektar areal eks PLG di Kalimantan Tengah sebagai wilayah kerja proyek REDD tersebut. Kalimantan Forests and Climate Partnership ditunjuk untuk melaksanakan program ini.

Sejauh ini, KFCP sudah melakukan sosialisasi di beberapa tempat yang menjadi wilayah kerjanya, seperti Dusun Tumbang Mangkutub dan Desa Petak Puti. Mereka telah mendampingi masyarakat termasuk dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah desa. “Ini bentuk pelibatan nyata kepada masyarakat,” kata Kanisius, kepala Urusan Pemerintahan Desa Katujung.

Ia menambahkan, program-program yang disampaikan KFCP terkait proyek REDD ini cukup menyenangkan. Sebab masyarakat diajak terlibat langsung, seperti adanya sekolah lapang, penabatan, pembangunan beje. Apalagi sedang digodok perjanjian desa yang akan dipegang teguh antara masyarakat dengan KFCP.

Namun ada beberapa hal yang cukup mengganggu masyarakat, di antaranya, kepemilikan lahan yang belum terjamin. Apalagi areal 120 ribu hektar itu bekas megaproyek Pembangkit Listrik Gambut yang gagal era Soeharto berkuasa. Status lahan seluas 1,4 juta hektar itu belum ditetapkan dalam rencana tata ruang dan wilayah provinsi Kalteng. Belum lagi, batas antarkabupaten yang juga belum terselesaikan.

Lokasi kegiatan KFCP terletak di Kabupaten Kapuas pada dua kecamatan yakni Mantangai dan Timpah, yang meliputi tujuh desa yakni Mantangai Hulu, Kalumpang, Katimbun, Sungai Ahas, Katunjung, Tumbang Muroi, dan Petak Puti.

Kegiatan penanaman sudah dilakukan sejak Desember 2010 di Desa Mantangai Hulu seluas 25 hektar dan Desa Katunjung seluas 25 hektar, dengan jumlah bibit sebanyak 1.112 pohon per hektar, atau total bibit 55.600 batang yang melibatkan 100 orang. Tahun 2011 direncanakan akan melakukan penanaman seribu hektar dengan total kebutuhan bibit 1.223.200 pohon.

Sejumlah masyarakat pada wilayah kerja KFCP yang kami kunjungi menyambut baik program ini. Mereka berharap program ini benar-benar tidak meninabobokan, hanya manis di awal, tapi pahit pada babak akhir. Masyarakat juga berharap ada dukungan agar areal yang menjadi wilayah kerja KFCP bisa diterbitkan sertifikasi oleh lembaga berwenang.

Ah, REDD telah membuai orang-orang di tanah Tjilik Riwut. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code