Thursday, January 5, 2012

Lelaki Penyadap

Pagi masih dini. Seorang lelaki menuruni lima anak tangga rumahnya. Sebilah parang tersalib di pinggangnya. Dua palong dipanggul. Lelaki itu berangkat menuju pohon enau yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumahnya.

Satu dua langkahnya. Menerobos dedaunan yang masih dibasahi embun pagi. Tetesan embun membasah kaki. Lelaki itu tetap melangkah. Ia bergegas. Mentari mulai menapaki tangga langit. “Sudah pagi. Jangan sampai siang,” batin lelaki itu.

Lelaki itu kini sudah tiada. Ia sudah berangkat ke dimensi lain pada 6 Januari 1999, tiga belas tahun lalu. Namun roh lelaki itu tetap mengalir pada orang-orang yang ditinggalkannya. Walau tak ada kisah heroiknya seperti ode seorang pahlawan yang menerima anugerah dari negara. Bagi lelaki penyadap, anugerah itu bukan sesuatu banget. Baginya, kisah heroik terpenting adalah mendidik dan membesarkan anak-anaknya dalam buaian adat istiadat leluhurnya.

Hingga akhir hayatnya, lelaki penyadap itu tetap setia pada kaulnya. Menyadap hingga lanjut usia. Tak ada purnabakti. Baginya sepanjang masih bisa memanjat pohon aren dan mayang, menyadap harus dilakoni. Sebab ada ritual cinta yang dirawatnya hingga mayang-mayang itu tetap mengurai.

Tak ada pagi yang tak ceria bagi lelaki itu. Pagi selalu memberinya semangat. Semangat untuk menyadap. Mengganti palong yang sudah semalaman bergantung di pelepah mayang.

Nira dalam palong sudah berbisik, “segera jadikan aku gula merah yang menggoda rasa.”

Pada setiap pohon, lelaki penyadap mengeluarkan nyanyian tanpa lirik. Pada setiap pelepah, lelaki penyadap bersenandung tanpa harmoni nada. Suara yang keluar dari kerongkongannya lebih mirip lolongan yang menyayat. “Ini bermakna memanggil air aren agar lebih banyak menetes hingga palong-palongnya penuh.”

Usai bernyanyi, lelaki penyadap menuruni tapak-tapak tangga kayu yang terikat akar pada batang enau. Ia beralih pada sadapan lainnya. Kembali tapak-tapak tangga dinaiki. Kembali ia bersenandung bahasa-bahasa yang tak bisa dimengerti. Usai itu, kembali ia menuruni anak-anak tangga. Ia lakoni rutinitas itu dengan cinta hingga sepuluh bahkan duapuluh batang aren.

Menjelang siang, lelaki penyadap pulang ke rumah. Tujuh anak dan satu istri menunggu di muka lawang. Senyum merekah dan teriak kegirangan anak-anak menyambutnya. Palong-palong dilepas dari panggulannya. Dalam kawah, nira-nira itu dituangkan. Api menyala membakar kayu-kayu. Panas mengalir dalam setiap sudut kawah hingga nira mendidih dan berubah warna menjadi merah tak menyala.

Anak-anak menyusun cetakan bundar yang terbuat dari pelepah kayu. Cetakan itu untuk ukuran satu kilogram. Mereka menanti tuangan nira yang berubah menjadi gula pada setiap cetakan. Ada rasa senang dalam penantian itu.

Aku bagian dari anak-anak itu. (*)

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hostgator Discount Code